Nobel Perdamaian 2023 dan Perjuangan Perempuan di Iran

Fathurrahman Yahya
Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2023 18:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan Iran. Foto: Koca Vehbi/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan Iran. Foto: Koca Vehbi/Shutterstock

Nobel Perdamaian 2023 dan Perjuangan Perempuan di Iran

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Komite Nobel Perdamaian, Berrit Reiss Andersen, mengumumkan penghargaan Nobel Perdamaian 2023 kepada seorang aktivis perempuan asal Iran, Narges Mohammadi, Jumat (6/10/2023) di Oslo, Norwegia.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers di Kantor Norwegian Nobel Institute, Oslo, Reiss Andersen mengatakan bahwa penghargaan Nobel Perdamaian 2023 diberikan kepada Narges Mohammadi atas perjuangannya melawan penindasan terhadap perempuan di Iran dan perjuangannya untuk mempromosikan hak asasi manusia serta kebebasan bagi semua.
Pemberian hadiah Nobel yang sangat prestisius kepada aktivis perempuan Iran, kelahiran 21 April 1972 tersebut menarik untuk dicermati dan tentu menjadi perhatian dunia internasional, terutama dalam konteks hubungan negara-negara Barat dengan Iran saat ini.
Mengapa Komite Nobel Perdamaian sangat peduli memberikan penghargaan kepada pejuang hak-hak perempuan, termasuk Narges Mohammadi? Apa implikasinya terhadap politik dalam negeri Iran dan relasi diplomatiknya dengan Barat?

Menghargai Kebebasan

Aktivis hak asasi manusia Iran dan wakil presiden Pusat Pembela Hak Asasi Manusia (DHRC), Narges Mohammadi. Foto: Mohammadi family archive photos/Handout via REUTERS
Sejak dua dekade terakhir, Komite Nobel Perdamaian (Nobel Peace Prize Commitee) memberi perhatian besar terhadap perjuangan aktivis perempuan sehingga menganugerahkan mereka sebagai Laureates.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, terdapat 9 aktivis perempuan yang dinobatkan sebagai peraih penghargaan Nobel Perdamaian (Laureates) seperti Shirin Ebadi (2003-Iran), Wangari Maathai (2024-Kenya), Ellen Johson Serleaf, Leymah Gbowee (2013-Liberia), Tawakkol Karman (2013-Yaman), Malala Yousafzai (2014-Pakistan), Nadia Murad (2018-Irak), Maria Ressa (2021-Filipina) dan Narges Mohammadi (2023-Iran).
Para pejuang hak-hak perempuan tersebut secara dominan berasal dari negara-negara berkembang, termasuk di dalamnya negara-negara muslim. Hak-hak kaum perempuan (publik-pendidikan-politik) di negara-negara muslim khususnya selalu menjadi diskursus yang tak pernah usai.
Pertanyaan yang selalu mengusik kita: Adakah sekat-sekat teologis atau sosiokultural yang menghambat mereka memasuki ruang publik-pendidikan-politik—yang kerap didominasi secara privat kaum laki-laki?
Sejak abad ke-20 M, isu-isu pemberdayaan, kesetaraan, dan hak-hak publik kaum perempuan sudah didengungkan para kampion gerakan feminisme di dunia Islam misalnya Qasim Amin dan Nawwal Sa'dawi di Mesir, Fatima Mernissi di Maroko, serta Riffat Hasan di Pakistan.
ADVERTISEMENT
Mereka menyerukan pemberdayaan kaum perempuan melalui pendidikan, kesempatan kerja, bahkan partisipasi politik. Melalui bukunya Le Harem Politique Le Prophetee Les Femmes, Mernissi menganjurkan penafsiran kembali teks-teks klasik Islam (tafsir dan fikih), karena di dalamnya ada kecenderungan misoginis yang secara sistematik menanamkan kebencian terhadap perempuan.
Potret kaum perempuan dan hak-hak publik mereka, utamanya di Afganistan dibawah rezim Taliban dan Iran belakangan ini kerap menjadi sorotan dunia Internasional.
Perempuan di Afganistan seperti digambarkan Ketua Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet (10/03/2022) selain menghadapi perang, mereka juga menghadapi kemiskinan ekstrem, kekerasan, diskriminasi dan dikucilkan dari proses kekuasaan.
Demikian pula di Iran, ribuan masyarakat-utamanya kalangan perempuan melakukan aksi demonstrasi di puluhan kota di Iran memprotes pemerintah atas kematian tragis Mahsa Amini (22 tahun) yang ditahan pihak berwenang di Teheran 13 September 2022 dan meninggal beberapa hari saat berada di dalam tahanan. Mereka juga memprotes ketidakadilan terhadap kaum perempuan termasuk dalam hal kebebasan menggunakan pilihan busana.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, penghargaan Nobel Perdamaian 2023 kepada Narges Mohammadi memunculkan sejumlah pertanyaan, mengapa Narges Nohammadi, aktivis perempuan yang masih mendekam di penjara Teheran ini menjadi pilihan Komite Nobel Pedamaian? Adakah motif politik terhadap Iran dibalik penghargaan prestisius ini?

Tekanan Terhadap Rezim

Seorang demonstran memegang rambutnya yang telah dipotong selama aksi protes menyusul kematian Mahsa Amini, di depan Gerbang Brandenburg di Berlin, Jerman, Jumat (23/9/2022). Foto: Christian Mang/REUTERS
Dengan motto “ Woman-Life-Freedom”, Narges Mohammadi bersama ribuan demonstran melakukan gerakan protes kepada pemerintah Iran atas kebijakan-kebijakan yang dinilai mengebiri hak-hak kaum perempuan.
Narges Mohammadi, perempuan berusia 51 tahun saat ini masih mendekam di penjara Teheran atas tuduhan menyebarkan propaganda melawan negara-rezim penguasa Iran.
Setidaknya, penghargaan Nobel terhadap Mohammadi, akan menguatkan semangat perjuangan oposisi untuk terus menentang kebijakan pemerintah terkait kebebasan dan hak-hak kaum perempuan di negeri para Mulllah itu, termasuk soal penolakan hukuman mati yang diperjuangkan Mohammadi bersama ribuan perempuan lainnya.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, pemerintah Iran memprotes penghargaan Nobel Perdamaian kepada Narges Mohammadi sebagai kontroversial dan intervensi terhadap kedaulatan hukum dalam negeri Iran.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Nasser Kanaani, mengecam penghargaan Nobel Perdamaian kepada Narges Mohammadi dan menganggapnya sebagai tindakan bias dengan mempolitisasi penghargaan tersebut.
“Komite Nobel Perdamaian telah memberikan hadiah kepada seseorang yang dihukum karena pelanggaran hukum dan tindakan kriminal berulang kali, dan kami mengutuk hal ini sebagai tindakan yang bias dan bermotif politik,” katanya sebagaimana dikutip dari Reuters (6/10/2023).
Penghargaan ini terjadi hanya selang sekitar satu tahun setelah kematian seorang perempuan Iran, Mahsa Amini (22 tahun), 16 September 2022 lalu yang ditangkap pihak berwenang karena dianggap melanggar aturan standar kesopanan berbusana.
ADVERTISEMENT
Posisi Narges Mohammadi yang berafiliasi kepada organisasi pembelaan hak-hak kemanusiaan yang didirikan peraih Nobel Perdamaian 2003, Shirin Ebadi, sama dengan peraih Nobel Perdamaian asal China Liu Xiaobo (2010) yang menimbulkan kontroversi dan memunculkan ketegangan diplomatik antara China dan Norwegia.
Saat itu, China menganggap Liu Xiaobo sebagai pembangkang negara karena melanggar hukum negara. Pemerintah Iran juga demikian, menganggap Narges Mohammadi sebagai pelanggar hukum di Iran.
Dalam sejarahnya, sejak tahun1901 penghargaan Nobel perdamaian tidak pernah bebas dari kontroversi, karena sebagian Laureats-penerima penghargaan bergengsi tersebut merupakan figur atau tokoh oposan yang berlawanan dengan arah kebijakan dan kepentingan politik suatu rezim.
Bagi kalangan oposisi dan para aktivis kaum perempuan di Iran, Narges Mohammadi merupakan pejuang hak dan kebebasan. Tetapi, bagi pemerintah, penghargaan ini hanya sebagai alat tekanan Barat yang sangat dahsyat terhadap Iran yang selama ini melawan hegemoni Barat-Amerika dan aliansinya.
ADVERTISEMENT