Konten dari Pengguna

Eksistensi Perempuan dalam Novel Malam Seribu Jahanam Karya Intan Paramadhita

Cicih Kurniasih
Mahasiswa Universitas Pamulang, Semester 2
12 Januari 2025 10:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Cicih Kurniasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto : Pexels.com
ADVERTISEMENT
1. Bentuk Perilaku Diskriminatif Terhadap Perempuan
ADVERTISEMENT
a. Stereotipe
Foto : Pexels.com
“Perawan tua, tinggal sendirian, beranak kucing.”
Pada kutipan di atas, ditemukan bentuk perilaku diskriminatif dalam bentuk sterotipe atau labeling yang di alami oleh tokoh Muti dalam novel malam seribu jahanam karya Intan Paramadhita. Tokoh Muti dianggap perawan tua oleh keluarganya karena belum juga menikah di usianya sudah matang.
“Kau bicaralah pada si Muti, mana ada laki-laki yang mau kalau dia hidup kayak nenek sihir.”
Pada kutipan di atas, ditemukan bentuk perilaku diskriminatif dalam bentuk sterotipe atau labeling yang di alami oleh tokoh Muti dalam novel malam seribu jahanam karya Intan Paramadhita. Tokoh Muti yang dianggap seperti nenek sihir, dipastikan tidak akan ada laki-laki yang ingin bersamanya.
ADVERTISEMENT
2. Bentuk-bentuk Perlawanan Perempuan Sebagai Wujud Eksistensi Diri
Foto : Pexels.com
Dalam novel Malam Seribu Jahanam karya Intan Paramadhita,terdapat tokoh perempuan yang menggambarkan eksistensinya. Tokoh perempuan itu memperjuan eksistensi dirinya melawan masyarakat melawan segala bentuk ketidakadilan gender dan diskriminasi terhadap perempuan. Dengan menggunakan teori feminisme Simone de Beauvoir, ditemukan kutipan yang menunjukan eksistensi perempuan sebagai berikut :
“Setidaknya aku mampu membeli rumah ini, tapi seperti oom Benny yang menjadi parasit di rumah mertua, atau oom Boy yang akan berakhir di jalanan bila tak diselamatkan istri kaya. Orang-orang ini tidak berdiri sama rata denganku,...”
Pada kutipan di atas, terdapat bentuk perlawanan yang dilakukan tokoh Muti sebagai wujud dari eksistensinya. Tokoh Muti yanG mendapatkan labeling dari keluarganya sebagai perawan tua melakukan perlawanan bahwa dirinya mampu membeli rumah sendiri dibandingkan dengan paman-pamannya yang sebagai pria malah hidup menumpang kepada para istrinya. Tokoh Muti beranggapan bahwa posisi dirinya lebih tinggi dibandingkan orang-orang yang selalu mengejeknya sebagai perawan tua.
Foto : Pexels.com
“Aku kerja keras agar aku tak harus merebutkan uang dan tentu saja aku tak tahu rasanya mempertahankan cinta beda kelas, beda budaya karena suamipun aku tak punya.”
ADVERTISEMENT
Pada kutipan di atas, tokoh Muti berkerja keras agar dirinya tak perlu merebutkan uang. ia juga tidak perlu merasakan cinta beda kelas atau beda budaya yang nantinya akan menimbulkan sebuah permasalahan dalam hidupnya. Tokoh Muti merasa bahwa dengan bekerja keras dan memiliki uang yang banyak ia mampu lebih unggul dari para pria lainnya.
“Di umur dua puluh lima, aku bekerja dikantor, membiayai segala pengeluaran rumah, berbakti pada seluruh keluaega dan kucing.”
Pada kutipan di atas, Muti sebagai tokoh perempuan sejak usianya dua puluh lima tahun, ia sudah bekerja di kantor. Pada masa itu, kerja di kantor merupakan hal yang begitu luar biasa terlebih untuk tokoh Muti sebagai perempuan. Ia juga mampu membiayai semua pengeluaran rumah tanpa perlu sosok laki-laki yang biasanya dianggap sebagai kepala keluarga oleh masyarakat. Tokoh Muti memberikan eksistensinya bahwa dirinya sebagai perempuan mampu menafkahi dirinya sendiri dan keluarganya tanpa bantuan seorang laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Bila kau melewati perkarangan dan tiba di pintu jati berpelitur merah, kau akan lihat papan nama bertuliskan “Hajjah Victoriabinti Haji Tjek Sun”. Dia memasangnya setelah suaminya meninggal. Jika ditanya tetangga usil mengapa nama nenek dan bukan suaminya yang tertera di papan, ia akan berkata, lakiku sudah mati dan aku bukan janda sengsara yang cuma numpanga."
Pada kutipan di atas, terdapat tokoh perempuan lain dalam novel Malam Seribu Jahanam karya Intan Paramadhita yang menunjukan eksitensinya, yaitu tokoh nenek yang disebut Hajjah Victoria. Data dia atas, menggambarkan tokoh Hajjah Victoria yang tidak bergantung pada suaminya, bahkan ketika suaminya meninggal, ia mengganti nama di bagian pintunya dengan namanya sendiri, ketika ada tetangga yang bertanya, ia menjawab bahwa suaminya sudah meninggal dan dia bukanlah janda sengsara yang hidup menumpang pada suaminya. Hal itu, merupakan bentuk eksistensi dari tokoh Hajjah Victoria, pada umunnya di lingkungan masyarakat walaupun suami sudah meninggal tapi istri akan terus menggunakan marga dari suaminya.
ADVERTISEMENT