Sejauh Mana Sebuah Budaya Mendefinisikan Penyimpangan Sosial?

Erni Erdayanti
Mahasiswa S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Satya Wacana
Konten dari Pengguna
20 Agustus 2023 13:23 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Erni Erdayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Andrea Piacquadio/Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Andrea Piacquadio/Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penyimpangan sosial merupakan sebuah fenomena yang terjadi di dalam masyarakat di mana individu atau kelompok masyarakat melanggar nilai atau norma sosial yang disepakati dalam masyarakat tersebut. Definisi mengenai siapa yang melanggar dan tidak biasanya ‘diputuskan’ oleh bagaimana cara pandang sebuah budaya terhadap suatu perilaku sosial tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa definisi penyimpangan sosial akan berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam melihat bagaimana budaya mendefinisikan penyimpangan. Kita perlu melihat bahwa pada dasarnya kedua hal tersebut mempunyai kaitan yang erat. Di mana, budaya yang merujuk pada kumpulan nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, dan praktik-praktik yang dibagikan oleh masyarakat membatasi bagaimana masyarakat berperilaku. Kepercayaan ini pada akhirnya dirumuskan ke dalam bentuk-bentuk interaksi sosial seperti tindakan perilaku dan berbagai macam bidang, termasuk moralitas, etika, agama, gender, dan interaksi sosial.

Apa hubungan Norma Sosial dengan Penyimpangan Sosial?

Norma sosial berperan sebagai panduan yang mengatur perilaku anggota masyarakat. Faktanya, norma sosial tidak bersifat statis, melainkan dapat berubah seiring waktu akibat adanya norma-norma baru yang dipahami oleh masyarakat. Nilai dan norma sosial yang baru ini dapat muncul dari berbagai macam kondisi seperti globalisasi, disrupsi teknologi, dan perubahan struktural yang pada akhirnya dapat mempengaruhi perkembangan norma-norma baru.
ADVERTISEMENT
Dalam kalangan masyarakat, norma-norma sosial berperan sebagai panduan atas perilaku anggotanya. Penyimpangan sosial terjadi ketika individu atau kelompok melakukan tindakan yang melanggar norma-norma yang telah disepakati. Namun, perlu diingat lagi bahwa apa yang dianggap sebagai penyimpangan bisa sangat memiliki ragam variasi dari satu budaya ke budaya lainnya.
Lingkungan dan sejarah mempunyai peran penting terhadap pembentukan pandangan masyarakat terhadap penyimpangan sosial. Budaya-budaya yang telah mengalami perubahan akibat adanya tekanan politik, ekonomi, atau sosial mungkin bisa mendorong pembentukan norma-norma baru yang lebih fleksibel dan berbeda.
Sebagai contoh, beberapa budaya mungkin memiliki norma yang sangat ketat terkait dengan pakaian dan penampilan fisik. Misalnya secara sederhana dapat dilihat dari cara berpakaian masyarakat Indonesia pada era Orde Baru dan awal 2000-an. Laki-laki pada umumnya berpakaian dengan celana panjang dengan model ‘cut bray’ dan wanita umumnya banyak memakai celana pendek, hingga ‘tank-top’. Namun di era saat ini, cara berpakaian perempuan yang mengenakan ‘pakaian minimalis’ cenderung dianggap tabu dan tidak sopan. Terlebih jika individu tersebut beragama Islam, maka akan cenderung mendapatkan labelisasi ‘kurang sopan’ dan perlu menutup aurat dengan menggunakan jilbab atau pakaian yang longgar.
ADVERTISEMENT
Globalisasi membawa interaksi budaya yang semakin luas dalam era disrupsi digital, di mana norma-norma yang sebelumnya terisolasi kini dapat terpengaruh oleh norma-norma dari budaya lain melalui media sosial dan menjadi semakin terbuka. Misalnya bagaimana masyarakat Thailand saat ini semakin terbuka dengan hadirnya pendefinisian ragam gender yang ada.
Lesbian, Gay, Biseks, Transgender, Queer (LGBTQ+) atau biasa disebut dengan LGBT saat ini bukanlah menjadi sebuah konsep yang menyimpang dan hal tabu bagi masyarakat Thailand yang berbeda dengan Thailand di era 1950-an. Perubahan dan perjalanan budaya ini pada akhirnya menghasilkan sebuah nilai dan norma sosial yang baru. Pembaruan ini pada dasarnya dapat diterima maupun tidak, jika tidak maka akan menghasilkan konflik. Sedangkan, jika diterima maka nilai dan norma tersebut akan menjadi keyakinan baru dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di setiap daerah/negara/budaya mempunyai definisi penyimpangan sosial yang berbeda antara satu dengan yang lain. Penyimpangan sosial tidak bisa didefinisikan secara universal antara satu budaya dengan budaya lain.

LGBT termasuk ke dalam Penyimpangan Sosial?

LGBT pertama kali dipublikasikan pada tahun 1990-an, yang mana pada waktu itu masih menggunakan frasa “komunitas gay.” Jika ditilik dari perspektif psikoanalisis dan budaya menurut C. Silverstein, LGBT termasuk ke dalam kategori Borderline Personality Disorder atau sebuah masalah identitas gender dan budaya yang terjadi pada masyarakat transisi.
Pada dasarnya kehadiran LGBT masih menjadi perdebatan baik di kalangan masyarakat internasional maupun masyarakat Indonesia. Banyak pegiat dan aktivis hak asasi manusia (HAM) mendefinisikan LGBT bukan sebagai sebuah penyimpangan sosial. Di mana jika merujuk pada World Health Organization (WHO) dan American Psychological Association (APA) mengatakan bahwa LGBT adalah bagian dari keragaman orientasi seksual dan bukan merupakan penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Namun, bagi kalangan agama, konservatif, dan politik sayap kanan, banyak mendefinisikan LGBT sebagai sebuah penyimpangan. Lalu apakah LGBT sebuah penyimpangan? Jawabannya tentu akan berbeda. Di Indonesia tentu saja LGBT akan dianggap menyimpang, sebab bertentangan dengan nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Kondisi berbeda akan terjadi di Thailand, yang menerima LGBT sebagai sebuah bentuk budaya dari hasil penerimaan nilai dan norma sosial yang baru. Singapura misalnya, juga cenderung memberikan kebebasan terhadap orientasi seksual individu.
Berbeda dengan kondisi dua negara ‘liberal’ di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam misalnya menjadi tiga negara yang menentang adanya ‘budaya baru’ ini. Hasil dari Thailand dan Singapura yang ‘menerima’ dan Indonesia, Malaysia, dan Brunei yang ‘menolak’ pada dasarnya merupakan bagian dari interaksi nilai dan norma baru yang diyakini.
ADVERTISEMENT
Budaya baru atau ‘LGBT’ kemudian bisa diterima di Thailand dan Singapura karena mereka mungkin memiliki sistem politik dan cara pandang nilai dan norma yang mendukung bagi tersedianya ruang baru bagi hadirnya nilai dan norma baru. Sebaliknya, LGBT tidak diterima di Indonesia dan Malaysia misalnya atas dasar tidak tersedianya ruang bagi hadirnya nilai dan norma baru tersebut.
Meskipun demikian, sejatinya banyak sejarah dan kehidupan kuno bangsa Indonesia yang sudah ‘mengakui’ hadirnya LGBT. Kita dapat melihat dari bagaimana kehidupan dan relasi sosial ‘Warok’ dan ‘Gemblak’ dalam kehidupan tradisi seni Reog Ponorogo yang menampilkan kehidupan antara ‘Pelatih’ dan ‘Murid.’ Selain itu, kita juga melihat beragamnya pendefinisian gender yang ada dalam kehidupan masyarakat Bissu di Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT

Di Mana Titik Temunya?

Terlepas dari adanya kontroversi mengenai perilaku siapa yang salah dan benar, kita perlu melihat dari bagaimana suatu budaya mendefinisikan hal tersebut. LGBT jelas akan dianggap salah ketika perilaku sosial tersebut hadir di dalam sebuah budaya yang tidak bisa menerima itu. Berbeda cerita jika LGBT hadir dalam sebuah budaya yang bisa menerima itu. Arti menerima di sini dapat diartikan misalnya dari sebuah keterbukaan HAM, kesadaran adanya ruang privat, dan sebagainya.
Secara gampang, gambaran juga dapat dilihat dari bagaimana orang Asia terutama Indonesia dianggap melakukan sebuah penyimpangan karena terlalu berisik dalam sebuah lingkungan di Jepang yang menjunjung ketenangan. Atau dari bagaimana orang Indonesia yang dianggap menyimpang ketika makan dengan tangan di negara-negara Barat yang cenderung menggunakan peralatan makan secara lengkap. Contoh sederhana lainnya adalah dari bagaimana orang Indonesia menganggap aneh budaya makan secara berbarengan dalam sebuah keluarga Barat. Sebab, orang Indonesia cenderung makan sendiri-sendiri dan tidak perlu saling menunggu.
ADVERTISEMENT
Nilai dan norma yang dipahami inilah yang pada akhirnya menghasilkan panduan dalam bertindak dan apa yang diyakini oleh masyarakat. Masyarakat akan menganggap perilaku individu menyimpang jika tindakan yang dilakukannya tidak sama dengan ‘apa yang seharusnya,’ sikap semacam inilah yang pada akhirnya menghasilkan sebuah konsep penyimpangan sosial.
Sehingga, dalam kehidupan masyarakat Indonesia, secara moral yang terbangun dari dasar nilai dan norma sosial yang ada. Perlakuan dan cara pandang pemerintah, masyarakat tentang penyimpangan yang ada pada akhirnya berasal dari sejarah suatu kebudayaan itu sendiri. Tidak terbatas pada isu LGBT saja, contoh konkret lainnya seperti cara berpakaian, cara berkomunikasi, hingga perilaku-perilaku sosial lainnya akan sangat dipengaruhi dari bagaimana sebuah budaya berinteraksi dengan banyak faktor.
ADVERTISEMENT
Politik misalnya mempengaruhi cara pandang dan sikap seseorang dalam beragama. Di era Orde Baru, akan menjadi hal yang tabu jika seseorang melakukan kegiatan ibadah di perempatan jalan maupun di tempat publik. Namun, di era saat ini, sangat lazim terjadi dan merupakan hal yang wajar.
Tidak terbatas pada isu-isu khusus tertentu, pada akhirnya perilaku menyimpang akan diukur dari tolok ukur sosial yang sudah disepakati oleh masyarakat. Atau setidaknya dari ‘mayoritas’ masyarakat yang ada. Sehingga, perubahan yang terjadi akan sangat bergantung dari bagaimana suatu kebudayaan menerima dan menolak nilai dan norma baru yang hadir.
Konflik mengenai penerimaan akan budaya yang membawa nilai dan norma baru pasti akan terus ada. Terlebih, era digitalisasi saat ini tambah menguatkan interaksi kebudayaan yang sangat berbeda untuk dapat berinteraksi dengan sangat mudah dan cepat. Pertanyaan kemudian yang muncul adalah: apakah suatu kebudayaan yang sebelumnya sangat menolak nilai dan norma tertentu bisa kemudian menerima? Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Semua bergantung dari bagaimana interaksi atau ketersediaan ruang dalam suatu budaya untuk menerima nilai dan norma yang baru.
ADVERTISEMENT
Jadi secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindakan individu A dalam suatu kebudayaan yang dianggap menyimpang, bisa saja dianggap tidak menyimpang dalam kebudayaan lain. Itulah uniknya sebuah interaksi budaya yang akan terus menerus terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tinggal bagaimana kita bisa secara arif menyikapinya.