Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kasus Pembunuhan Nia: Ketika Nafsu Mengalahkan Akal Sehat
16 Oktober 2024 20:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Alvida Meylia Aristanty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal September 2024 menjadi bulan kelam bagi warga Padang Pariaman. Seorang gadis penjual gorengan bernama Nia ditemukan tewas di tempat usahanya. Kasus ini langsung menjadi sorotan media dan menyebabkan publik terkejut ketika mengetahuinya. Pelaku, Indra Septiawan, tega menghabisi nyawa Nia hanya karena dia tidak mampu menahan nafsunya. Nia, yang waktu itu sedang melayani teman pelaku, jadi korban kekejaman tak masuk akal. Pertanyaan yang muncul kemudian: kenapa bisa ada orang yang sebegitu nekatnya, sampai-sampai nafsu jadi alasan untuk melakukan pembunuhan?
ADVERTISEMENT
Kasus seperti ini sayangnya bukan pertama kali terjadi di Indonesa, dan mungkin juga bukan yang terakhir. Kekerasan seksual yang berujung pada pembunuhan sering kali terdengar, baik melalui pemberitaan media atau cerita dari mulut ke mulut. Lebih menakutkan lagi, persoalan ini tidak hanya sebatas kekerasan fisik, tetapi juga menyentuh mentalitas masyarakat. Banyak orang masih menganggap bahwa ‘menahan nafsu’ adalah masalah individu, padahal ini adalah masalah persoalan sosial yang lebih besar. Contoh nyata dari kasus ini menunjukkan bahwa seseorang bisa kehilangan kontrol diri hingga menganggap perempuan sebagai objek yang bisa diperlakukan sesuka hati.
Kasus ini pasti akan masuk ranah hukum, dan kita semua tentu berharap pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal. Namun, jika kita melihat kenyataan, penegakan hukum di Indonesia dalam kasus kekerasan seksual dan pembunuhan sering kali tidak konsisten dan masih banyak kelemahan. Banyak kasus serupa yang berakhir dengan hukuman yang dianggap tidak setimpal oleh masyarakat. Ketika pelaku nanti divonis, apakah hukumannya akan benar-benar memberikan efek jera? Hukuman yang berat memang penting, namun pencegahan harus menjadi fokus utama. Edukasi tentang seksualitas, kontrol diri, dan moralitas sangat penting untuk mengurangi angka kekerasan semacam ini.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan (2021) mengungkap bahwa kekerasan berbasis gender yang dipengaruhi faktor sosial-budaya masih sangat kuat di Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa perilaku pelaku sering kali dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kurangnya kemampuan untuk mengendalikan diri. Ini mengindikasikan bahwa penguatan pendidikan moral dan sosial harus dilakukan, bukan hanya di sekolah, tetapi juga dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Dalam setiap kasus kekerasan seksual, sering kali muncul komnetar yang menyalahkan korban, terutama perempuan, terkait dengan pakaian yang dikenakan. “Kenapa pakai baju terbuka kalau nggak mau diganggu?” adalah kalimat yang sering kita baca di media sosial. Pola pikir ini mengabaikan akar masalah yang sebenarnya. Mengapa perempuan selalu dituntut untuk menyesuaikan diri, seolah-olah keselamatan mereka sepenuhnya bergantung pada pakaian yang mereka kenakan? Ini menunjukkan bahwa masalah sebenarya terletak pada mentalitas dan kontrol diri pelaku, bukan pada penampilan korban. Daripada terus-menerus menuntut perempuan untuk menyesuaikan diri dengan standar tertentu, lebih baik kita fokus pada pendidikan yang menekankan kontrol pikiran dan perilaku serta rasa hormat terhadap hak-hak orang lain.
ADVERTISEMENT
Kasus pembunuhan Nia ini menjadi salah satu potret suram dari lemahnya kontrol diri dan rendahnya kesadaran tentang pentingnya menghargai kehidupan manusia. Penegakan hukum yang tegas dan edukatif yang masif dari pemerintah dan masyarakat merupakan tanggung jawab bersama. Tanpa adanya perubahan nyata dalam pendekatan kita, risiko untuk mengalami kejadian serupa akan selalu ada. Edukasi harus diarahkan pada pengendalian pikiran dan sikap serta penghargaan terhadap hidup, bukan hanya menuntut perubahan pada pihak korban.