Konten dari Pengguna

Kemerdekaan Palestina dan Konsistensi Diplomasi Indonesia

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
22 November 2023 12:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ribuan warga melintasi jembatan Ahmad Yani Summarecon Bekasi usai mengikuti aksi "Bela Palestina" di Alun-Alun Patriot Kota Bekasi/11/11/2023/Dok.Fath
zoom-in-whitePerbesar
Ribuan warga melintasi jembatan Ahmad Yani Summarecon Bekasi usai mengikuti aksi "Bela Palestina" di Alun-Alun Patriot Kota Bekasi/11/11/2023/Dok.Fath
ADVERTISEMENT
Memasuki hari ke 46, sejak dimulainya perang antara Israel-Hamas, 7 Oktober lalu, agresi militer Israel di Gaza belum ada tanda-tanda berakhir. Korban dari kalangan sipil warga Palestina terus berjatuhan. Fasilitas-fasilitas umum, seperti; kamp pengungsi, sekolah, rumah ibadah, rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Indonesia dan lainnya menjadi target serangan bombardir militer Israel, sehingga krisis-bencana kemanusiaan benar-benar terjadi di Gaza.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan Kantor Media pemerintah di Gaza dikutip aljazeera.net( 21/11/2023), jumlah korban tewas akibat agresi Israel di Jalur Gaza mencapai 14.128 orang, termasuk 5.840 anak-anak dan 3.920 perempuan, sedangkan jumlah orang hilang mencapai 6.800 orang .
Kecaman demi kecaman dari masyarakat internasional maupun organisasi-organisasi regional dan Internasional seperti; Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Perserikatan Bangsa-Bangsa (BBB), seolah tidak berdaya. Resolusi Majelis Umum PBB terkait jeda kemanusiaan di Gaza yang disetujui 120 negara pada 27 Oktober 2023 juga diabaikan. Israel tampak semakin digdaya, sementara warga Gaza di Palestina terisolasi dan semakin tidak berdaya.

Berjuang Sendiri

Warga ikut Aksi Bela Palestina di kota Bekasi/11/11/2023/Dok.Fath
Sejauh ini, faksi-faksi di Palestina, termasuk Hamas di Gaza tampak konsisten dalam memperjuangkan kebebasan dan kemerdekaan dari pendudukan Israel. Tetapi, secara psikologis tentu mereka juga merasa kecewa karena negara-negara terdekat di sekitar Palestina, justru semakin mesra dengan Israel melalui normalisasi hubungan diplomatik dengan negara Zionis tersebut, seolah membiarkan penderitaan rakyat Palestina dan meninggalkan mereka berjuang sendiri.
ADVERTISEMENT
Upaya diplomatik yang dilakukan Amerika Serikat pada era pemerintahan Donald Trump (2016-2020) untuk mendorong perdamaian Israel-Arab melalui proyek perjanjian (Abraham Accord) yang dipimpin Jared Kushner telah berhasil mendorong normalisasi negara-negara Arab dengan Israel, bukan mendorong perundingan damai Palestina-Israel menuju solusi dua negara berdaulat (two state solution). Lebih dari itu, posisi Israel justru semakin kuat di Timur Tengah, karena semakin luas legitimasinya sebagai suatu entitas negara.
Dalam konteks situasi mutakhir di Gaza Palestina saat ini, sejatinya, negara-negara (Arab-Islam) yang sudah memiliki saluran-hubungan diplomatik dengan Israel bisa memainkan peran diplomasinya, menekan pemerintah Tel Aviv karena dalih negara-negara tersebut membuka hubungan diplomatik dengan Israel dalam rangka melapangkan jalan bagi perdamaian Palestina-Israel. Tetapi, faktanya justru negara-negara tersebut dikendalikan Israel dengan jaminan investasi serta bantuan-kerja sama ekonomi, dan perdamaian pun tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Menyikapi apa yang terjadi Gaza, negara-negara Arab-Muslim yang memiliki hubungan diplomatik dengan israel, tampak mulai terjebak dengan model diplomasi “carrot and stick-wortel dan tongkat”, sehingga tidak berkutik untuk menekan sikap arogansi Israel di Gaza saat ini.
Semakin luas jangkauan hubungan diplomatik Israel dengan negara-negara Arab-Muslim akan semakin leluasa bagi Israel memperlihatkan posisinya yang kuat dan sesuka hati melanggar resolusi-resolusi yang yang disepakati PBB, sementara, posisi Palestina semakin lemah dan tersisih.
Israel terus berupaya meluaskan legitimasinya melakukan lobi-lobi diplomatik mendorong sebanyak mungkin negara-negara Arab-muslim agar bekerja sama, berdamai dan menandatangani kesepakatan normalisasi hubungan diplomatiknya. Selain Arab Saudi, Indonesia termasuk negara yang menjadi target sasaran diplomatik Israel selanjutnya.
The Jerussalem Post, (23/12/2020) membuat laporan bahwa Menteri Intelijen Israel (2020-2021), Eli Cohen telah berspekulasi, Indonesia termasuk di antara negara-negara yang dapat menandatangani kesepakatan semacam itu dengan Israel.
ADVERTISEMENT
Bahkan, CEO Perusahaan Pendanaan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (US International Development Finance Corporation), Adam Boehler mengatakan kepada Kantor Berita Bloomberg, Indonesia dapat menerima lebih dari US $ 1 miliar dari pemerintahan Trump jika melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Pertemuan Menteri Pertahanan Indonesia, Prabowo Subianto dengan Kuasa Usaha Israel untuk Bahrain, Itay Tagner dalam Forum Internasional dialog tentang keamanan regional yang berlangsung di Manama, Bahrain, 19-21 November 2021 menjadi pemberitaan menghebohkan di media Israel dan Timur Tengah.
Surat Kabar Israel, Yedioth Ahronoth mendokumentasikan pertemuan Tagner dengan Menteri Pertahanan Indonesia, negara muslim terbesar di dunia dan menyebutnya sebagai pertemuan yang “tidak biasa”. Mungkinkah Indonesia tergoda untuk melakukan normalisasi-hubungan diplomatik dengan Israel?
ADVERTISEMENT

Konsistensi Indonesia

Seorang anggota organisasi ketenagakerjaan Indonesia mengenakan masker saat protes terhadap Israel di luar gedung PBB di Jakarta, Selasa (18/5). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
Sikap dan dukungan Indonesia terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina tidak berubah, di tengah perubahan dan dinamika geopolitik di kawasan.
Normalisasi hubungan diplomatik sejumlah negara Arab dengan Israel misalnya Uni Emirat Arab dan Bahrain yang kemudian akan disusul Arab Saudi tentu membuat kecewa rakyat Palestina, termasuk faksi-faksi di Palestina yang selama ini gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara Palestina. Hingga saat ini, Indonesia masih konsisten mendukung kemerdekaan Palestina tanpa melakukan hubungan diplomatik dengan Israel.
Sikap konsisten Indonesia didasarkan pada konstitusi negara yang menegaskan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan harus dihapuskan di muka bumi. Sikap tersebut benar-benar ditunjukkan Indonesia dalam fora-fora internasional dan regional, baik melalui dukungan formal diplomatik terhadap Palestina maupun dukungan informal.
ADVERTISEMENT
Bahkan, soal agresi Israel di Gaza, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi bersama sejumlah pejabat negara, tokoh agama dan masyarakat Indonesia melakukan orasi (5/11/2023) dalam bentuk puisi mendukung rakyat Palestina sebagai saudara dalam memperjuangkan kemerdekaannya.
Dalam konteks diplomasi, untaian kata-kata puitis yang dibacakan Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia bisa dibaca oleh Israel sebagai protes dan perlawanan keras Indonesia atas agresi militer Israel yang menewaskan puluhan ribu jiwa manusia di Gaza saat ini. Dalam diplomasi, ada adagium “Saying is doing, doing is saying”.
Sebagai respons atas perlawanan sikap Indonesia tersebut, militer Israel mencoba melancarkan serangan rudal di sekitar Rumah Sakit Indonesia di Gaza Utara dengan alibi sebagai tempat perlindungan kelompok Hamas dan Jihad Islam Izzeddin al-Qassam.
ADVERTISEMENT
Sungguh pun demikian, Indonesia terus berupaya memperjuangkan isu-isu Palestina mendorong genjatan senjata dan kemerdekaan Palestina dengan formula “two state solution” melalui saluran-saluran diplomatik yang memungkinkan baik bilateral maupun multilateral.
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Presiden Joe Biden di Washington, (13/11/2023) secara diplomatik sangat taktis, karena dilakukan secara paralel antara diplomasi bilateral dan diplomasi multilateral.
Pertama, Indonesia membawa kepentingan bilateral kedua negara terkait upaya peningkatan kerja sama-strategic comprehensive partnership-dalam cakupan kerja sama yang lebih luas dan strategis; ekonomi, investasi dan pertahanan keamanan.
Kedua, Indonesia membawa pesan hasil pertemuan darurat negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja sama Islam (OKI) yang berlangsung di Riyadh (11/11/2023) terkait agresi militer Israel di Gaza yang secara nyata – baik logistik-persenjataan maupun intelijen-didukung Pemerintahan Joe Biden.
ADVERTISEMENT
Artinya, diplomasi Indonesia dilakukan melalui komunikasi dan dialog sebagai respons strategis terhadap ancaman dengan pendekatan sepakat terhadap sesuatu dan tawar menawar (agree and bargain) terhadap sesuatu yang lain.
Selanjutnya, Indonesia melalui Menlu Retno Marsudi bersama sejumlah Menlu OKI dan Liga Arab terus melakukan lobi-lobi dengan kekuatan-kekuatan besar lainnya seperti; China dan Rusia dan negara-negara BRICS dalam rangka menghentikan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan dan arogansi militer Israel di Gaza.
Jimmy Carter dalam “Palestine: Peace, Not Apartheid (2006) menggambarkan bahwa tidak akan ada substansi perdamaian abadi bagi rakyat di kawasan yang penuh gejolak ini selama Israel melanggar resolusi-resolusi PBB dan melanggar peta jalan perdamaian dengan menduduki tanah-tanah Arab dan menindas rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
Maka, Indonesia mesti konsisten melakukan diplomasi untuk perdamaian serta kemerdekaan rakyat Palestina dengan formula dua negara two state solution serta introspeksi untuk melakukan hubungan diplomatik dengan Israel hingga kemerdekaan Palestina itu terwujud. (Fath)