Carbon Pricing sebagai Upaya Dekarbonisasi dan Transisi Ekonomi Hijau Indonesia

Dian Eunique Nababan
Dian Eunique Lestari merupakan mahasiswa sarjana jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Politik, UGM, dengan konsintrasi di bidang ekonomi politik dan pembangunan internasional.
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2021 9:42 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Eunique Nababan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
source: Pixabay
ADVERTISEMENT
Naiknya suhu rata-rata bumi, kebakaran hutan, banjir, kekeringan, dan serangkaian fenomena alam lainnya merupakan manifestasi riil dari kekhawatiran aktor internasional terkait dinamika perubahan iklim global yang semakin tidak dapat diprediksi. Perubahan iklim yang kian drastis serta fenomena pemanasan global menjadi tantangan kolektif negara dunia sehingga pembahasan upaya penanggulangannya menjadi bagian dari agenda multilateral.
ADVERTISEMENT
Salah satu mekanisme yang ditawarkan adalah melalui carbon pricing, baik dalam bentuk Emission Trade System (ETS) maupun pajak karbon. Indonesia sebagai salah satu negara di region Asia yang selama ini masih bergantung pada sektor penghasil karbon dioksida dan menjadi kontributor emisi terbesar keempat per tahun 2015 terlihat mulai menunjukkan inisiatif untuk berpartisipasi melalui rencana adopsi carbon tax secara bertahap pada April 2022. Tulisan ini akan mengkaji bagaimana skema implementasi yang direncanakan dan dampak di bidang ekonomi, serta bagaimana carbon tax dapat dilihat sebagai lompatan awal menyambut transformasi ekonomi hijau melalui transisi Energi Baru Terbarukan (EBT).

Efikasi Carbon Pricing sebagai Upaya Mitigasi Lingkungan

Berdasarkan data footprints karbon dunia tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke-10 dengan total produksi emisi sebanyak 441,91 juta dan berkontribusi 2% pada emisi global per 2020 (Dunne, 2019). Data ini menunjukkan total emisi Indonesia yang terakumulasi dan menjadi tantangan apabila ingin merealisasikan komitmen untuk memotong produksi karbon. Indonesia mengambil langkah regulasi iklim—sebagaimana dilakukan oleh anggota OECD dan negara-negara G20 yang bertanggungjawab atas kisaran 80% total emisi karbon global, dengan menerapkan skema carbon pricing yang pengadopsiannya menyesuaikan karakteristik ekonomi dan kapabilitas adaptasi negara.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik dari World Bank (2021) sejauh ini sebanyak 64 pihak telah mengadaptasi skema carbon pricing, berhasil mengumpulkan sebanyak USD $45 miliar pendapatan yang dapat dialokasikan pada pendanaan lingkungan dan proyek pembangunan jangka panjang.
Karena itu istilah carbon pricing seharusnya tidak lagi terdengar asing sebagaimana eksistensinya telah ada sejak waktu yang lama dan telah ramai dikonsiderasi negara dunia. Untuk melimitasi pemanasan global di titik 2°C dan mengupayakan penurunan ke titik 1,5°C sesuai dengan Paris Agreement (European Commission, 2015), negara dunia tergabung dalam upaya kolaboratif memitigasi perubahan iklim. Inisiatif carbon pricing terdiri atas dua instrumen utama yaitu melalui Emission Trade System (ETS)—basis penentuan harga tarif berdasarkan interaksi di pasar karbon dalam skema cap and trade, serta pajak karbon (carbon tax) di mana negara menentukan nominal tarif yang dijatuhkan terhadap sektor penghasil emisi, khususnya sektor pembakaran bahan bakar fosil, guna mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca. Pemberlakuan strategi ini mulai tersebar sebagai upaya menurunkan produksi emisi global dan mengharmonisasi kebijakan antarnegara.
ADVERTISEMENT
Khususnya dalam klaster negara berkembang yang rata-rata masih bergantung pada sektor energi konvensional dan masih ditopang oleh industri penghasil karbon intensif, carbon pricing masih menjadi regulasi yang berusaha diadopsi secara bertahap. Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan rancangan penerapannya yang akan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama di tahun 2021, pemerintah berencana mengembangkan mekanisme perdagangan dan mengkaji harmonisasi pajak.
Tahap kedua pada 2022 hingga 2024, mulailah diterapkan pajak di sektor tertentu seperti pada industri energi listrik dan manufaktur maupun ekstraktif penghasil karbon beracu pada pedoman ETS dan carbon tax. Jiao & Sihombing (dalam Sumarno & Laan, 2021) memproyeksikan dua analisis dari peraturan pemerintah terkait proposal pajak ini yaitu: 1) Pajak sejumlah Rp75.000 yang akan dijatuhkan pada sektor energi diestimasi dapat menghasilkan pendapatan pajak sebesar 32 triliun (USD $2.2 bn) per tahun, dan 2) Rencana peningkatan pajak sebesar USD $12 pada tahun 2024 diestimasi akan mengurangi gas rumah kaca hingga 16.6%, tetapi di sisi lain akan mengurangi GDP sebesar 0,58%, tenaga kerja 0,15%, dan konsumsi hingga 1,97% .
ADVERTISEMENT
Untuk konteks implementasi dalam waktu terdekat, berita adanya rencana implementasi carbon tax berpotensi membuka serangkaian peluang seperti menambah pendapatan negara dari sektor pajak, mendorong percepatan transformasi EBT, dan membuka peluang investasi sektor hijau.
Crampton (dalam Steckel et al., 2021) berpendapat bahwa diantara ragam skema upaya reduksi karbon, implementasi melalui inisiatif carbon pricing adalah alternatif yang paling efektif bila dilihat melalui pertimbangan ekonomi. Untuk penerapan carbon tax, kontrol pemerintahan melalui pemberlakuan patokan tarif yang jelas dapat diilihat sebagai preferensi yang lebih menguntungkan dalam menambah insentif perekonomian yang melemah selama pandemi sekaligus menangani persoalan produksi emisi.
Melalui skema penetapan pajak ini diperkirakan Indonesia akan mendapatkan tambahan pemasukan sebesar 32 triliun rupiah yang bisa dialokasikan dalam biaya operasional dan redistribusi pendapatan negara. Juga dapat diinstrumentalisasi untuk mitigasi kerusakan lingkungan dan dekarbonisasi. Penerapan pajak memiliki dampak signifikan memotong emisi hingga 16,6% dibanding skenario tanpa adanya pemberlakuan pajak.
ADVERTISEMENT
Carbon pricing pun dipandang sebagai momentum yang dapat menstimulus percepatan transformasi energi (EBT). Indonesia, layaknya negara berkembang pada umumnya, masih bergantung pada energi konvensional seperti batu bara dan minyak bumi sebagai sumber energi utama. Menurut estimasi Jules (2021) region Asia Tenggara akan mengalami peningkatan permintaan energi sebesar 70% pada tahun 2040, dan ini menjadi titik penting bagi transisi EBT.
Region ini pada dasarnya telah berupaya menyesuaikan diri dengan tren transformasi energi global melalui serangkaian kebijakan seperti penyesuaian perusahaan pembangkit listrik, komitmen netralitas karbon oleh pihak bank, hingga turunnya harga untuk opsi produk EBT. Akan tetapi, selama ini negara rata-rata tidak bisa mengambil langkah peralihan yang signifikan karena adanya kendala dalam bidang politik dan pengambilan kebijakan, serta hambatan kondisi ekonomi. Karena itu harapannya melalui rencana inisiatif carbon tax di Indonesia, industri akan semakin terdorong untuk melakukan peralihan EBT yang optimal.
ADVERTISEMENT
Potensi implementasi yang selanjutnya adalah peningkatan daya saing dan daya tarik sektor ekonomi hijau. Direktur Pengelola IMF, Kristalina Georgieva (dalam Shalal, 2021) menyebutkan bahwa melalui penetapan kenaikan harga energi secara menyeluruh, aktor ekonomi akan beralih pada opsi yang lebih ramah lingkungan serta akan semakin mempromosikan efisiensi energi, mendorong investasi dan inovasi hijau.
Akan tetapi tentu saja, dari serangkaian keuntungan mekanisme carbon tax yang diperkenalkan, tetap muncul berbagai kekhawatiran dan skeptisme baik masyarakat maupun pihak industri. Melalui penerapan pajak karbon yang mengincar sektor industrial penghasil karbon intensif seperti batu bara dan minyak bumi yang masih menopang GDP Indonesia dan menampung tenaga kerja, muncul pertanyaan efek lanjutan yang harus diperhatikan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT

Tantangan Implementasi Carbon Tax dan Transisi Zero-Emission di Indonesia

Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar kelima dan menjadi salah satu negara dengan cadangan batubara terbesar di dunia. Sekitar 80% pemasukan ekspor Indonesia didominasi oleh produksi batubara dan permintaan akan komoditas tidak kunjung surut seiring permintaan masuk yang stabil dari partner dagang seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan. Selain itu, Indonesia juga cenderung dependen terhadap pembangkit listrik bertenaga uap yang tentu saja menjadi hambatan dalam proses adaptasi carbon pricing.
Adanya rencana penetapan tarif pajak terhadap sektor produsen emisi karbon akan menaikkan harga secara keseluruhan dan kesejahteraan masyarakat menjadi sesuatu yang dikhawatirkan akan terdisrupsi. Proposal pajak karbon ini juga tengah dipantau oleh serangkaian industri, seperti industri semen yang selama pandemi telah mengalami kerugian penurunan output hingga 62% dan penerimaannya akan terancam apabila carbon tax diberlakukan. Selain itu, layaknya negara-berkembang-yang-dependen-pada-energi-fosil pada umumnya, Indonesia kini dihadapkan dengan kondisi dilema pengembangan ekonomi hijau dengar risiko mengorbankan alternatif energi konvensional yang secara harga lebih murah.
ADVERTISEMENT
Terlepas serangkaian skeptisme dan kekhawatiran baik dari pihak industri maupun masyarakat, penulis berpendapat bahwa rencana implementasi carbon tax Indonesia merupakan pilihan yang tepat mengkonsiderasi urgensi isu lingkungan dan ekonomi dewasa ini. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui—permasalahan defisit pendapatan selama pandemi COVID-19 diiringi dengan fenomena deteriorasi iklim dapat diselesaikan apabila mekanisme carbon tax dapat diimplementasikan dengan baik dan tepat sasaran.
Dibutuhkan penyusunan regulasi yang lebih spesifik dan transparan untuk menghindari risiko kerugian yang tidak diinginkan. Pemerintah juga harus memperhatikan beberapa hal penting sebelum adopsi bertahap, yaitu: identifikasi sektor yang akan dikenakan pajak karbon—konsiderasi sektor signifikan dalam ekspor dan intensif impor, implementasi pajak secara moderat, dan peningkatan komunikasi publik terkait regulasi.
ADVERTISEMENT

Penutup

Basis utama penetapan pajak karbon adalah adanya pengetahuan bahwa produksi emisi karbon yang selama ini diidahkan dan berdampak buruk pada lingkungan pada hakikatnya memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk menyokong perekonomian dan menstimulus transisi ekonomi menuju opsi ramah lingkungan. Dengan adanya rencana implementasi inisiatif carbon pricing dalam bentuk pajak karbon per 2020, Indonesia menunjukkan komitmen untuk terlibat dalam upaya mitigasi iklim global sekaligus membuka pintu kesempatan untuk pengembangan alternatif ekonomi ramah lingkungan.
Transisi ini tentu menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan seiring dengan tren dan urgensi global akan perubahan iklim. Pemerintah membutuhkan harmonisasi kebijakan yang lebih spesifik dan transparan untuk meminimalisasi kerugian dan mendorong transformasi yang lebih komprehensif. Pajak karbon akan menjadi pijakan krusial bagi Indonesia untuk terlibat lebih dan menyesuaikan diri terhadap implementasi ekonomi hijau yang lebih agresif ke depannya.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
European Commission. (2015). Paris Agreement. Climate Action. https://ec.europa.eu/clima/eu-action/international-action-climate-change/climate-negotiations/paris-agreement_en#:~:text=The%20Paris%20Agreement%20sets%20out,support%20them%20in%20their%20efforts.
Jiao, C., & Sihombing, G. (2021, July). Indonesia’s Proposed Carbon Tax Bill Reveals Risk to GDP Growth. Bloomberg.com; Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-07-01/indonesia-s-proposed-carbon-tax-bill-reveals-risk-to-gdp-growth
Jules. (2021, June 8). How carbon pricing can expedite energy transition in Asia. Energy Tracker Asia; Energy Tracker Asia. https://energytracker.asia/how-carbon-pricing-can-catapult-energy-transition-in-asia/
Republic of Indonesia. (2021). Updated nationally determined contribution. https://www4.unfccc.int/sites/ndcstaging/PublishedDocuments/Indonesia%20First/Updated%20NDC%20Indonesia%202021%20-%20corrected%20version.pdf
Shalal, A. (2021, April 15). Carbon tax could help Asian countries hit climate targets -IMF. Reuters; Reuters. https://www.reuters.com/business/energy/carbon-tax-could-help-asian-countries-hit-climate-targets-imf-2021-04-15/
Steckel, J.C., Dorband, I.I., Montrone, L., Ward, H., Missbach, L., Hafner, F., Jakob, M. and Renner, S. (2021). Distributional impacts of carbon pricing in developing Asia. Nature Sustainability.https://www.nature.com/articles/s41893-021-00758-8
Sumarno, T., & Laan, T. (2021, August). Taxing Coal to Hit the Goals: A simple way for Indonesia to reduce carbon emissions. International Institute for Sustainable Development.https://www.iisd.org/publications/taxing-coal-indonesia-reduce-carbon-emissions
ADVERTISEMENT
The World Bank. (2020). Pricing Carbon. World Bank.https://www.worldbank.org/en/programs/pricing-carbon