Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Perjanjian Sosial: Pemikiran Politik Thomas Hobbes, Jhon Locke dan J.J. Rousseau
11 Agustus 2023 20:31 WIB
Tulisan dari Putri Hana Nurhasanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Runtuhnya pola masyarakat tradisional dan feodal sejak era reformasi menjadikan kekuasaan politik dilihat sebagai pemikiran yang pragmatis. Dengan demikian, pragmatisasi dalam politik menunjukan gejala sekularisme yang semakin menyeludup dalam kehidupan masyarakat. Hal itu memungkinkan datangnya paham empirisme, positivisme dalam ilmu pengetahuan, kemudian orang akan mulai berpikir secara kritis dan logis serta perkembangan harus dibuktikan kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Adanya reformasi menghasilkan perkembangan ilmu pengetahuan yang signifikan dan memusnahkan kepercayaan yang tidak mendasar seperti hal-hal bersifat mistis. Pemikiran yang terus berkembang ini menghantarkan kepada pola politik bernegara. Jika abad pertengahan berkembang aliran nominalisme, maka lahirlah teori baru setelah reformasi yang dikenal dengan Teori Perjanjian Sosial (Social Contract Theories). Teori ini merupakan sekelompok anggota masyarakat yang berhimpun kemudian menyerahkan seluruh kekuasaan politiknya kepada negara. Disinilah mulai adanya pemisahan antara negara dan agama.
Hobbes, Locke dan Rousseau merupakan tiga tokoh yang mendasari metodenya kepada hal-hal bersifat empiris (nyata) dan tidak terikat dengan tradisi metafisik yang berkembang sebelumnya.
Disamping adanya beberapa persamaan, ada perbedaan yang signifikan dalam pemikiran tokoh kenegaraan. Hobbes dan Locke terkenal sebagai pencetus pertama negara hukum (konstitusi), karena mereka berpendapat bahwa harus melepaskan beberapa hak kepada negara jika akan mendirikan negara, meskipun menurut pandangan Hobbes terlihat kurang efektif. Adanya hukum bertujuan untuk membatasi kebijakan berlebihan dari suatu negara yang telah mereka sepakati bersama.
ADVERTISEMENT
Perbedaan yang mencolok adalah Hobbes (1588-1679) menganut paham absolute power, yaitu menolak adanya lembaga perwakilan serta negara memiliki kekuasaan yang mutlak. Dengan sifat mutlak ini tidak ada yang harus dianggap adil ditentukan oleh negara. Negara memiliki kebijakan penuh untuk menetapkan hal baik atau tidak, dan disamping itu negara tidak memiliki kewajiban atas tindakannya untuk dipertanggungjawabkan. Hal ini karena rakyat telah memberikan seluruh haknya kepada negara.
Tidak adanya lembaga kontrol menjadikan kelemahan atas konsep Hobbes, karena pengahakiman atas penyalahgunaan kekuasaan sepenuhnya hanya tergantung atas kesadaran penguasa. Konsep ini hanya didasarkan pada perasaan ketakutan rakyat. Negara yang memiliki struktural rapuh dan hanya didasarkan pada kemampuan untuk mengancam mustahil negara tersebut akan bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Locke (1632-1704) menciptakan kebebasan hak milik (materialistik sekularitis). Sebab itu pengawasan terhadap penguasa politik sangat penting, maka Locke mengakui lembaga perwakilan yang terbagi atas tiga badan, yaitu Legislatif (bertugas membuat Undang-Undang dan menjadi kekuasaan politik tinggi), Eksekutif menjadi pelaksana Undang-Undang dan Yudikatif mengatasai masalah luar negara.
Kelemahan dari konsep Locke ini tidak mencantumkan pengawas untuk penyelenggaraan Undang-Undang. Pemikiran dari Locke kemudian disempurnakan oleh Montesqieu yang terkenal dengan trias politiknya. Fungsi utama dari lembaga Yudikatif adalah untuk mencegah lembaga yang lain terlalu kuat sehingga dapat menghancurkan masyarakat.
Adapun paham totaliter dianut oleh Rousseou (1712-1778) yakni rakyat seluruhnya melepaskan diri kepada negara. Paham ini identik sepenuhnya dengan rakyat. Kehendak rakyat adalah negara, oleh sebab itu negara tidak berhadapan dengan individu-individu. Dengan demikian Rousseou merumuskan negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas (secera de facto) tanpa adanya jaminan apapun bagi hak-hak rakyat. Keadaan ini memperlihatkan adanya persamaan antara Rousseou dan Hobbes, yakni kekuasaan tanpa batas.
ADVERTISEMENT
Namun permasalah yang timbul dalam konsep ini yaitu bagaimana melaksanakn demokrasi langsung dalam negara yang memiliki banyak penduduk. Mayoritas identik dengan kehendak umum menjadikan golongan minoritas mau tidak mau harus menyesuaikan diri.
Demokrasinya yang gagal terutama untuk mencapai identitas total antara kehendak rakyat dan negara, konsekuensi itu membukanya pada kekuasaan total atas rakyat. Meskipun demikian, Rousseou telah berjasa dengan lahirnya negara republik sebagai urusan seluruh masyarakat.