Konten dari Pengguna

Kaderisasi Ulama Perempuan dan Kesetaraan Gender

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
25 September 2024 6:29 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kuliah Umum Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal/Dok.PKU-MI
zoom-in-whitePerbesar
Kuliah Umum Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal/Dok.PKU-MI
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat menyambut Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal, Kamis (5/09/2024), Imam Besar, Prof.DR.KH.Nasarudddin Umar,MA mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Masjid Istiqlal telah banyak melakukan terobosan-terobosan inovatif. Bukan hanya renovasi fisik, tetapi juga inovasi-inovasi non fisik, sehingga Masjid Istiqlal kini bukan hanya menjadi tempat peribadatan, namun menjadi tempat kajian dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk menjadi Pusat Pendidikan Kader Ulama (PKU).
ADVERTISEMENT
Menariknya, PKU Masjid Istiqlal tidak hanya mendidik calon ulama laki-laki, tetapi juga ulama perempuan. Terobosan ini termasuk langka, bahkan bagi sebagian kalangan dianggap masih ‘’tabu’’, karena melanggar kodratnya dan melampui kodrat laki-laki yang selama ini menjadi penentu kebijakan, termasuk dalam hal kebijakan hukum (fikih) yang berkaitan dengan persoalan kaum perempuan. Hanya saja, bagi kalangan yang lain, ‘’kaderisasi ulama perempuan justru dinilai penting. Mengapa kaderisasi ulama perempuan penting?
Mengukuhkan Kesetaraan
Pendidikan kader ulama perempuan yang digagas Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof.DR.Nasaruddin Umar,MA tentu mendapat respons positif dari berbagai kalangan. Hal ini menarik dicermati, karena tuntutan peran ulama-intelektual perempuan di Dunia Islam semakin kencang disuarakan. Kesetaraan hak dan peran perempuan, akhir-akhir ini tidak hanya digaungkan oleh para aktivis perempuan atau tokoh intelektual secara personal, tetapi mulai diafirmasi secara institusional ; melalui lembaga sosial keagamaan, bahkan negara.
ADVERTISEMENT
Hak-hak publik kaum perempuan dalam ranah intelektual, kultural dan struktural (keulamaan dan politik) selalu menjadi diskursus yang tak pernah usai. Pertanyaan yang selalu mengusik kita, mengapa tingkat partisipasi-peran kaum perempuan dalam ranah publik di sejumlah negara berpenduduk muslim, termasuk di Indonesia sangat kecil? Adakah sekat-sekat sosio kultural dan pemahaman teologis yang menghambat mereka memasuki ruang publik yang kerap menjadi dominasi laki-laki? Bagaimana mengeliminasi sekat-sekat tersebut?
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof.DR.KH.Nasaruddin Umar,MA (tengah) bersama Civitas Akademika dan Mahasiswa/Doc.PKU-MI
Sejak abad ke-20 M, isu-isu pemberdayaan, kesetaraan, dan hak-hak publik perempuan sudah didengungkan oleh para kampiun gerakan feminisme di Dunia Islam misalnya ; Qasim Amin (1863-1908) dan Nawwal Sa’dawi (1931-1921) di Mesir, Tahar Haddad (1899-1935) di Tunisia, Fatima Mernissi (1940-1975) Maroko, dan Riffat Hasan (l.1943-) di Pakistan.
ADVERTISEMENT
Mereka menyerukan pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan, kesempatan kerja, bahkan partisipasi politik. Lewat bukunya Le Harem Politique Le Prophetee Les Femmes (Albin Michel:2010), Mernissi menganjurkan penafsiran kembali teks-teks klasik Islam (tafsir dan fikih), karena di dalamnya ada kecenderungan misoginis yang secara sistematik menanamkan kebencian terhadap perempuan.
Tanpa dipungkiri, kisah penciptaan (Adam dan Hawa) yang dilansir dalam Israiliyaat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari bagian tulang rusuk laki-laki (Adam) ikut memengaruhi penafsir dan ahli fikih dalam menafsirkan teks-teks dasar Islam, sehingga posisi dan status perempuan seperti terdistorsi oleh pemahaman kelas. Mitos yang berkembang dalam tradisi pra Islam ini kemudian ikut memperburuk potret kaum perempuan, ditambah lagi dengan stereotipe misoginis (kebencian) bahwa perempuan (Hawa) menjadi penyebab keluarnya laki-laki (Adam) dari surga. Padahal, dengan tegas Tuhan menyatakan bahwa setanlah yang menjerumuskan keduanya (Q.S. Al-A’raf: 20-23).
ADVERTISEMENT
Jika kita menelaah buku-buku fikih klasik (jurisprudensi Islam), sebut misalnya kitab Ahkâm An-Nisa’ dan Talbîs al-Iblîs karya Ibnu al-Jawzi (510-590 H.) tampak bahwa perempuan adalah jenis manusia yang memerlukan nasihat lebih daripada laki-laki. Karena secara instinktif perempuan dianggap berwatak “bodoh” dan “lemah akal”. Nah, potret perempuan sebagai makhluk lemah, penebar fitnah, dan penggoda yang menyebabkan Adam keluar dari surga masih berpengaruh kuat di lingkungan masyarakat Islam.
Dengan image demikian, sulit bagi perempuan untuk mengisi ruang publik sejajar bersama laki-laki sebagai intelektual (ulama), apalagi berpartisipasi dalam ranah politik. Politik menjadi ruang bebas yang bisa diisi laki-laki, tetapi tertutup bagi perempuan, sehingga perempuan terpinggirkan dari proses pembangunan. Mereka tersingkirkan dari tugas-tugas sosial dan struktural, bahkan tereliminasi dalam tanggung jawab intelektual karena dianggap lemah fisik dan akal. Perempuan kurang memperoleh kesempatan untuk beraktualisasi dalam dinamika sejarah, bahkan prestasi dan hasil aktualisasi perempuan kerap tidak tercatat dalam sejarah (Latifa Lakhdar: 2007.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, kaderisasi ulama perempuan seperti yang dilakukan PKU-MI menjadi penopang gerakan-gerakan feminisme, sekaligus mengukuhkan kesetaraan peran dan hak perempuan yang selama ini diperjuangkan oleh para aktivis perempuan secara personal di Dunia Islam.
Mengembalikan Peran Perempuan
Sejak periode awal Islam, perempuan (muslimah) memang sudah menyadari adanya ketidakadilan, diskriminasi, dan marginalisasi. Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW mencoba memperjuangkan ketidakadilan tersebut dan mengajukan protes kepada Nabi dengan sebuah tuntutan, “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki selalu disebut-sebut dalam peristiwa hijrah, sedangkan kami (perempuan) tidak?” Nabi menyadari tuntutan tersebut, kemudian beliau mengadukannya kepada Allah, lalu turunlah ayat, “Maka, Allah telah mengabulkan tuntutan mereka, sesungguhnya Kami tidak akan menghilangkan perbuatan seseorang di antara kalian baik laki-laki maupun perempuan (Q.S. Ali Imran: 195).
ADVERTISEMENT
Ayat di atas merupakan pengakuan teologis yang sangat genuine yang dirancang Tuhan untuk melapangkan jalan bagi kaum perempuan menuju ruang luas yang selama ini diisi laki-laki, yaitu ruang publik. Maksud esoterik ayat tersebut bahwa aktualisasi diri perempuan akan mendapat apresiasi yang sama seperti laki-laki, sehingga peran mereka tidak akan sia-sia. Bahkan, keduanya memiliki peran sejajar dalam menjalankan tanggung jawab publik ; moral, intekektual dan sosiokultural dengan melakukan amar makruf nahi munkar (Q.S. At Taubah: 71).
Di dalam kitab Usdal-Ghabati fi Ma’rifat al-Sahabati Jilid 7 karya Ibnu Al-Atsir disebutkan bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab membentuk Badan Pengawas di kota Madinah, beliau menunjuk seorang perempuan bernama Al-Syifa’ binti Abdillah untuk memimpin lembaga tersebut. Dengan demikian berarti bahwa Al-Syifa’ ditunjuk karena memiliki kapabilitas untuk melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang ada di pasar dan sekitarnya, termasuk masyarakat laki-laki. Masih ragukah kita terhadap keutamaan (fadhlun) yang diberikan Tuhan kepada perempuan?
ADVERTISEMENT
Kaum perempuan perlu diberi peran dalam wacan publik untuk membincang perdebatan-perdebatan legislasi, agar produk hukum yang berkaitan dengan perempuan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan kaum perempuan, bukan produk hukum, termasuk fikih perempuan (fiqh An-nisa’) yang didesain berdasarkan tendensi laki-laki.
Ijitihad untuk kaderisasi ulama perempuan - di Indonesia yang diinisiasi Masjid Itiqlal melalui PKU-MI perlu juga didukung secara institusional, termasuk instansi-instansi keagamaan yang berafiliasi dengan negara. Dengan demikian, akan muncul ulama (intelektual) perempuan yang bisa membebaskan kaum perempuan dari kungkungan imaji-imaji masa silam, mengikis sekat-sekat sosiokultural yang kerap menghambat partisipasi mereka dalam ruang publik serta dapat menyelesaikan persoalan-persoalan perempuan berdasarkan perspektif kaum perempuan itu sendiri.
Lebih dari itu, PKU-MI dapat mencetak dan melahirkan ulama, termasuk ulama’ perempuan yang menjadi rujukan umat, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Mereka dididik agar dapat menguasai khazanah Islam klasik dan pengetahuan modern dari berbagai disiplin ilmu, sehingga mampu menjawab isu-isu kontemporer. Terobosan ini merupakan sebuah ijtihad untuk memperjuangkan keseteraan peran dan hak kaum perempuan khususnya di Indonesia. Wallahu A´lam. (Fath).
ADVERTISEMENT