Hanya Masalah Bahasa?

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
Konten dari Pengguna
15 April 2024 13:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
Shutterstock.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta-Dalam peringatan Hari-Hari Besar Islam sebut misalnya ; Maulid Nabi, Tahun Baru Hijrah, Bulan Puasa, Idul Fitri, Idul Adha, dll. berbagai macam pamflet, spanduk,poster dan brosur bertebaran di beberapa tempat dengan ungkapan-ungkapan bernuansa religius.
ADVERTISEMENT
Umumnya, ungkapan-ungkapan tersebut berasal dari bahasa Arab yang sudah di-Indonesiakan, tetapi penulisannya tidak sesuai dengan pengucapan huruf aslinya (Arab). Beberapa kata atau kalimat ditulis dengan berbeda-beda misalnya ; ”Ramadan, Ramadhan, Ramadlan, Romadhon,” - ”Sadaqoh, Sodaqoh, Shodaqoh” – ” Salat, Shalat, Sholat, Fikih, Fiqih, Fiqh, ” dll. Artinya, penulisan kata-kalimat- tesebut tidak sesuai dengan kaedah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam kegiatan ceramah agama pada bulan puasa di sebuah Masjid di Jakarta Timur, seorang penceramah (baca : ustadz) sedikit geram karena melihat ada pamflet tertulis ” Selamat Datang Ramadan”- bukan ” Selamat Datang Romadhon” atau ”Marhaban Yaa Romadhon” sesuai pengucapan huruf aslinya (Arab). Menurut ustadz yang masih muda itu, kata ”Ramadan” (pakai da bukan dho) memiliki arti dan maksud yang berbeda dengan maksud Al-qurán. Ia menegaskan bahwa ”ramadan” berasal dari kata «ramada» yang berarti debu sisa bara api, berbeda dengan "Romadhon".
ADVERTISEMENT
Ternyata gugatan terhadap kosa kata, kalimat atau ungkapan Indonesia yang berasal dari bahasa Arab tidak berhenti di situ saja.
Bahasa Arab yang ”Sakral”
Dalam suatu pertemuan diskusi bedah buku, penulis mendapat pertanyaan kritis dari pembaca terkait penulisan kosa kata Indonesia – kata serapan yang berasal dari bahasa Arab. Menurutnya, Penulisan beberapa kata misalnya ; Ramadan, Salat, Kakbah, Alquran, Hadis, Fikih, seperti yang ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dianggap sebagai penyimpangan atau keluar dari bahasa Al-Quran, karena tidak sesuai dengan ejaan atau pengucapan huruf aslinya dalam bahasa Arab yaitu; sholat, Hadits, Fiqh, dll. Salah satu alasannya karena kosa kata tersebut berkaitan dengan masalah agama (Islam) dan bersumber dari bahasa Arab yang ”sakral”.
ADVERTISEMENT
Bukan rahasia lagi, bahasa Indonesia menyerap kosa kata dari berbagai bahasa asing, utamanya Latin, Belanda, Sansakerta dan Arab. Tanpa dipungkiri, kosa kata Arab yang terserap ke dalam bahasa Melayu-Indonesia sangat signifikan jumlahnya.
Dalam buku “Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah, Wacana dan Kekuasaan”(2000), Prof.Dr. Azyumardi Azra(alm.) mencatat bahwa kamus Al-Hamidi yang ditulis oleh Abdul Hamid Ahmad mencatat sekitar 2.000 kata serapan bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu-Indonesia. Sementara itu, Kamus Gugusan Arab, karya Muhammad Said mencatat sekitar 1.725 kata. Hanya saja, beberapa peneliti Barat seperti ; James Howison, Shellaber dan Wenstedt mencatat kurang dari jumlah yang dicatat dua kamus tersebut.
Hingga awal abad ke 20 M. aksara (huruf) Arab masih jamak digunakan dalam penulisan naskah-naskah sastra, sejarah dan surat diplomatik raja-raja Nusantara. Bahkan, beberapa Pesantren di Nusantara sampai saat ini, masih melestarikan penulisan catatan pinggir kita-kitab klasik dengan aksara (huruf) Arab, baik Arab Jawi maupun Arab Pegon (Sunda).
ADVERTISEMENT
Kata “Ramadan, Salat, Kakbah, Hadis, Alquran, Fikih”, kendati sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kerap dipersoalkan, bahkan lebih ekstrim lagi di ”haramkan”. Sementara itu, kata ”rakyat, darurat, izin ” dan banyak kata lainnya yang juga berasal dari bahasa Arab luput dari kritik dan tidak dipersoalkan. Mengapa?
Di sini, sebenarnya terjadi pengalihan pengucapan dari huruf aslinya yaitu “ra’iyah“ menjadi “rakyat” pakai (k), dan “dhorurat” menjadi “darurat” pakai (d) bukan (dh) atau Dhorurat disesuaikan dengan aksen masyarakat lokal (Indonesia), karena beberapa aksara - huruf Arab memang ada yang memberatkan lidah sebagian masyarakat lokal Indonesia. Anehnya, penulisan kata-kata tersebut tidak dipersoalkan, seperti halnya kata ”Ramadan, Salat, Hadis, Fikih, – ejaan KBBI),” dll. Padahal, kalau dicermati dengan teliti, kata “rakyat, darurat, izin, dll. yang berasal dari bahasa Arab itu ” juga tidak sesuai dengan ejaan dan pengucapan huruf aslinya yaitu ; ra’iyah”(pakai ain), “dhorurat” (pakai dhad).
ADVERTISEMENT
Alasannya sangat sederhana, karena kosa kata seperti ” Ramadan, Salat, Hadis, Fikih,” berkaitan dengan masalah agama yang ”sakral” dan transenden, sehingga apabila dibaca berdasar pengucapan (ejaan Indonesia) bisa keluar dari makna aslinya atau menyimpang dari maksud Alquran.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Tampaknya, SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 158 tahun 1987 dan No. 1543 b/u/1987 tentang ejaan transliterasi Arab-Latin masih terabaikan, sehingga seringkali terjadi perbedaan penulisan kosa kata serapan dari (bahasa Arab, baik dalam buku-buku naskah maupun media massa Indonesia. Tidak heran, ucapan menyambut bulan suci Ramadan dan ucapan bela sungkawa (Islam) yang kerap dimuat di media massa berbeda-beda penulisannya misalnya kata ”Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi “rajiun”, ada “rojiun” dan “roji’un”.
ADVERTISEMENT
Lalu, siapa yang bertanggung jawab menjawab kritik atas fenomena ”kosa kata sakral” ini. Apakah ahli bahasa Indonesia yang tergabung dalam tim penyusun (KBBI) tidak berkordinasi dengan ahli tata bahasa Arab atau ahli agama, atau karena pembaca yang kritis itu tidak pernah membuka KBBI, atau karena perkembangan kosa kata Indonesia belum tersosialisasi dengan baik di lingkungan sekolah, kampus, media massa, instansi atau karena KBBI terkesan elitis, sehingga pemilik dan penggunanya hanya terbatas di lingkungan elit intelektual, cerdik pandai dan cendekiawan?
Fenomena ini sebenarnya hanya masalah ”bahasa”, tetapi jika tidak segera diselesaikan, kita akan mengalami ”darurat bahasa”. Dan, di balik kritik ini, sebenarnya terdapat kesempatan dan peluang pasar bagi penerbit KBBI. Jika Lembaga-Lembaga Pendidikan di seluruh Indonesia menggunakan KBBI sebagai literatur panduan bahasa Indonesia yang benar, berapa puluh ribu eksemplar yang akan tercetak untuk memenuhi kebutuhan konsumen?
ADVERTISEMENT
Yang jelas, hasil rumusan ijtihad para ahli bahasa Indonesia yang dirangkum dalam KBBI, perlu disosialisasikan secara luas agar KBBI tidak terkesan elitis. Kemudian, perlu kesepakatan antara ahli bahasa Indonesia dengan ahli bahasa Arab, termasuk pula ahli agama dalam rangka penyeragaman penulisan – transliterasi - dan pengucapan kata serapan (Arab) khususnya untuk menghindari paradoks dan penyimpangan maknanya.
Intensnya komunikasi, interaksi dan assimilasi masyarakat Indonesia dengan masyarakat di negeri-negeri para nabi itu, penggunaan bahasa Arab, termasuk penggunaan hurufnya di Indonesia akan semakin menonjol. Hanya saja, akulturasi dua bahasa ini (Arab-Indonesia) masih menyisakan beberapa persoalan, sehingga perlu perhatian serius agar di kemudian hari tidak terjadi paradoks budaya yang saling berebut identitas dan jati dirinya.
ADVERTISEMENT
Kritik sebagai upaya penyelarasan atau penyeragaman dalam penggunaan-penulisan bahasa Indonesia adalah lumrah dan biasa, tetapi menjadi luar biasa karena seringkali terjadi over kritik yang sampai pada tingkat “tidak boleh, bahkan haram”, sehingga tampak terjadi sakralisasi kosa kata Arab secara berlebihan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama.
Mari kita kembali (rajiun) kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai pedoman penulisan dan bertutur kata dalam bahasa Indonesia.(Fath)