Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kirab Waisak, Miniatur Potret Toleransi di Indonesia
26 Mei 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Farhan Kamal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
----- Di siang hari itu ribuan orang berjejer rapi sepanjang 4.3 kilo meter, mulai dari Bapak-bapak yang mengisap rokok diujung bibirnya, hingga para Ibu-ibu berjilbab sambil menggendong anaknya yang tersenyum memegang balon karakter kartun. Tidak banyak yang mereka lakukan, mulai dari berteriak “halo, selamat Waisak” hingga melambaikan tangan sambil melempar senyuman kepada ribuan umat Buddha yang melakukan proses Kirab Waisak dari pelataran Candi Mendut, hingga Candi Borobudur untuk merayakan Hari Raya Waisak 2568 Buddhist Era (BE).
ADVERTISEMENT
Toleransi pada Prosesi Waisak
Saya pun bertanya kepada salah satu warga berjilbab tadi dan jawabannya pun membuat bulu kuduk saya berdiri, bukan takut, melainkan takjub. “ Panas terik seperti ini apa alasan Ibu melihat kirab Waisak ? “ tanya saya. Wirda pun menjawab seraya mengusap keringat anaknya, “ saya warga sekitar Candi Borobudur setiap tahun melihat kirab ini dan kami selalu menyemangati mereka yang kelelahan sambil juga mengucapkan selamat Waisak, hal ini biasa kami lakukan,” tuturnya sambil tersenyum (23/05/2024).
Dari jawaban tadi saya pun berkesimpulan, kalau warga sekitar memang sudah terbiasa toleran dan menghargai umat lainnya, karena tiap tahun menyaksikan kirab Waisak yang menurut Dirjen Bimas Buddha Kemenag RI, Supriyadi, mengatakan tradisi ini menggambarkan bagaimana tradisi Buddhis yaitu tahapan perjalanan, dimana dalam berjalan tersebut mereka sambil merenungkan keagungan Buddha dhamma yang menjadi panutan umat Buddha.
ADVERTISEMENT
Apa itu Kirab Waisak ?
Kirab Waisak ini membawa berbagai macam pernak-pernik yang menggambarkan ke-Bhinneka-an dari mulai lambang Garuda Pancasila bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, hasil pertanian, juga yang jadi inti dari kirab ini adalah membawa air suci dan api dharma yang telah disemayamkan di Candi Mendut hingga akhirnya di arak mengelilingi Candi Borobudur dan ditutup dengan menerbangkan lampion pada waktu petang.
Potret Moderasi Beragama
Meskipun dibawah terik matahari Kabupaten Magelang, potret toleransi ini membuat suasana menjadi teduh, riuh, namun tetap sakral. Jika kita melihat kilas balik pada tahun 2024 banyak sekali isu intoleransi muncul, terakhir yang ramai jadi perbincangan, pembubaran mahasiswa umat Katolik Universitas Pamulang yang tengah melantunkan doa Rosario di Pamulang, Tangerang Selatan, hal ini membuat bulu kuduk saya merinding, bukan takjub, melainkan takut.
ADVERTISEMENT
Lantas, potret kecil warga sekitar Candi Borobudur Kabupaten Magelang ini apakah dapat kita replikasi di seluruh penjuru Indonesia? Dengan segala ragam adat, suku, budaya, bahasa, aliran dan 6 (enam) Agama yang telah di akui oleh negara, potensi ini sangat mungkin dilakukan.
Bagaimana Perkembangan Moderasi Beragama di Indonesia ?
Pertama, melalui Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama sebagai landasan hukum dalam mempertebal harmoni yang secara serius dilakukan oleh pemerintah dan Kementerian Agama didapuk sebagai aktor utama. Berbagai macam strategi telah dilakukan sehingga terus meningkatkan kerukunan umat beragama dari tahun ke tahun, lalu apa buktinya?
Kedua, mengutip laman Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, pada tahun 2023, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) berada di angka 76.02 % dengan proporsi jenis kelamin 49.96 % (Perempuan) dan 50.04 % (Laki-laki), dan jika dilihat dari segi usia, pada usia 40-45 memiliki indeks toleran paling tinggi berjumlah 25.55 % disusul usia 30-39 22.34 % dan usia 20-29 sebesar 17.85 %.
ADVERTISEMENT
Ketiga, peran penting masyarakat jadi salah satu pilar utama dalam membumikan toleransi melalui moderasi beragama, mengutip ucapan Bapak Pluralisme Indonesia, Almarhum Gus Dur pernah berkata “Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan". Hal ini yang harus kita pahami secara bersama bahkan perlu diinternalisasi sejak dini. Sehingga, tidak hanya cukup melalui regulasi saja, melainkan peran aktif masyarakat untuk sama-sama membudayakan toleransi.
Jadi, kapan kita mulai bertoleransi? Jawabnya, Sejak Dini ! Kalau bukan kita lalu siapa lagi?
Oleh Farhan Kamal, Pranata Humas Kementerian Agama RI.