Konten dari Pengguna

Memahami Syarat-Syarat Riba dalam Transaksi Muamalah dan Implikasinya

Dika Afriyani
Saya adalah mahasiswa unpam dengan jurusan ekonomi syariah dan saya alumni smk pembangunan jaya yakapi dan saya seorang karyawan swasta di pt asuransi ramayana syariah
25 Desember 2024 7:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dika Afriyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengertian Riba dalam Islam
Secara bahasa, riba berarti tambahan atau kenaikan. Dalam konteks ekonomi Islam, riba mengacu pada tambahan yang diterima atau diberikan dalam transaksi yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan, karena tidak didasarkan pada pertukaran yang seimbang dan saling menguntungkan. Dalam Al-Qur'an dan Hadis, riba dianggap sebagai praktik yang merugikan dan dilarang karena dapat mengarah pada ketidakadilan dan penindasan terhadap pihak yang lebih lemah.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua jenis utama riba dalam ekonomi Islam:
1.Riba Fadhl: Riba yang terjadi dalam pertukaran barang sejenis yang tidak setara dalam jumlah atau kualitas.
2.Riba Nasiah: Riba yang terjadi dalam transaksi jual beli atau pinjaman yang tidak melibatkan pertukaran barang, tetapi melibatkan penundaan pembayaran (misalnya bunga atas pinjaman).
ilustrasi riba, sumber: https://www.istockphoto.com/id/vektor/larangan-riba-atau-bunga-majemuk-uang-perbankan-syariah-gm546775634-98703877?searchscope=image%2Cfilm
Syarat-Syarat Terjadinya Riba dalam Transaksi Muamalah
Agar suatu transaksi dikatakan mengandung riba, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dalam prakteknya, transaksi muamalah yang melibatkan riba dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Berikut adalah beberapa syarat utama yang harus ada dalam terjadinya riba:
1. Adanya Keuntungan yang Tidak Wajar (Excessive Profit)
Salah satu ciri khas dari riba adalah adanya tambahan yang tidak wajar atau keuntungan yang diperoleh tanpa adanya kontribusi yang seimbang. Keuntungan tersebut biasanya diperoleh melalui transaksi yang tidak adil, seperti bunga pada pinjaman atau pertukaran barang sejenis yang tidak setara.
ADVERTISEMENT
Contoh:
Dalam transaksi pinjaman dengan bunga, pemberi pinjaman mendapat keuntungan tanpa memberikan layanan atau barang yang berharga. Ini jelas merupakan bentuk riba, karena adanya keuntungan yang diperoleh tanpa usaha atau pengorbanan yang setara.
2. Pertukaran Barang yang Sejenis dengan Ketidakseimbangan
Riba Fadhl terjadi ketika ada transaksi yang melibatkan barang sejenis, tetapi terdapat ketidakseimbangan dalam jumlah atau kualitasnya. Dalam Islam, pertukaran barang sejenis (seperti emas dengan emas, atau gandum dengan gandum) harus dilakukan dengan nilai yang setara agar tidak terjadinya riba.
Contoh:
Jika seseorang menukar 1 gram emas dengan 1,2 gram emas, meskipun secara nominal jumlahnya kecil, transaksi tersebut dapat terklasifikasi sebagai riba karena adanya pertukaran barang sejenis yang tidak setara.
ADVERTISEMENT
3. Penundaan Pembayaran (Riba Nasiah)
Riba Nasiah terjadi ketika ada penundaan pembayaran dalam suatu transaksi. Misalnya, seseorang meminjam uang dengan kewajiban mengembalikan lebih banyak dari yang dipinjam (dengan tambahan bunga). Keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman atas pinjaman tersebut adalah bentuk dari riba nasiah, karena adanya penundaan pembayaran yang menyebabkan pembayaran lebih besar dari nilai pokok.
Contoh:
Jika seseorang meminjam uang sebesar Rp1.000.000 dengan ketentuan untuk mengembalikannya setelah satu tahun dengan bunga sebesar 10%, maka bunga yang dikenakan tersebut merupakan bentuk dari riba nasiah.
4. Tidak Adanya Objek yang Seimbang dalam Jual Beli
Dalam transaksi jual beli, syarat-syarat tertentu harus dipenuhi untuk menghindari riba. Objek yang dijual atau dibeli harus jelas dan saling disepakati oleh kedua belah pihak. Ketika terdapat ketidakjelasan atau unsur ketidakseimbangan dalam objek transaksi, maka dapat timbul riba.
ADVERTISEMENT
Contoh:
Jual beli barang dengan harga yang sangat tinggi karena adanya spekulasi atau penipuan dapat termasuk dalam kategori transaksi yang mengandung riba, karena adanya ketidakseimbangan dalam objek yang diperjualbelikan.
Implikasi Riba bagi Umat Muslim
Riba bukan hanya masalah ekonomi semata, tetapi juga membawa implikasi agama dan moral yang sangat serius bagi umat Muslim. Berikut adalah beberapa implikasi yang perlu dipahami oleh umat Islam terkait praktik riba:
1. Dosa Besar dalam Islam
Riba termasuk dalam dosa besar dalam Islam. Allah dengan jelas melarang praktik riba dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW juga memberikan peringatan keras terhadap siapa pun yang terlibat dalam transaksi riba. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 275, Allah berfirman:
"Orang-orang yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila..." (Qur'an, Al-Baqarah: 275)
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, umat Muslim wajib menjauhi riba dalam transaksi mereka agar tidak terjerumus dalam dosa besar.
2. Mengganggu Keadilan Sosial
Salah satu alasan mengapa riba dilarang dalam Islam adalah karena dapat mengganggu keadilan sosial. Transaksi yang mengandung riba biasanya menguntungkan pihak yang lebih kuat secara ekonomi, sementara pihak yang lebih lemah seringkali terjebak dalam jeratan hutang yang tidak dapat mereka bayar. Hal ini mengarah pada ketidakadilan dan memperburuk kesenjangan sosial.
3. Menciptakan Ketergantungan pada Bunga
Riba dapat menciptakan ketergantungan pada bunga, yang berakibat pada perekonomian yang tidak sehat. Pinjaman berbunga dapat menyebabkan ketergantungan berkelanjutan pada utang, yang membebani individu atau perusahaan dalam jangka panjang. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam yang mendorong keberlanjutan dan keberkahan dalam kegiatan ekonomi.
ADVERTISEMENT
4. Mencegah Berkah dalam Rezeki
Riba juga dapat menghalangi keberkahan rezeki. Dalam Islam, keberkahan dalam harta adalah hasil dari transaksi yang dilakukan secara adil dan sesuai dengan prinsip syariah. Dengan terlibat dalam riba, umat Muslim berisiko kehilangan berkah dalam harta mereka.
Memahami syarat-syarat terjadinya riba dalam transaksi muamalah sangat penting bagi umat Muslim, karena hal ini berkaitan langsung dengan upaya menjaga keadilan, keberkahan, dan moralitas dalam ekonomi. Dengan menghindari riba, umat Islam dapat memastikan bahwa transaksi mereka sesuai dengan prinsip syariah, menghindari dosa besar, serta berkontribusi pada terciptanya ekonomi yang lebih adil dan sejahtera. Oleh karena itu, setiap umat Muslim harus lebih berhati-hati dalam menjalani transaksi keuangan dan memastikan bahwa transaksi yang mereka lakukan bebas dari unsur riba.
ADVERTISEMENT