Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
KKN adalah Penjara
30 Agustus 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Navis Yusrizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Yap, kalian tidak salah baca “KKN adalah Penjara”. Bertemu orang baru, masyarakat baru, culture baru, dan hidup bersama selama sebulan lebih dengan lingkungan dan sifat-sifat yang random adalah penjara bagi seorang Navis Yusrizal.
Sebelum KKN ayah saya selalu berpesan, dan saya harap pesan itu sampai kepada kalian dengan cita dan harap. Pesan itu mengantar sebuah ideologi pendewasaan dini bagi mahasiswa KKN. Baik untuk seluruh pembaca, kelompok saya pribadi ataupun adik tingkat berikutnya.
Tetapi sebelum pesan itu datang, ada yang perlu diceritakan. Semester enam adalah semester yang tirani, tidak memiliki kasihan. Ya, segalanya menumpuk pada tahun itu, penelitian akhir, menjadi BPH dalam sebuah kepanitiaan, dan mengurus pondok pesantren mahasiswa. Semuanya menumpuk menjadi satu dan semuanya dituntut selesai dan sempurna dalam waktu dekat. Ditambah dengan datangnya KKN bagi mahasiswa semester enam. Beban bertambah satu, bertemu dengan orang-orang seangkatan, seumuran, dan masing-masing memiliki ego yang tinggi lalu bekerja sama dengan orang-orang tersebut adalah beban. Maka, pendewasaan berperan di sini dan saya selalu memosisikan diri saya sebagaimana posisi yang saya emban, yaitu anggota. Jika ego saya tinggi, maka saya akan skeptis dan perhitungan atau malah membangkang dengan petinggi-petinggi kelompok sepuluh yang saya miliki pada saat itu. Namun, pertimbangan yang saya miliki adalah pesan ayah saya “Posisikan diri anda dengan posisi yang anda punya, karena api bertemu api tidak akan ada ujungnya, reduplah sedikit”. Semenjak pesan itu sampai kepada saya, saya lebih legowo dalam melakukan pekerjaan saya, bangun pukul lima pagi untuk danusan selama empat minggu berturut-turut, rela bangun pukul dua pagi untuk mobil desa, dan segala titah BPH pada saat itu, saya turuti semua. Pun, ketika rapat saya selalu diam, saya hanya sedikit berbicara, karena saya paham, masing-masing memiliki ego, dan ego itu adalah api, ketika ego saya bertemu dengan ego anggota lain. Saya kira, hal tersebut tidak membuat KKN menjadi nyaman namun malah menjadikan KKN benar-benar sebuah penjara. Ya, tugas saya banyak pada saat itu, saya hanya ingin santai, tetap amanah dan menjadi pragmatis.
Selanjutnya adalah masa KKN, saya belum lepas dari penjara ini, tetapi saya cukup merasa senang pada KKN ini. Karena, kedua kalinya saya berhasil mengeksekusi pesan ayah saya. Yap, menghadapi sifat-sifat random yang dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa KKN, itu adalah sebuah tantangan. Pemarah, galak, aneh, pembantah, toxic, dan sifat lainnya adalah sifat-sifat terduga dari kelompok KKN ini. Dalam menghadapi itu semua ayah saya berpesan: “Dewasa itu adalah semampunya kita memanusiakan manusia”, tidak hanya itu ayah saya juga berpesan: “Sifat seseorang itu berbeda-beda, dan sifat seseorang itu dibangun dari latar belakangnya masing-masing”. “Ini hanya masalah pendewasaan” tegas saya dalam hati pada masa KKN. Maka mewajarkan dan berteman dengan sifat-sifat itu adalah sebuah keniscayaan bagi saya, karena yang saya inginkan adalah sebuah kenyamanan di dalam KKN. Pesan itu sampai dan saya lakukan dengan menaruh respect kepada sifat-sifat dari anggota kelompok KKN ini. Dari hal itu, sepertinya penjara ini, masih memiliki fentilasi untuk memandang dunia luar. Sedikit sudah mulai terasa nyaman.
ADVERTISEMENT
Masalah perduniawian belum selesai. Warga, juga menjadi tantangan bagi mahasiswa KKN kelompok ini. Living law dan ethics yang hidup di masyarakat/warga adalah tantangan. Dahulu dan akhir-akhir ini, berita sangat sering menampilkan tragedi-tragedi yang tak terduga dari mahasiswa-mahasiswa KKN, yaitu perlakuan tidak etis lewat sosial media, dan lainnya. Alhamdulillah, selama KKN hal yang ditakutkan, yaitu melanggar etika di dalam masyarakat, baik di desa ataupun di sosial media tidak terjadi dan beruntungnya, kami kelompok sepuluh mendapatkan warga-warga yang warm dan welcoming kepada mahasiswa-mahasiswi KKN.
Ternyata narasi “Penjara” hanyalah narasi awal. Narasi fatamorgana, tidak berwujud dan tidak nyata. Karena secara majaz “KKN adalah Liburan, Pengabdian, dan Pendewasaan” bukanlah sebuah penjara. Hari ke hari, saya makin bersyukur dipertemukan Bu Novi selaku dosen DPL yang sangat baik dan asyik, Fatih sebagai kepala nakhoda yang ulung, Deidra sebagai seorang yang kreatif tidak habis ide, Khansa sebagai ibu yang galak, Istianah sebagai “bu de” (istilah “Ibu” dalam bahasa Jawa), Safinah dengan sok asyiknya, Gatra sebagai pendengar yang baik, Utami sebagai umi, Rike dengan candaannya yang seru, Handa dengan brewoknya, Ridwan dengan aeroxnya dan tumblernya, Bima dengan Supra Veganya, Fikri dengan Persibnya, Fahru dengan karpet ungunya, Feri dengan anak-anak mts darmusnya, Fahri dengan ibadahnya, Alvira dengan diam emasnya, Fahira dengan Pondok Ranjinya, Nada dengan keseruannya.
Semua itu, menjadi satu dan hangat dalam sebuah atap beralaskan keramik. Sebuah posko yang terletak di desa Tarikolot, Citeurup, Bogor. Membentuk dan melukiskan sebuah cerita selama sebulan lebih. Sehingga akhirnya, kisah-kisah itu: pesan orang terdekat, pendewasaan, warga yang baik, dan sifat-sifat mahasiswa kelompok yang berbeda-beda. Meresap dan berkenang untuk selamanya. Narasi “KKN adalah Penjara” hanyalah sebuah narasi kosong yang dihapus oleh pendewasaan dan usaha dalam memanusiakan manusia. Sehingga KKN bukanlah sebuah penjara, namun KKN adalah sebuah kebebasan. Kebebasan dalam berterminologi yang kembali kepada individu masing-masing.
Navis Yusrizal
ADVERTISEMENT
-Mahasiswa KKN UIN Jakarta, Divisi Logistik