Konten dari Pengguna

Konsekuensi dalam Memilih Seorang Pemimpin

Usman
Dosen tetap pada STIS Al Ittihad Bima
5 September 2023 22:16 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemimpin memberikan inspirasi dan motivasi. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Jabatan baik formal maupun informal di negeri kita Indonesia dipandang sebagai sebuah “aset”, karena ia baik langsung maupun tidak langsung berkonsekuensi kepada keuntungan, kelebihan, kemudahan, kesenangan, dan setumpuk keistimewaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Maka tidaklah heran menjadi kepala daerah, gubernur, bupati, wali kota, anggota dewan, direktur dan sebagainya merupakan impian dan obsesi semua orang. Mulai dari kalangan politikus, purnawirawan, birokrat, saudagar, tokoh masyarakat, bahkan sampai kepada artis.
Mereka berebut mengejar jabatan tanpa mengetahui siapa sebenarnya dirinya, bagaimana kemampuannya, dan layakkah dirinya memegang jabatan (kepemimpinan) tersebut. Parahnya lagi, mereka kurang (tidak) memiliki pemahaman yang benar tentang hakikat kepemimpinan itu sendiri.
Karena menganggap jabatan adalah keistimewaan, fasilitas, kewenangan tanpa batas, kebanggaan dan popularitas. Padahal jabatan adalah tanggung jawab, pengorbanan, pelayanan, dan keteladanan yang dilihat dan dinilai banyak orang.

Hakikat Kepemimpinan

Menurut Shihab (2002) ada dua hal yang harus dipahami tentang hakikat kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan dalam pandangan Al-Quran bukan sekadar kontrak sosial antara sang pemimpin dengan masyarakatnya, tetapi merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah swt. Lihat Q. S. Al-Baqarah (2): 124:
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan adalah amanah, titipan Allah swt, bukan sesuatu yang diminta apalagi dikejar dan diperebutkan. Sebab kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang gunanya semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab melayani rakyat.
Semakin tinggi kekuasaan seseorang, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah swt di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.
ADVERTISEMENT
Karena itu pula, ketika sahabat Nabi SAW, Abu Dzarr, meminta suatu jabatan, Nabi saw bersabda:
Sikap yang sama juga ditunjukkan Nabi saw ketika seseorang meminta jabatan kepada beliau, di mana orang itu berkata:
Kedua, kepemimpinan menuntut keadilan. Keadilan adalah lawan dari penganiayaan, penindasan dan pilih kasih. Keadilan harus dirasakan oleh semua pihak dan golongan. Di antara bentuknya adalah dengan mengambil keputusan yang adil antara dua pihak yang berselisih, mengurus dan melayani semua lapisan masyarakat tanpa memandang agama, etnis, budaya, dan latar belakang. Lihat Q. S. Shad (38): 22.
ADVERTISEMENT
Hal senada dikemukakan oleh Hafidhuddin (2003). Menurutnya ada dua pengertian pemimpin menurut Islam yang harus dipahami.
Pertama, pemimpin berarti umara yang sering disebut juga dengan ulul amri. Lihat Q. S. An-Nisa 4): 5.
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa ulil amri, umara atau penguasa adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Dengan kata lain, pemimpin itu adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan rakyat. Jika ada pemimpin yang tidak mau mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin (yang sesungguhnya).
ADVERTISEMENT
Kedua, pemimpin sering juga disebut khadimul ummah (pelayan umat). Menurut istilah itu, seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat, bukan minta dilayani. Dengan demikian, hakikat pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang sanggup dan bersedia menjalankan amanat Allah swt untuk mengurus dan melayani umat/masyarakat.

Kriteria Pemimpin

Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
Menurut Al-Quran dan Hadits minimal ada empat kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk menjadi pemimpin. Semuanya terkumpul di dalam empat sifat yang dimiliki oleh para nabi/rasul sebagai pemimpin umatnya, yaitu:
(1). Shidq, yaitu kebenaran dan kesungguhan dalam bersikap, berucap dan bertindak di dalam melaksanakan tugasnya. Lawannya adalah bohong. (2). Amanah, yaitu kepercayaan yang menjadikan dia memelihara dan menjaga sebaik-baiknya apa yang diamanahkan kepadanya, baik dari orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi dari Allah swt. Lawannya adalah khianat.
ADVERTISEMENT
(3) Fathonah, yaitu kecerdasan, cakap, dan handal yang melahirkan kemampuan menghadapi dan menanggulangi persoalan yang muncul. Lawannya adalah bodoh. (4). Tabligh, yaitu penyampaian secara jujur dan bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambilnya (akuntabilitas dan transparansi). Lawannya adalah menutup-nutupi (kekurangan) dan melindungi (kesalahan).
Di dalam Al-Quran juga dijumpai beberapa ayat yang berhubungan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, diantaranya terdapat dalam surat As-Sajdah (32): 24 dan Al-Anbiya (21): 73. Sifat-sifat dimaksud adalah: (1). Kesabaran dan ketabahan. “Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah”. Lihat Q. S. As-Sajdah (32): 24.
Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan yang lain adalah sifat-sifat yang lahir kemudian akibat adanya sifat (kesabaran) tersebut.
ADVERTISEMENT
(2). Mampu menunjukkan jalan kebahagiaan kepada umatnya sesuai dengan petunjuk Allah swt. Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, “Mereka memberi petunjuk dengan perintah Kami”. Pemimpin dituntut tidak hanya menunjukkan tetapi mengantar rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain tidak sekadar mengucapkan dan menganjurkan, tetapi hendaknya mampu mempraktikkan pada diri pribadi kemudian mensosialisasikannya di tengah masyarakat.
Pemimpin sejati harus mempunyai kepekaan yang tinggi (sense of crisis), yaitu apabila rakyat menderita dia yang pertama sekali merasakan pedihnya dan apabila rakyat sejahtera cukup dia yang terakhir sekali menikmatinya. (3). Telah membudaya pada diri mereka kebajikan.
Lihat Q. S. Al-Anbiya (21): 73, “Dan Kami wahyukan kepada mereka (pemimpin) untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menegakkan salat serta menunaikan zakat”. Hal ini dapat tercapai (mengantarkan umat kepada kebahagiaan) apabila kebajikan telah mendarah daging dalam diri para pemimpin yang timbul dari keyakinan ilahiyah dan akidah yang mantap tertanam di dalam dada mereka.
ADVERTISEMENT
Sifat-sifat pokok seorang pemimpin tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Al-Mubarak seperti dikutip Hafidhuddin (2002), yakni ada empat syarat untuk menjadi pemimpin: Pertama, memiliki aqidah yang benar (aqidah salimah). Kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas (`ilmun wasi`un). Ketiga, memiliki akhlak yang mulia (akhlaqulkarimah). Keempat, memiliki kecakapan manajerial dan administratif dalam mengatur urusan-urusan duniawi.

Memilih Pemimpin

Ilustrasi pemimpin perusahaan. Foto: Shutterstock
Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadis.
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut). Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah “cermin” siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: “Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian”.

Sikap Rakyat terhadap Pemimpin

Dalam proses pengangkatan seseorang sebagai pemimpin terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah, yaitu masyarakat. Karena yang memilih pemimpin adalah masyarakat. Konsekuensinya masyarakat harus mentaati pemimpin mereka, mencintai, menyenangi, atau sekurangnya tidak membenci. Sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengimami (memimpin) sekelompok manusia (walau) dalam salat, sedangkan mereka tidak menyenanginya, maka sholatnya tidak melampaui kedua telinganya (tidak diterima Allah)”.
Di lain pihak pemimpin dituntut untuk memahami kehendak dan memperhatikan penderitaan rakyat. Sebab dalam sejarahnya para rasul tidak diutus kecuali yang mampu memahami bahasa (kehendak) kaumnya serta mengerti (kesusahan) mereka. Lihat Q. S. Ibrahim (14): 4, “Kami tidak pernah mengutus seorang Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya”. dan Q. S. At-Taubah (9): 129, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat baginya penderitaanmu lagi sangat mengharapkan kebaikan bagi kamu, sangat penyantun dan penyayang kepada kaum mukmin.
ADVERTISEMENT

Konsekuensi Memilih Pemimpin

Memilih pemimpin berarti memilih sosok yang akan menjalankan tugas dan amanah kepemimpinan serta mengelola berbagai kebijakan, yang selanjutnya akan berdampak terhadap kondisi komunitas yang dipimpinnya, bisa berdampak positif atau negatif. Dampak positif dan negatif ini bisa berbuah pahala atau dosa karena bermanfaat atau merugikan orang lain.
Sederhananya, memilih pemimpin bisa berdampak pahala atau beban dosa, karena ada dampak dari pilihan yang dilakukan tersebut. Tentu ketentuan pahala dan dosa tersebut menurut ukuran Islam yang menentukan sebuah amal berbuah pahala atau dosa, seperti sengaja dalam memilih pemimpin yang membahayakan sementara ada pemimpin yang lebih baik, perbuatan tersebut bisa berbuah dosa begitu seterusnya.
Tetapi perbuatan seseorang bisa memberikan pengaruh dan dampak kepada orang lain. Seorang muslim akan berpikir panjang dan tidak akan meremehkan perbuatannya sekecil apa pun apalagi jika perbuatan tersebut memiliki dampak dan pengaruh terhadap orang lain. Karena dampak dan pengaruh ini bisa berupa pahala atau bahkan dosa.
ADVERTISEMENT
Memilih pemimpin sama halnya dengan memberikan kesaksian bahwa apa dan siapa yang dipilihnya itu adalah baik dan benar. Dalam Al-Qur’an Allah SWT memuliakan orang-orang yang menunaikan kesaksiannya. “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya”. (QS. Al-Ma’arij: 33). Ayat ini disebutkan dalam konteks pembahasan ciri orang-orang yang dianugerahkan Allah keteguhan mental, jiwanya relatif stabil dalam menghadapi berbagai kondisi baik senang maupun susah.
Keteguhan mental tersebut juga dicirikan dengan keteguhan dalam memberikan kesaksian. Ada hikmah tersendiri ketika Allah SWT memakai kata-kata “qaaimuun” dari kata “qiyam” (mendirikan atau menegakkan) bukan kata “adaa’” (menunaikan atau memberikan). Menegakkan bukan sekadar menunaikan.
Menegakkan kesaksian ada kalanya memerlukan keberanian dan ketegasan. Karena kadangkala berbagai faktor bisa memalingkan seseorang dari menunaikan kesaksian yang sebenarnya. Dalam konteks pemilihan pemimpin, secara riil masih sering ditemukan, seseorang yang memberikan “kesaksian” atau suara, atau bahkan mendustakan “kesaksiannya” lantaran faktor materi yang diraihnya, tanpa memikirkan tanggungjawab serta dampak dari perbuatannya tersebut.
ADVERTISEMENT
Lantaran uang atau janji-janji materi lainnya, idealisme dalam memberikan kesaksian bisa runtuh. Padahal memberikan kesaksian tersebut –yang seringkali dianggap hal remeh-, sekali lagi, bisa berdampak terhadap kondisi sosial masyarakat, bahkan lingkup yang lebih luas lagi.
Secara tegas Allah SWT menyatakan dalam ayat lain: “Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” (QS. Ath-Tholaq: 2). Menegakkan kesaksian karena Allah, bukan lantaran motif materi. Demikianlah Al-Quran dan Hadis menekankan bagaimana seharusnya kita memilih dan menjadi pemimpin. Sebab memilih pemimpin dengan baik dan benar adalah sama pentingnya dengan menjadi pemimpin yang baik dan benar.