Konten dari Pengguna

Perlu Affirmatif Policy untuk Affirmatif Action dalam Mengatasi Krisis Iklim

Wulan Fitriana
Wulan Fitriana adalah alumni Magister Hukum Universitas Gadjah Mada. Memiliki minat mendalam dalam penelitian hukum, khususnya terkait isu-isu energi dan perubahan iklim dengan tujuan berbagi ilmu dan berkontribusi dalam dunia akademik.
14 Oktober 2024 16:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Wulan Fitriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber ilustrasi krisis iklim dari gettyimages.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber ilustrasi krisis iklim dari gettyimages.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saatnya Pemerintah Mengagas dan Mengesahkan RUU Perubahan Iklim
Suhu udara sudah mencapai hampir 2 derajat celcius, Berdasarkan laporan BMKG Anomali suhu udara Indonesia pada bulan September 2024 merupakan nilai anomali tertinggi ke-1 sepanjang periode pengamatan sejak 1981. Saatnya pemerintah mengambil sikap responsif untuk segera mengesahkan RUU Perubahan Iklim, situasi saat ini sudah bukan lagi tentang perlunya perencanaan kebijakan tapi perlu langkah konkrit untuk mengatasi krisis iklim akibat dampak dari perubahan iklim secara negatif, dimana krisis iklim yang terus memburuk dampaknya sudah sangat dirasakan bagi ekosistem, apa yang terjadi pada ekosistem dapat mempengaruhi keseimbangan seluruh lingkungan, termasuk makhluk hidup
ADVERTISEMENT
Pola cuaca yang sangat panas dirasakan masyarakat akhir-akhir ini merupakan akumulasi dari dampak krisis iklim (climate crisis), perubahan pola cuaca yang tidak menentu seperti penurunan curah hujan rata-rata sebesar 20-30% di beberapa daerah seperti Jawa, Sumatera dan Kalimantan, serta juga telah dampak terhadap sektor pertanian, banyak para petani yang terdampak, mengeluhkan tentang terlambatnya hasil panen yang mereka peroleh, bahkan mengalami gagal panen, atau kehilangan potensi produksi padi hingga 40% hingga kelangkaan air akibat dari dampak perubahan iklim secara negatif.
Krisis iklim tidak hanya membawa dampak pada sektor pertanian tetapi juga sektor lain, seperti sektor kesehatan, berdasarkan data dan Informasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Kesehatan berbasis bukti diantaranya Penyakit tular vektor: dengue dan Malaria, berdasarkan data saat ini penyuakit dengue dan Malaria per tahun 2020 telah tercatat sebanyak 254.050 kasus, penyakit tular udara seperti Pneumonia, yang menjadi penyebab kematian infeksi terbesar pada anak-anak di seluruh dunia tahun 2015- 2018kasus pneumonia yang terkonfirmasi pada anak-anak dibawah 5 tahun meningkat sekitar 500.000 per tahun, dan telah tercatat mencapai 505.331 pasien dengan 425 pasien meninggal dunia, kemudian penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan total kasus tergolong tinggi lebih dari 300.000 dalam kurun waktu 6 tahun, serta penyakit tuberkulosis dimana pada tahun 2020, diperkirakan ada 845.000 kasus TB di Indonesia serta Penyakit tular air diantaranya Diare, Malnutrisi: stunting, wasting dan underweight itu semua akibat dari dampak krisis iklim, belum sektor pangan sektor kehutanan, sektor industri dan lain sebagainya. Dapat dikatakan bahwa krisis iklim termasuk bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), banyak jutaan orang yang haknya dilanggar seperti kehilangan hak atas jaminan kesehatan, seperti yang telah dijamin oleh konstitusi pada pasal 28H yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” Inilah yang menjadi dasar mengapa hak atas kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia, belum dampak pada ketahanan pangan dan kelangsungan ekosistem.
ADVERTISEMENT
Sehingga krisis iklim telah mengancam stabilitas manusia sebagai salah satu spesies makhluk hidup, jika sesuatu hal telah melanggar HAM maka semua memiliki tanggung jawab terutama peran negara untuk melakukan perubahan, perlu affirmatif policy dalam bentuk aturan perundang-undangan untuk affirmatif action untuk mengatur kerjasama dari berbagai stakeholder terkait seperti badan usaha, masyarakat terdampak. Perlu peran pemerintah sebagai bargaining policy untuk mendukung atau melaksanakan tindakan atau langkah konkrit untuk mempercepat aksi iklim. Net zero emmision yang harus di capai pada tahun 2050 dan paling lambat pada tahun 2060, pada nyatanya target Nationally Determined Contribution (NDC) yang dijanjikan Indonesia dalam Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada tahun 2030 saat ini masih stagnant atau belum mengalami perubahan secara siginifikan meski dampak krisis iklim semakin dirasakan. Upaya pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan Pada 2023, baru mencapai 13,09% sementara target untuk 2025 adalah 23%.
ADVERTISEMENT
Bahkan pemerintah sendiri masih memberikan peluang deforestasi hingga 325.000 hektar per tahun hingga tahun 2030, serta dalam dokumen LTS-LCCR 2050 masih terdapat jatah deforestasi 6,8 juta hektar hingga tahun 2050, berdasarkan laporan Forest Watch Indonesia (FWI) juga menunjukkan bahwa deforestasi pada periode 2013-2017 dapat mencapai angka kurang lebih 5,7 juta atau sekitar 1,46 juta per tahun. Angka ini mengalami peningkatan dari rata-rata deforestasi dibandingkan dengan periode tahun 2009-2013 yaitu sebanyak 1,1 juta per tahun, padahal kontribusi dari adanya deforestasi untuk kenaikan emisi GRK sendiri sudah cukup tinggi yakni 1,98 miliar ton emisi CO2 setiap tahunnya Indonesia sendiri juga sebagai penyumbang emisi karbon terbesar keenam di dunia. Belum lagi pemerintah masih memberi izin hingga 2032 pada perusahaan andaro, merupakan korporasi yang bergerak dibidang penambangan batu bara terbesar dalam group Andaro, dimana peningkatan emisi GRK penyebab utama nya dari bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Target COP26, Paris Agreement yang menarget untuk membatasi pemanasan global dibawah 2 derajat celcius, atau maksimal 1,5 derajat celcius target NDC sebesar 29% kemudian target dinaikkan menjadi cukup ambisius sebesar 31,89% dapat dikatakan sulit untuk dicapai jika pemerintah masih membuka kran seperti beberapa kebijakan seperti tersebut diatas, perlu perumusan kebijakan kembali melalui aturan perundang-undangan yang tidak hanya bersifat sektoral (terpisah) tetapi aturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir peraturan lintas sektor, karna mengingat krisis iklim akibat dari perubahan iklim secara negatif ini telah membawa dampak di berbagai sektor. Indonesia memiliki kekayaan alam yang dapat mendukung transisi energi baru dan energi terbarukan, tercatat Indonesia memiliki potensi sumber daya EBT lebih dari 400 GW, dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sebesar 2,5% atau 10 GW. Sebagai negara yang memiliki megabiodiversity dengan kekayaan alam yang melimpah serta memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, maka dapat menjadi momentum pemerintah Indonesia untuk mengatur strategi politic will yang kuat dalam melakukan aksi untuk mengatasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Saat ini sudah bukan saatnya bermain dengan data, tapi butuh kesadaran kepedulian aksi yang didukung dengan affirmatif policy berupa aturan perundang-undangan untuk memperbaiki ketidakadilan dari krisis iklim. Krisis iklim tidak hanya ancaman bagi lingkungan tetapi juga telah mengancam keberadaan kelompok rentan yang terdampak atas adanya krisis iklim, perlu meningkatkan kedaruratan resiliensi ditingkat masyarakat
Menyikapi situasi saat ini Perlu gebrakan ambisi kerjasama antar pemerintah, aktivis dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait yang sesuai dengan bukti ilmiah suatu untuk mendorong dari situasi ini, beberapa laporan terkait dengan pelaporan data pelaksanaan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca belum cukup untuk dijadikan parameter bahwa Indonesia sudah berupaya dalam mengatasi krisis iklim dan berusaha memenuhi komitmennya atas Paris Agreement, oleh karena itu sudah saatnya ada langkah konkrit dari pemerintah kerjasama lintas kementerian khususnya KLHK, Kemenkeu untuk mendukung aksi dalam hal pendanaan, dan kerjasama dengan stakeholder untuk menangani krisis iklim, dengan menaikkan kebijakan pada level aturan perundang-undangan yang mengakomodir kepentingan lintas sektor merupakan langkah penting untuk mendorong upaya perubahan iklim secara konkrit.
ADVERTISEMENT