Forum Belt and Road Initiative dan Potret Hubungan Indonesia-China

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2023 19:03 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan Presiden China Xi Jinping di Great Hall of the People, Beijing, China. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan Presiden China Xi Jinping di Great Hall of the People, Beijing, China. Foto: Laily Rachev/Biro Pers Sekretariat Presiden
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Joko Widodo presiden Indonesia melakukan kunjungan kerja ke Beijing, China, pada 16 hingga 18 Oktober 2023, bersama delegasi terbatas, Menteri Koordinator (Ad Interim) Kemaritiman dan Investasi Erick Tohir, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan sejumlah pejabat lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Li Qiang dan Presiden Xi Jinping, Presiden Joko Widodo juga mengikuti KTT ke-3 Forum Belt and Road Initiative (BRI) yang berlangsung 17-18/10/2023.

Posisi Strategis Belt and Road Initiative (BRI)

Kehadiran Presiden Joko Widodo tentu menjadi istimewa bagi China dan selalu disambut dengan karpet merah, karena selama hampir dua periode pemerintahannya, negeri Tirai Bambu telah melakukan lompatan besar dalam berinvestasi di Indonesia.
Negeri yang berpenduduk sekitar 1,4 miliar jiwa itu menempati urutan kedua sebagai negara investor (Foreign Direct Investment) di Indonesia yang pada tahun 2013 hanya berada di urutan 12.
Kunjungan Presiden Jokowi kali ini merupakan yang ke-3 ke China sejak menjabat sebagai presiden dalam periode (2014-2019) dan 2019-2024).
ADVERTISEMENT
Volume kunjungan Presiden Jokowi ke China tersebut dinilai “sering”, dan ditafsir sebagai kunjungan persemaian “romantisme” antara Jakarta-Beijing sejak normalisasi hubungan diplomatik kedua negara pada tahun 1990.
Belum lagi pertemuan demi pertemuan penting antara Presiden Jokowi dengan Presiden Xi Jinping dalam event-event regional dan inernasional seperti APEC, G20, dll.
Forum One Belt One Road (KTT Bealt and Road Initiative) yang dihadiri sejumlah kepala negara anggota dari 155 negara, baik dari Asia, Afrika, Eropa dan Timur Tengah di Beijing, (17-18/10), termasuk Presiden Joko Widodo memasuki satu dekade sejak mega proyek pembangunan konektivitas global itu diinisiasi Presiden Xi Jinping pada tahun 2013.
Bagi China, visi Global BRI yang mencanangkan mega proyek konektivitas melalui pembangunan infrastruktur ini semakin menguatkan posisi strategis geopolitik China dan memperlebar jarak rivalitasnya dengan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di tengah situasi perang negaranya dengan Ukraina menjadi sinyal kekuatan diplomasi China yang mendapat dukungan dari 155 negara-negara anggota yang menandatangani kesepakatan afiliasi dengan China—walaupun AS dan aliansinya kerap menyebutnya dengan narasi provokatif sebagai afiliasi (diplomasi perangkap utang) “debt trap diplomacy”.
Dapat dibayangkan, 80 persen negara anggota BRI merupakan anggota PBB yang berjumlah 193 negara. Negara-negara anggota BRI tersebut mewakili benua Afrika, (44 negara-sub Sahara), Eropa dan Asia Tengah (35 negara), Asia Timur dan Pasifik (25), Amerika Latin dan Karibia (21 negara), Timur Tengah dan Afrika Utara (18 negara), Asia Tenggara (6 negara), belum termasuk negara-negara yang menandatangani afiliasi dengan China sejak bulan Mei hingga Oktober 2023.
ADVERTISEMENT
Di tengah perubahan geopolitik yang dinamis dan dampaknya yang sangat krusial mulai dari pandemi Covid-19, kembalinya pemerintahan Taliban di Afghanistan, perselisihan Laut China Selatan, persaingan pengaruh di Indo Pasifik dan perang Rusia-Ukraina, BRI mengalami kemajuan dan masih bisa mempertahankan eksistensinya secara stabil. Lalu bagaimana dengan posisi Indonesia?
Tidak bisa dinafikan, Indonesia tentu memiliki agenda dan proyek pembangunan ekonomi strategis nasional yang bisa dikerjasamakan dalam konteks visi poros maritim dunia (Maritime Global Fulcrum) yang digagas Presiden Joko Widodo (2014) dengan proyek Maritime Silk Road 21 Century (jalur sutra maritim) Abad 21 yang diinisiasi Presiden Xi Jinping 2013.
Kunjungan Xi Jinping pertama kalinya ke Indonesia 2 Oktober 2013 setelah dari Kazakhstan September 2013, merupakan napak tilas sejarah jalur sutra China. Artinya, bagi China, Indonesia tentu menjadi penting sebagai peletak dasar terbentuknya One Belt One Road (OBOR) yang kemudian menjadi Belt and Road Initiative (BRI) yang saat ini sudah beranggotakan 155 negara.
ADVERTISEMENT

Persemaian 'Romantisme'

Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Presiden China Xi Jinping saat menghadiri upacara pembukaan KTT ke-3 Belt Road Forum (BRF) di Great Hall of The People, Beijing, China, Rabu (18/10/2023). Foto: Edgar Su/REUTERS
Indonesia-China sudah memiliki hubungan diplomatik sejak tahun 1950, tetapi dibekukan pada tahun 1967 karena situasi politik dalam negeri. Hanya saja, dinamika geopolitik telah mengubah sikap dan kebijakan politik luar negeri Presiden Soeharto Era Orde Baru, sehingga kebekuan hubungan diplomatik kedua negara mencair kembali tahun 1990.
Hanya saja, hubungan bilateral antara Indonesia dan China baru meningkat secara signifikan pasca jatuhnya Soeharto pada Mei 1998 yang kemudian populer dikenal sebagai era reformasi.
Pada era reformasi yang menghadirkan demokratisasi, setidaknya memberikan kontribusi untuk perbaikan hubungan Indonesia dengan China menuju yang lebih baik. Sekat-sekat dan hambatan ideologis serta sosio kultural yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan di ruang publik (public sphere) tampak mulai sirna.
ADVERTISEMENT
Sejak era tersebut, kunjungan presiden Indonesia ke China seperti menjadi rutinitas dan keniscayaan sebagai suatu sinyalemen protokol persahabatan kedua negara yang menujukkan pentingnya hubungan bilateral antara Indonesia dengan China. Keduanya memiliki kekuatan ekonomi yang semakin penting dan diperhitungkan sebagai pemain utama di tingkat regional dan global.
Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, popular disebut Gus Dur (1999-2001) akar-akar persahabatan kedua negara semakin dikukuhkan melalui aspek budaya.
Presiden Abdurrahman Wahid memberikan hak lebih leluasa dalam berkebudayaan kepada warga etnis Tionghoa di Indonesia misalnya mengizinkan perayaan Imlek bagi warga etnis Tionghoa di Indonesia. Presiden Wahid mengizinkan kembali perayaan Tahun Baru Imlek (Imlek) bahkan mengakui Konghucu sebagai agama di Indonesia.
Kedekatan pemerintahan Abdurrahman Wahid dengan China, menjadikan Beijing sebagai kunjungan kenegaraan pertamanya pada bulan Desember 1999. Gagasan strategis Abdurrahman Wahid mengenai kebijakan luar negerinya adalah membentuk poros Indonesia-China-India atau poros (Jakarta-Beijing-New Delhi).
ADVERTISEMENT
Poros ini tentu sangat strategis, karena tiga negara di Asia memiliki kekuatan demografi dan ekonomi yang sangat potensial. Hanya saja, sulit diimplementasikan karena ada hambatan (konflik) antara China dan India soal perbatasan Himalaya.
Momentum kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok semakin meningkat selama masa kepresidenan Yudhoyono periode (2004-2009) dan (2009-2014) dengan penandatanganan “Kemitraan Strategis” pada tahun 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi “Kemitraan Strategis Komprehensif” pada tahun 2013.
Kemitraan strategis komprehensif Indonesia-China terus dilanjutkan pada era pemerintahan Joko Widodo melalui berbagai kerja sama proyek strategis dan investasi, di antaranya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang sudah beroperasi mulai bulan Oktober tahun ini dengan biaya investasi sebesar Rp 108 triliun.
ADVERTISEMENT
Hubungan bilateral antara Indonesia dan China (Jakarta-Beijing di era Presiden Jokowi bisa digambarkan seperti dalam memori awal hubungan era Presiden Sukarno hingga kejatuhannya pada akhir tahun 1965 dengan spektrum yang berbeda. Pada masa Soekarno, romantisme Jakarta-Beijing bernuansa ideologis, sementara pada era Jokowi lebih bernuansa ekonomis melalui investasi di berbagai sektor.
***
Dalam Forum BRI "Belt and Road Forum for International Cooperation" yang berlangsung di Beijing (17-18/10), Presiden Xi Jinping mengumumkan telah menyiapkan anggaran sebesar $55,09 Miliar dalam rangka proyek pembangunan BRI dan perluasannya di Asia, Afrika dan Eropa.
Memasuki dekade ke-3, forum kerja sama negara-negara BRI yang beranggotakan 155 negara semakin menarik. Dalam perkembangannya, BRI tidak sekadar menjadi ajang konsolidasi pembangunan strategis infrastruktur global, tetapi juga menjadi konsolidasi strategis menyikapi dinamika geopolitik mutakhir, utamanya perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas di Palestina.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Indonesia sejatinya ikut berperan dan mengambil peran strategis dalam kerja sama antar negara anggota Belt and Road Initiative tersebut.