Menjadi Santri di Pulau Dewata

Navis Yusrizal
Mahasiswa UIN Jakarta
Konten dari Pengguna
11 Desember 2023 10:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Navis Yusrizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Galeri pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Galeri pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hal pertama yang terlintas di benak kita saat mendengar kata "Bali" tidak lain ialah pemandangan, budaya, dan wisata yang tidak ada habisnya. Namun, pernahkah anda mendengar kalau ada sebuah pondok pesantren di Bali?
ADVERTISEMENT

Awal Mula

Ya, pada saat itu saya hanyalah seorang siswa sekolah menengah pertama di suatu sekolah swasta di Bali, sangat bingung pada saat itu menentukan pilihan untuk melanjutkan studi, antara SMK atau SMA, tak habis pikir saya pun meminta saran dan menanyakan baiknya saya lanjut di mana kepada nenek saya di Bali, nenek saya pun memberikan dua pilihan, yaitu antara ke MAN, MA, atau pondok pesantren.
seketika itu saya langsung bertanya ke nenek saya, "Memang ada pondok pesantren ya nek di Bali?", jawab saya.
"Ya ada dong, itu anaknya bu Basuki mondok di sana", ucap nenek saya.
"Di mana nek?", tanya saya penasaran.
"Di Klungkung." Jawab nenek saya.
Dari percakapan itu saya langsung mencari tahu apakah benar ada pondok pesantren di daerah yang sangat sedikit pemeluk Islamnya, setelah saya cari di internet, bertanya kepada teman, dan keluarga-keluarga jauh, ya, ternyata ada, dan sudah mendapatkan narahubungnya.
ADVERTISEMENT

Menguatkan Niat

Sudah kuhubungi semua kontak yang tertera, ku tekadkan dengan salat istikharah, mengkonsultasikan ke kedua orang tua, teman-teman terdekat, dan terakhir, ku tanyakan ke diri ini, diri yang selalu menemani gundahnya, sedihnya, dan selalu menguatkan sebelum melakukan apapun, ya, keputusan final ada pada diriku sendiri.
Karena sudah kutanyakan ke orang-orang terdekat, dan hampir seluruhnya mengatakan "ayo mondok saja", maka diri ini pun kuat untuk mengatakan "iya, aku siap mondok".
Sejak saat itu diri ini sudah menerima apapun yang akan terjadi, dan kisah pun dimulai.
Alm. Pak Agus ketika kegiatan belajar mengajar.

Teman Baru

Pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pondok pesantren yang berada di Klungkung, Bali, terlihat banyak sekali siswa yang berpakaian seragam berwarna merah dan abu-abu, tampak tidak matching, namun mungkin itu seragam ciri khas mereka, ku pandang ke sana kemari, untuk melihat apakah ada meja registrasi, ternyata meja registrasi terdapat di tepi barat pondok pesantren, ku berjalan di sana dengan ayahku, ku taruh tas dan koper-koper berisi pakaian dan barang-barang keperluan ku di meja regist pertama, sampai di meja ke dua, para siswa yang menjadi panitia pun bertanya kepadaku, "Dengan nama siapa dik?".
ADVERTISEMENT
"Nama saya Navis Yusrizal kak", jawab saya tegas.
"Kalau boleh tahu, Navis dahulu lulusan di mana?", tanya panitia.
"Saya lulusan SMPN 1 Denpasar, kak", jawab saya.
"Ohh, sama dong". Jawab panitia sambil kaget.
Dari situ saya punya kenalan pertama di pondok pesantren, dan sampai sekarang pun saya masih sering memberi kabar di sosial media, dia adalah "Hanif Danis", seorang wakil bagian bahasa yang sangat optimis akan hidupnya, dan selalu memberikan semangat ke adik-adiknya, walaupun terkadang kekonyolan dan sifat kebapakannya muncul.
Pemilihan ketua dan wakil.

Tahun Berikutnya

Setelah selasai lembaran pada tahun pertama, masuklah ke babak pergantian rezim pondok dari angkatan sebelumnya menjadi angkatan saya yang memimpin.
Banyak pengalaman dan ilmu yang diturunkan oleh kakak-kakak kelas saya pada masa itu, mulai dari filsafat, hukum islam, hingga sastra Arab pada level tertinggi, semua saya ingin lahap, tetapi sayang, mungkin hanya bahasa Arab dasar yang menempel di otak saya, dari kemampuan yang sedikit itu, mulailah saya ditarik untuk menjadi bagian bahasa dan daya pun mulain merancang proyek kerja saya setahun ke depan.
Kajian di pondok kami.

Rancangan

ADVERTISEMENT
Mulailah babak baru pada lembar kehidupan saya, rancangan serta inovasi dari teman-teman saya saya rancang dan rumuskan untuk kemajuan bahasa pondok saya, mulai dari percakapan bahasa Arab tiada hentinya, kosakata setiap hari, hukuman bagi pelanggar, dan sebagainya.
Cerita belum terhenti, menerapkan apa yang kita rancang ternyata tidak semudah saat kita merancang, tenaga, pikiran, semua kita kerahkan, hingga pada suatu hari kita terapkan peraturan wajib berbahasa Arab dan Inggris pada hari senin hingga minggu.
"Wajib, iya benar wajib, jadi bagi yang berbicara bahasa Indonesia akan kami hukum, dan hukumannya bukanlah hukuman yang biasa". Kata saya di atas minbar setelah salat subuh.
Pagi pukul tujuh, saya perhatikan benar-benar tidak ada yang berbicara apapun ketika saya lewat, entah karena memang takut dengan saya, atau memang benar-benar tidak bisa berbicara bahasa Arab menggunakan kosakata yang telah kami berikan, intinya sangat hening pada saat itu ketika saya lewat, walau begitu saya sudah mempunyai banyak mata-mata yang tersebar di beberapa sisi.
ADVERTISEMENT
Setelah magrib saya pun meminta laporan kepada mata-mata yang saya amanahkan untuk mencatat siswa yang berbicara menggunakan bahasa Indonesia, mengejutkan! 20 siswa tercatat berbicara dengan bahasa Indonesia pada saat antre mandi, dan mata-mata kedua, ketiga keempat, tidak kalah banyak, total ada 80 siswa yang berbicara bahasa Indonesia.
Tiba malam, mahkamah (waktu untuk menghukum pelanggar) diadakan, lalu kami panggil nama-nama pelanggar, "Semua maju ke depan!", ucap saya. Lalu kami pun menghukum mereka dengan cara yang cukup lama namun dinamis, yaitu menulis satu juz Alquran, kami pun menyuruh untuk masing-masing menulis satu juz dan kami beri batasan waktu satu minggu.
Memberikan kosakata bahasa Arab dan Inggris oleh bagian bahasa.

Kebebasan Beribadah

Sejak saya lahir hingga dewasa, saya tidak pernah merasa kesulitan beribadah maupun belajar di sini, terlebih di pondok pesantren, akses atau wujud implementasi "Bhinneka Tunggal Ika" sangat terealisasikan di sini. Suatu ketika pada hari Jumat berpapasan dengan hari raya nyepi, yang sebagaimana kita ketahui aktivitas kita dibatasi, baik berkendara, melakukan kegiatan di luar rumah, ataupun ibadah, namun umat Hindu di sini sangatlah paham dengan makna toleransi dan penerapannya, saat itu kami diizinkan untuk melakukan aktivitas salat Jumat namun hanya pengeras suara saja yang dibatasi. Bisa dibayangkan jika umat Hindu di Bali tidak paham makna toleransi, mungkin kita umat Islam tidak bisa merasakan kebebasan beragama di sini.
ADVERTISEMENT

Kualitas Pendidikan Pondok Bali

Memang pondok kami berada di provinsi yang bermayoritas Hindu, tetapi apakah ini menjadikan alasan kami untuk tidak semangat dalam menuntut ilmu? alhamdulillah, banyak lulusan dari pondok kami yang dapat melanjutkan jenjang pendidikannya ke berbagai perguruan tinggi yang ternama. Kalau saya lihat inilah pentingnya peran guru dalam membimbing muridnya. Semangat guru dalam membimbing peserta didiknya lah yang saya lihat memengaruhi kualitas muridnya, ustaz Munawwir namanya, usianya memang sudah berkepala lima, namun semangat untuk bisa membangun generasi Bali yang dapat andil dalam hal nasionalis, akademis, dan agamais, ustaz Fadly juga memiliki visi dan misi yang kurang lebih sama dengan Ustadz Munawwir, bahkan murid beliau sempat juara dua nasional pidato bahasa Arab pada kegiatan Pospenas.
ADVERTISEMENT
Itu mungkin beberapa dari banyaknya pengalaman dan keberagaman yang saya dapatkan selama berproses atau menempuh pendidikan di Bali, walau pondok kami terletak di provinsi yang bisa dibilang minim muslim tetapi kami tidak minim literasi dan kualitas.