Jakarta Dulu, Kini dan Akan Datang

Fajar Sidik
ASN di Kanwil DJPb Provinsi Lampung (Kementerian Keuangan)
Konten dari Pengguna
23 Juni 2022 16:43 WIB
Tulisan dari Fajar Sidik tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kita Telah Dikuasai Mimpi
Untuk Menjadi Orang Lain
Kita Telah Menjadi asing
ADVERTISEMENT
Di tanah Leluhur Sendiri
Orang-orang Desa Blingsatan, Mengejar Mimpi,
Dan Menghamba Ke Jakarta
Orang-orang Jakarta Blingsatan, Mengejar Mimpi
Dan Menghamba Ke Jepang, Eropa Atau Amerika
(WS Rendra, sajak Sebotol Bir)
RPTRA Kalijodo
Jakarta ku kini. Disekap berbagai mimpi dan nyaris kehilangan jati diri. Mungkin banyak yang telah pikun akan kekayaan warga betawi. Kekayaan adab berupa keramahan, senyuman dan keakraban. Kekhasan saling sapa, tanpa kenal ia siapa. Sempurnakan senja, dengan secangkir kopi es Tak Kie memenjara rasa. Adakah rona seperti itu kini? Anak-anak bermain sepeda penuh canda. Bukan memegang smartphone, bermain games ber-online ria. Hilang obrolan pada sesama, berganti naga games online yang bersahutan.
Tapi harus diakui Jakarta tetap menjadi magnet jiwa. Ada yang datang modal mental, ada yang berjuang tanpa keahlian spesial. Mereka bertarung atas nama harga diri, malu pulang tanpa terpenuhi janji. Padahal, desa mereka gemah ripah loh jinawi. Tapi yah itulah gengsi, tidak trendi jika hanya tetap di desa sendiri. Meski desa memberi penghasilan pasti, namun pertarungan batin untuk mengenyam aspal Jakarta, sulit mati.
ADVERTISEMENT
Jakarta terkenal buas. Warganya bergelut, berjuang, bertarung tanpa pernah puas. Mungkinkah Jakarta kembali bercita rasa desa. Saling tegur, saling sapa, tanpa khawatir terancam jiwa?
Mungkin identitas negeri ini mulai lapuk akibat erosi budaya. Anak-anak tidak lagi bercita-cita menjadi petani, berkebun, menjadi dokter, polisi, atau tentara. Wong ndeso pun ikutan bermesraan dengan mimpi-mimpi instan. Rupiah si Ibu dan tetesan keringat sang Ayah dikorbankan mendorong anaknya ke gelanggang sandiwara, keartisan. Waktu-waktu senggang Mereka tidak lagi diisi bermain atau belajar. Semua itu telah tergantikan dengan bimbingan menyanyi, bermain musik, hingga latihan acting memburu dolar. Jakarta telah berubah wajahnya. Kisah si doel anak sekolah telah lampau hilang. Padahal, Jakarta seharusnya tetap seperti si doel. Pekerja keras yang hormat orang tuanya. Orang berilmu tapi rendah hati pada tetangga.
ADVERTISEMENT
Apakah kalian merindu Jakarta yang dulu? Udara bersih, suasana nyaman, penuh keakraban. Walaupun mengubah alam kembali seperti sedia kala hampir mustahil, namun mengubah wajah warganya bukanlah angan yang tak mungkin.
Jakarta perlahan kembali penuh dengan keramahan. Mulai dari transportasi yang nyaman, trotoar ramah bagi pejalan, hingga taman-taman indah mengihiasi akhir pekan. Perlahan, sesama warga saling menghargai, peduli dan menghindari caci maki. Jakarta kini diisi pemimpin penuh wibawa, yang mengajak rakyatnya bekerja keras tanpa menikam kawannya.
Jakarta kedepan, akan terus menjadi magnet tak bertuan. Mengayomi seluruh kelompok, tanpa memandang SARA. Melindungi rakyat paria, namun juga menjaga kehormatan mereka yang berpunya.
Jakarta akan terus menjadi miniatur Indonesia, yang tak pernah bias tergantikan oleh kota-kota lainnya. Mereka yang sukses di Jakarta, layak menaiki kasta selanjutnya. Seperti Presiden Jokowi yang sukses di Jakarta, lalu mengangkasa seantero Indonesia.
ADVERTISEMENT
Jakarta itu wajah kita semua, wajah Indonesia. Wajah keberagaman, wajah toleransi negeri. Ia tak mengenal saya pribumi, kamu pendatang. Jakarta hanya mengenal karya. Kontribusi apa yang telah kau berikan pada tanah Jakarta, kawan?
Selamat HUT Jakarta ke-495. Teruslah menjadi kebanggaan Indonesia.
#HUTDKI495