Terkadang Salah Kira, Momentum Berbenah Memperbaiki Diri

Heru Indrabudi
Ayah dari 3 Anak. Bekerja sebagai PNS/ASN di Politeknik Negeri. Penulis Pemula. Ingin mengukir sejarah.
Konten dari Pengguna
28 Maret 2023 15:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Heru Indrabudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tampilan yang tampak pada sosok pria berwajah teduh itu seolah menggambarkan bahwa dia adalah seorang yang alim bahkan mungkin juga saleh. Prasangka baik ini sah-sah saja, selama ada proses pembuktian yang dilakukan pada orang tersebut. Sebut saja, kita harus bersedia melakukan safar (perjalanan) bersamanya selama beberapa hari untuk membuktikan bahwa prasangka baik itu adalah benar adanya.
ADVERTISEMENT
Kita terkadang salah kira, melakukan kewajiban sebagai seorang muslim seperti salat pada waktunya, berpuasa wajib di bulan ramadhan, membayar zakat sesuai dengan perhitungannya, sampai naik haji bukan lantas berhak untuk mendapatkan julukan alim ataupun saleh. Rutinitas yang mengikat setiap pribadi muslim itu, sebenarnya merupakan hal biasa bukan sesuatu yang luar biasa. Di sinilah kemudian pemahaman seolah samar akan hal yang seharusnya biasa menjadi luar biasa, oleh karena setiap pribadi muslim kita enggan bersegera melakukan aktivitas/ibadah rutin yang merupakan kewajiban seorang muslim itu.
Disisi lain tampak sebuah keluarga yang suami dan istrinya memperlihatkan raut muka bahagia, begitu pula dengan anak-anak mereka. Akankah ini bisa menyimpulkan bahwa keluarga itu adalah keluarga harmonis atau mungkin sangat bahagia. Bukankah ukuran kebahagian atau keharmonisan sebuah keluarga, tidak terletak pada apa yang terlihat oleh mata kita. Sungguh bukan sebuah kesimpulan yang bijak, hal ini merupakan penilaian abu-abu yang membutuhkan beberapa bukti pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, bagaimana pula dengan seorang alim ulama, dai, kiyai, ustaz, buya maupun habib. Apakah sudah bisa dikatakan berhasil menjadi teladan yang baik bagi umat, ketika ukuran terletak pada jumlah jamaah atau jumlah pengikutnya (follower) yang banyak. Katakanlah sampai berjuta-juta orang. Bukankah jumlah pengikut adalah sesuatu yang semu. Tapi, seberapa banyak para jamaah dan pengikut yang kemudian bersedia dengan sungguh-sungguh mengamalkan setiap nilai kebaikan yang disampaikan di setiap ceramah dan tausiahnya pada kehidupan sehari-hari mereka. Tentu, hal ini dapat menjadi tolak ukur keberhasilan para pendakwah berada pada jalan “mardatillah”.

Menjunjung Tinggi Esensi Nilai Ibadah

Perjalanan menuju kesempurnaan ibadah ada pada konsistensi kita dalam menjalankan dan mengamalkannya. Komitmen menjadi Islam sejati misalnya, bukan hanya terhenti pada sebatas predikat “muslim” (penganut agama islam). Tapi kemudian bisa berlanjut untuk menjadi seorang mukmin, muhsin, mukhlisin hingga muttaqin. Tentunya, selaras dengan tujuan ibadah-ibadah yang merupakan rutinitas tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita bisa mulai merunut dari ibadah salat misalnya, atau apa sebenarnya tujuan dari ibadah salat. Ibadah salat yang biasa kita lakukan merupakan cara terbaik setiap pribadi muslim dapat mendekatkan diri pada Sang Khalik. Salat bermakna doa, atau zikir untuk mengingat Allah Subhanahu Wata’ala dalam segala aktivitas kehidupan kita. Dengan mengingat Allah Subhanahu Wata’ala, maka secara tidak langsung kita ditempa untuk menjauhkan diri dari berbuat keji apalagi mungkar.
Sumber : Pixabay.com (Bentuk Kepasrahan dan Berserah Diri)

Salah kira dalam Ibadah

Belum sampai pada level alim atau saleh kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar yaitu apakah kita termasuk orang-orang yang lalai dalam salatnya. Dalam Kitab Ibnu Katsir yang merupakan penjelasan terhadap Surah Al-Maun ayat 5- 7, terdapat 3 orang yang masuk dalam kategori atau dinyatakan lalai dalam salatnya. Antara lain diantaranya :
ADVERTISEMENT
1. Orang-orang yang menyia-nyiakan waktu salatnya. Atau dengan sengaja menunda-nunda waktu salatnya.
2. Orang-orang yang mencuri dalam salatnya. Adapun makna mencuri di dalam salat adalah pada orang-orang yang terburu-buru dalam salatnya, tidak melakukan tuma’ninah (jeda) dengan porsi seharusnya. Harus ada jeda dalam setiap gerakan salat. Hal ini berguna bagi kita untuk belajar memahami setiap bacaan salat.
3. Orang-orang yang tidak menyempurnakan setiap rukun dan syarat wajib salat. Semisal orang-orang yang tidak menyempurnakan wudu’ atau mungkin pada bab-bab membersihkan diri (taharah).
Hal ini berbanding lurus dengan makna “mukmin”, atau seorang muslim yang mampu menghadirkan Allah Subhanahu Wata’ala pada setiap aktivitas kehidupannya. Mukmin juga bermakna orang beriman yang percaya kepada Allah. Keberadaan Allah Subhanahu Wata’ala sebagai Dzat Maha Kuasa, mendorong setiap pribadi mukmin tetap berpegang teguh pada jalan ketaatan kepada Allah.
ADVERTISEMENT
Begitu pula pakem menjadi muslim, tidak hanya terletak pada batas hafal pada rukun Islam atau mungkin rukun Iman. Ini bukan persoalan mudah atau tidaknya. Bagaimana kemudian kita mengerti atau bahkan memahami nilai setiap ibadah yang kita lakukan dan kemudian mewujudkannya dalam bentuk perkataan dan perbuatan kita. Nilai ibadah yang punya maksud-maksud tertentu dalam tujuannya, diharapkan dapat membentuk karakter dan melahirkan pribadi ikhlas dan takwa.
Mengapa bertahan sebagai seorang muslim, jika makna yang kita pahami hanyalah pada batas sebagai pemeluk agama terbesar di Indonesia. Tidak menjadi seorang yang taat, alim apalagi saleh apabila masih sebatas mengerjakan salat dan ibadah-ibadah rutin lainnya. Argumentasi tentang Islam rahmatan lil alamin harusnya mendapatkan dukungan penuh. Seyogianya dukungan itu datang dari para penganut agama Islam. Agama yang mengatur dengan runut dan terstruktur para penganutnya mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi. Wallahua’lam bissawab.
ADVERTISEMENT
Sumber : istockphoto