Konten dari Pengguna

Tarik Ulur Hukuman Mati Para Koruptor : Bagaimana Dengan HAM

Muhammad Sandi Arifianto
Saya adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Administrasi Negara di Universitas Negeri Surabaya
7 Desember 2024 16:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sandi Arifianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi gambar palu sidang dan dewi keadilan https://www.canva.com/design/DAGYOW_DOu0/hV6zyFs-RSOYNo17jutLBw/edit?utm_content=DAGYOW_DOu0&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar palu sidang dan dewi keadilan https://www.canva.com/design/DAGYOW_DOu0/hV6zyFs-RSOYNo17jutLBw/edit?utm_content=DAGYOW_DOu0&utm_campaign=designshare&utm_medium=link2&utm_source=sharebutton
ADVERTISEMENT
Korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan bagi keberlangsungan sebuah negara. Korupsi saat ini bak sudah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia. Korupsi bukan hanya elite negeri maupun Oligarki, tetapi dari birokrasi kelas teri juga sudah terkena penyakit ini. Praktik yang memalukan dianggap wajar oleh sebagian orang, sampai-sampai orang yang tidak mau korupsi seringkali dianggap makhluk sok suci. Sudah lama Indonesia dianggap salah satu negara terkorup di dunia, dikutip dari Transparency International yang merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 180 negara di dunia, Indonesia berada di urutan ke-115 dari 180 negara dengan IPK 34. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, peringkat Indonesia jauh dibawah negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Hal ini menunjukkan tindak korupsi masih tinggi di lingkup pemerintah maupun sektor private. Memori kisah korupsi yang sudah lama menjadi bayang- bayang kelam bagi bangsa Indonesia. Dari kasus BLBI, Bank Century, Jiwasraya hingga Asabri deretan kasus skandal mega korupsi terbesar pada era reformasi, yang membuat rugi negeri dan hilangnya integritas para pejabat birokrasi. Adanya tindak pidana korupsi tanpa henti menjadi salah satu indikasi bahwa penegakan hukum masih lemah dan belum bisa teratasi. Pergeseran dari negara otokratis ke negara demokrasi, ternyata sama tidak akan luput dari tindakan korupsi. Dulu ketika Rezim Orde Baru memimpin negeri ini, korupsi hanya terpusat di strata nasional, di jajaran para menteri hingga pusaran keluarga dari pemimpin tertinggi negeri. Runtuhnya kekuatan rezim otokratis menyebabkan desentralisasi otoritas diseluruh negeri, memberi peluang bagi otoritas lokal, untuk bisa merasakan bagaimana nikmatnya korupsi. Korupsi menjadi sebuah epidemi bagi negeri ini, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya sekedar pelengkap dan formalitas belaka.
ADVERTISEMENT
Desakan Publik dan Pro Kontra Terhadap Hukuman Mati Koruptor
Hal mendasar menurut amanat undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, yang berbunyi Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Masyarakat sering menganggap putusan yang diberikan kepada pelaku korupsi belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. Mereka menganggap keputusan yang tidak proporsional dan terkadang masih dianggap enteng oleh koruptor karena pasti akan mendapatkan remisi, maka muncul istilah “ Anda sopan dapat potongan masa tahanan ”. munculnya disparitas antara putusan untuk kasus yang serupa, berimbas pada hukuman bagi koruptor yang inkonsisten.
ADVERTISEMENT
Masyarakat berharap hukuman yang lebih berat bisa diterapkan untuk para pelaku korupsi, yang membuat kerugian bagi masyarakat umum dan negeri. Bahkan publik memberikan opsi untuk merealisasi hukuman mati sebagai senjata ampuh yang diyakini efektif dalam memerangi korupsi. Namun keinginan agar koruptor dihukum mati menimbulkan dualisme pendapat, ada orang yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. orang yang kontra dengan dalihnya mengatakan bahwa hukuman mati bagi koruptor maupun jenis kejahatan yang lain itu melanggar hak asasi. Hak untuk hidup adalah hak yang paling mendasar dan absolut yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun yang dijamin oleh konstitusi.
Hal ini sangat kontradiktif terhadap pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi yang mana pemberatnya adalah penerapan pidana mati. Beberapa pakar hukum menilai bahwa hukuman mati tidak ada relevansinya dengan efek jera, justru yang ada hukuman mati melanggar prinsip dan nilai hak asasi manusia, bukan hanya karena melaanggar hak untuk hidup, tetapi juga merenggut hak-hak asasi lain. Bagaimanapun juga praktik hukuman mati sangat kontradiktif dengan hak hidup yang absolut dan tidak akan bisa dicabut oleh siapapun, bahkan oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Disisi lain ada beberapa orang menganggap bahwa hukum yang paling pantas untuk para pelaku tindak pidana korupsi adalah dengan dijerat hukuman mati, pasalnya korupsi merupakan tindakan tak beradab yang merusak kedaulatan bangsa dan rakyat dibuat sengsara. Sudah sepantasnya hukum mati ini diberlakukan kalau saja aktivis ham mengatakan hukuman mati tidak tepat dan itu merampas hak untuk hidup, lantas apakah perilaku korup juga tidak merampas hak hidup orang lain?, berapa banyak masyarakat dibuat rugi akan hal ini. Rakyat dibuat miskin dan sengsara, mereka yang korup apakah melihat keadaan nasib bangsanya?, apakah memikirkan nasib rakyatnya?, mungkin yang hanya terlintas dalam benak pikiran mereka hanya lah uang dan materi. Mereka hanya memikirkan nasib perut mereka sendiri tanpa menyadari pada hakekatnya mereka hanyalah benalu bagi negeri ini. Ketika hukum indonesia hanya sebagai gertakan belaka, maka tersenyumlah mereka dengan bahagia, dengan rasa tidak berdosa dan tidak malu dengan perbuatannya mereka maling uang negara. Entah bagaimana nasib rakyat mau mati kelaparan atau hidup sengsara mereka tidak memikirkannya. Sumpah mereka langgar, janji mereka ingkari, tuhan tidak ditakuti, rakyat apalagi.
ADVERTISEMENT
Kalau saja hukuman mati tidak dapat direalisasi, maka timbul pertanyaan lantas bagaimana hukum dijadikan untuk mengatasi masalah yang kompleks ini. Munculah opsi hukuman dimiskinkan dan rampas segala aset yang dimiliki koruptor. Kita tahu bahwa Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset sudah lama dibahas sejak awal 2010 dan masuk kedalam program legislasi nasional, namun ketika di tahun 2023 RUU ini tidak dapat persetujuan oleh DPR RI. Hal ini mengindikasi bahwa adanya upaya untuk melemahkan hukum yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Hukum yang lemah dan para penegak hukum yang tidak pro dengan rakyat, hal ini masih menjadi PR besar bagi bangsa Indonesia, dilema hukuman mati atau perampasan aset yang kian lama tidak ada kejelasan oleh hukum, mana yang tepat bagi para koruptor di negeri ini. mengutip perkataan guru bangsa, presiden ke 4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid " Bangsa ini penakut !! Karena tidak mau bertindak kepada yang bersalah".
ADVERTISEMENT