Konten dari Pengguna

Perang Dagang : Babak Baru Rivalitas Amerika Serikat VS China

Fathurrahman Yahya
Dosen, Pemerhati Politik dan Isu-Isu Internasional, Program Doktoral Kajian Komunikasi Politik dan Diplomasi Universitas Sahid Jakarta.
20 April 2025 16:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fathurrahman Yahya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Sejak pemerintahan pertama Donld Trump (2017-2021), hubungan dagang Amerika Serikat dengan China semakin memanas, dan mulai memasuki eskalasi ketegangan baru pada pemerintahan Trump kedua (2025-2029) dengan kebijakan tarif resiprokal esktrem (245 %) yang diterapkan terhadap China.
ADVERTISEMENT
Rivalitas kedua negara ini dapat dibaca serupa dengan perang dingin (cold war), tetapi dalam nuansa yang berbeda. Pada saat perang dingin antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet, kompetisi yang sangat menonjol adalah persaingan pengaruh geopolitik-ideologis-kapitalis-demokratis vis avis komunis-sosialis dengan kekuaan pertahanan. Sementara, rivalitas Amerika Serikat dengan China saat ini adalah bernuansa ekonomi dan perdagangan, sehingga narasi yang muncul adalah perang dagang (trade war).
Perang dagang yang digaungkan pemerintah Washington terhadap China saat ini memasuki babak baru dan tidak bisa dilepaskan dari kontestasi pengaruh geopolitik. Menurut pengamatan Prof.Kishore Mahbubani, pakar kebijakan politik Luar Negeri asal Singapura, dan penulis buku ‘’ Has China Won? : The Chinese Challenge to American Primacy”, kontestasi pengaruh geopolitik kedua negara bisa berlangsung dalam satu atau dua dekade ke depan. Nah, menarik untuk dicermati, Apakah kontestasi ini akan berakhir pada konfrontasi atau jusru kolaborasi?
ADVERTISEMENT
Negosiasi dan Kolaborasi
Sungguhpun Presiden Donald Trump menggunakan model diplomasi menekan, khususnya terhadap China untuk segera bernegosiasi, Presiden Xi Jinping belum beranjak untuk bernegosiasi. Presiden Xi Jinping sangat memahami model diplomasi ‘’pragmatis dan transaksional’’ Presiden Trump yang kerap disuarakan lewat diplomasi megaphone (meghapone diplomacy) sebagai psy-war sejak pemerintahannya periode pertama (2017-2021) lalu.
Saat itu, Presiden Trump tiada henti melancarkan “serangan” terhadap China dengan nada perang mulai dari perang mata uang (currency war), perang dagang (trade war) dan perang teknologi (technology war).” Bahkan, Presiden Trump kerap menghembuskan isu-isu sensitif menyangkut kedaulatan “sovereignty” dalam negeri China yang tidak bisa diterima China misalnya soal keamanan dalam negeri Hongkong, Taiwan, hak-hak Muslim Uighur, dll. sebagai tekanan diplomasi AS tehadap China.
ADVERTISEMENT
Tarif resiprokal sebesar 245 % yang dibebankan untuk produk-produk China yang diekspor ke Amerika Serikat, tidak membuat gentar negeri Tirai Bambu. Tarif yang dinilai tidak adil dan seimbang bagi China, justru menjadi bumerang bagi Trump dan pemerintahannya. Terakhir, China mengambil langkah taktis dan strategis melawan kebijakan Trump dengan memboikot pengiriman pesawat komersial produksi Boeing dan pembelian suku cadangnya kepada maskapai penerbangan di China. (Newsweek.com,04,17,2025).
Dalam konteks ini, sebagian pengamat menilai sepertinya Presiden Trump ceroboh melakukan tarif resiprokal yang sangat tinggi terhadap China, padahal banyak Perusahaan-perusahaan strategis raksasa asal AS seperti : Boeing, Ford, General Motors yang memanfaatkan pasar besar (big market ) China.
Pada tahun 1993 pendapatan Boeing dari pasar China mencapai $ 1.2 miliar, dan meningkat menjadi $ 11.9 miliar pada tahun 2017. Bahkan, Boeing memperkirakan pada tahun 2038, China membutuhkan setidaknya 7.690 pesawat komersial baru senilai $ 1.2 triliun. (Mahbubani : 2020).
ADVERTISEMENT
Juru bicara Kedutaan Besar Tiongkok di AS Liu Pengyu dilansir Newsweek.com (4/17/2025), menegaskan bahwa "Tiongkok telah berulang kali menegaskan posisinya: tidak ada pemenang dalam tarif atau perang dagang. Memaksakan kenaikan tarif, menggunakan tekanan dan paksaan, bukanlah cara yang tepat untuk terlibat dengan Tiongkok. Kami mendesak pihak AS untuk menghentikan pendekatannya yang salah dengan memberikan tekanan maksimum dan sebagai gantinya menyelesaikan perbedaan melalui dialog berdasarkan kesetaraan, saling menghormati, dan saling menguntungkan."
Pada titik ini, China masih berharap dapat berdialog secara adil dan setara dengan AS untuk berkolaborasi, karena menurut Presiden Xi Jinping tidak akan ada pemenang dalam perang dagang ini. Bisa saja, untuk sementara waktu karena tekanan di dalam negeri dari warganya dan para pengusaha, Presiden Trump menunda tarif resiprokal terhadap China. Hanya saja, dalam perspektif politik AS, China tetap menjadi ancaman yang berbahaya terhadap pengaruh geopolitiknya.
ADVERTISEMENT
Menghindari Eskalasi
Pasca runtuhnya Uni Soviet (red threat) dengan ideologi komunis-sosialisnya, sejatinya AS menghadapi dua bahaya sebagaimana digambarkan Leon Hadar (1992) yaitu ; ancaman hijau (green peril) berupa bangkitnya gerakan fundamentalisme, radikalisme dan terorisme di Timur Tengah, serta ancaman kuning (yellow threat) dengan bangkitnya kekuatan ekonomi Asia Timur. Nah, setelah misi Timur Tengah Baru (The New Middle East) selesai, proyeksi strategis AS selanjutnya adalah China, karena dianggap menjadi ancaman serius terhadap pengaruh geopolitik AS baik dalam skala regional maupun global.
Dengan meningkatnya eskalasi perebutan pengaruh geopolitik AS vs China melalui perang dagang, China tentu akan serius memikirkan kembali untuk mengambil langkah-langkah taktis dan strategis melawan tekanan AS, terutama terkait kebijakan tarif Presiden Trump yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jamak diketahui, selama pemerintahan Donald Trump (2017-2021), ketegangan antara kedua kekuatan ekonomi dunia tersebut sudah terjadi, tetapi eskalasinya tidak seperti saat ini yang diprediksi akan terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Memang sejauh ini, Presiden Trump kerap menyatakan memiliki "hubungan yang sangat baik" dengan Presiden Xi Jinping, tetapi dalam realitasnya kedua negara ini memiliki sifat ‘’persaingan’’ dan ‘’permusuhan’’. Baik AS maupun China telah meningkatkan pembatasan perdagangan mereka sebagai bagian dari persaingan strategis yang lebih luas. Pengenaan tarif resiprokal yang sangat tinggi bisa menjadi instrumen menuju kontestasi pengaruh geopolitik yang lebih besar.
President Xi Jinping, Malaysian King Sultan Ibrahim Sultan Iskandar, and Malaysian Prime Minister Anwar Ibrahim pose for a group photo in Kuala Lumpur, Malaysia, April 16, 2025. [Photo/Xinhua]
Kekuatan ekonomi negeri Tirai Bambu dengan pertumbuhan GDP nya yang stabil di atas angka 5 % (5.3 % : 2024) dan (5,4 % : Q1/ 2025) membayangi kekuatan ekonomi AS. Perang dagang (trade war) yang gencar digaungkan pemerintahan Trump sebagai tekanan terhadap China saat ini baru babak awal dan bisa berlanjut pada babak berikutnya yaitu persaingan pesenjataan, bahkan perang kekuatan pertahanan dan keamanan.
ADVERTISEMENT
Menarik untuk dicermati bahwa dengan penangguhan kebijakan tarif tinggi yang dibebankan terhadap hampir semua negara-negara anggota PBB kecuali China, Presiden Trump sebenarnya melakukan pemetaan kembali (re-mapping) siapa yang akan bernegosiasi untuk berkolaborasi sebagai kawan dan siapa yang menolak bernegosiasi sebagai lawan.
Presiden China Xi Jinping pun demikian, mulai mencari perkawanan solidaritas, khususnya di kawasan Asia Tenggara dengan mengunjungi Vietnam, Malaysia dan Kamboja (14-18/4/2025) untuk melawan kebijakan tarif Trump yang dinilainya sebagai ‘’intimidasi sepihak’’.
Implikasinya, jika eskalasi perang dagang AS vs China ini tidak dapat diredam dan dihindari, Asia Tenggara (negara-negara ASEAN) setidaknya bisa menjadi medan pertempuran dua kekuatan ekonomi dunia itu. Maka, memanfaatkan peluang ini dengan merancang langkah-langkah strategis bersama (sesama) negara ASEAN sangat penting, tetapi mengelola dan menavigasi resiko-resiko eskalasi perseteruan AS vs China jauh lebih penting.
ADVERTISEMENT