Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
“Mihrobul Muhibbin” sebuah Terminologi
21 Januari 2024 9:00 WIB
Tulisan dari Navis Yusrizal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fajar merona menatap perginya bulan, senyap diiringi sendu angin pagi bersisik dengan dedaunan gugur di halaman asrama, yap, suasana pagi kali ini nampaknya sedang tidak bersemenda dengan kondisi pagiku ini, ini adalah seminggu sebelum aku putus hubungan dengan asramaku, asrama antik dengan gaya seperti kos namun sudah menjadi rumah bagiku “ASPA”, aku bingung bukan main, ada tiga porsi menu yang sangat menggiurkan di depanku, yang pertama aku tetap lanjut, yang kedua pindah ke kos, dan yang terakhir ke asrama lain atau pondok pesantren mahasiswa, sejak saat itu aku mencoba field research (penelitian lapangan) sekaligus mencari informasi tentang asrama-asrama mahasiswa yang tersebar di belahan dunia Ciputat.
Menemukan Kasih
ADVERTISEMENT
Aku mencoba mencari-cari apakah aku tetap di sini, atau pergi meninggalkan asrama yang sudah menjadi sumurku ini, tidak hanya sekadar rumah menurutku namun sudah menjadi sebuah sumur yang menjadi sumber kehidupan yang tidak pernah kering untuk diteguk, berat rasanya, namun sepercah ungkapan muncul dari hati dan berdialog dengan pikiran, “Kamu butuh tantangan, kamu harus keluar dari sini dan mencari udara baru sebagai refrensi masa depanmu”. Ucap hati spontan, Lalu aku berkolaborasi dengan pikiranku dan segera menyangkal, “Tidak semudah itu Ferguso, aku rasa ‘ASPA’ sudah menjadi rumah sekaligus ladang kehidupan, ilmu, dan tempat yang sempurna”. Kataku mengelak pernyataan hati, mulai saat itu aku ambangkan dahulu antara lanjut atau tidak.
Namun, walau masih mengambang, aku tetap mencari dan mencari informasi tempat berlabuh untuk mencari istilah bagi “The Next Home”, baik asrama, kontrakan, dan lainnya. Aku mulai dari menghubungi teman, sudah kudapati informasi mengenai asramanya dan lebih fokus kepada dunia perdakwahan serta hafalan Alquran, karena merasa masih perlu refrensi, teman selanjutnya ku hubungi,
ADVERTISEMENT
“Pagi Bowo, antum kemarin ngekos di belakang masjid Fathullah perbulan berapa biayanya?”, Tanyaku dalam via telepon.
“Lima ratus rebu, doang Vis, udah dengan fasilitas yang ada: listrik, air, almari, dan parkiran motor”. Tangkas Bowo.
“Eh, murah bener dah kata gua segitu mah, coba Wo, kirim ke gua nomor whatsapp-nya”, ucapku dengan logat Betawi Depok.
Setelah saya pertimbangkan, sepertinya kos tidak bisa melengkapi terminologi “The Next Home”. Oke, usaha menjadikan kos sebagai “The Next Home”, nampaknya gagal, kehidupan tidak berhenti, realitas terus berjalan, statusku dengan dia hanya teman juga tetap tidak berubah. Dua hari berlalu aku hanya mendapatkan satu refrensi untuk mencari rumah keduaku ini, yaitu pondok tahfidz dan dakwah, aku coba berdiskusi malam ini dengan Awadh Alkarim, sosok yang disiplin, organisator, dan intelektual dengan playlist hindinya, aku juga mencoba memanggil Alim Jayanto, seorang yang cerdas, cepat menyerap ilmu, goalkeeper sekaligus pegiat Alquran dan aktifis lingkungan situgintung, ya mereka semua adalah karibku, kami seangkatan di asrama ini, dan kontrak kami akan habis pada lima hari kedepan, ku ingin klarifikasi dari mereka, barangkali mereka bisa membantuku untuk menyelesaikan project-ku yaitu melengkapi istilah “The Next Home”, aku coba di malam yang sendu itu, di balkon kamar yang khas dengan gaya antik sebagai sebuah asrama kuno nan elite, di bawah lampu kuning mengilaukan tanah lapangan tenis, untuk bertanya kepada mereka di mana akan berlabuh setelah kontrak ini habis, “Btw, you all lanjut ke mana?”, tanyaku.
ADVERTISEMENT
“Aku kayanya ngikut Awadh, Vis”, ucap Alim.
“Di mana itu Wadh?”, tangkas ku.
“Iya Vis, setelah ku pikir panjang kayanya kami sih, bakal lanjut di pondok pesantren Pak Yai Shodiq nih, aku juga ada kenalan di sana namanya ‘Cimol’ tetapi perempuan, aku udah tanya-tanya juga, program yang ditawarkan cukup menarik”, jawab Awadh.
Setelah perkopian tadi malam, barulah aku tahu kalau di belahan dunia Ciputat ada sebuah pondok pesantren mahasiswa bernama “Mihrobul Muhibbin”, nama yang merona dan bersifat ibadah, “Menarik”, tangkasku dalam hati
Bergelut dengan Keputusan
Setelah mendapatkan dua asrama untuk dijadikan pilihan rumah selanjutnya, yaitu asrama dakwah dan tahfidz dengan pondok pesantren Mihrobul Muhibbin, mencoba membandingkan, melihat, dan bertanya, namun, rasanya kurang seperti aku menyukainya namun dia enggan, ah sudahlah, intinya kurang memuaskan dahaga, perlu survei dan langsung datang.
Pagi hari aku mengajak Awadh untuk pergi bersama ke pondok pilihan kedua yaitu “Mihrobul Muhibbin”, perjalanan panjang dengan berjalan kaki selama 15 menit, cukup memancing keringat pagi, telah sampai di depan gerbang, namun sepi penduduk, ku tengok kembali, tampak tidak ada orang, dan Awadh pun menghubungi temannya, namun dia sepertinya tidak sedang berada di pondok. Kami menunggu sekitar lima menit di depan gerbang, tampak seseorang putih, bersih, berkaca mata mendekat, lalu dia bertanya “Maaf, sedang ada keperluan apa?”, ucapnya dengan nada Sunda Garut.
ADVERTISEMENT
“Begini mang, kita pingin survey ke dalam, nuhun kang, boleh tidak?”, tanya ku.
“Atuh sok! Mang”, bernada sambil ngegas dengan logat garutnya.
Ya, setelah itu, aku dengan Awadh melihat-lihat fasilitas yang dimiliki pondok mahasiswa ini, juga pada saat itu kami pun berkenalan, beliau adalah “Miftah Fauzi Shobari” freshgraduate serta lulusan terbaik FISIP pada angkatan wisudanya.
Sudah terang nampaknya di mata kami berdua, dengan fasilitas yang memadai, program yang berstandar internasional, nampaknya hatiku sudah tidak netral lagi, tetapi lagi-lagi pikiran ini terus berdebat dengan hati, terminologi-terminologi yang merumput untuk asramaku dahulu terus tumbuh, mendesak, dan memaksa untuk lanjut dan berada pada comfort zone (zona nyaman), dan diri ini bertanya “Apakah tepat keputusanku?”.
Bulat!
ADVERTISEMENT
Aku putuskan, untuk berlabuh di “Mihrobul Muhibbin”, namun terminologi “The next home” belumlah lengkap masih hanya separuh dari yang ada, dan aku bingung sesuatu apa yang bisa melengkapi terminologi dari kata itu.
Waktu berlalu, ku iringi hari-hariku dengan bermandi ilmu diharmonisasikan dengan rasa dan semangat dari teman-teman, banyak potongan-potongan puzzle yang hari demi hari aku temukan, mulai dari pengalaman dan pengamalan asatidz dalam perjalanan rohaninya, yang paling saya ingat adalah pengalaman dan pengamalan pak Subhan “Sebelum tidur, lebih baik saya langsung tidur daripada buka whatsapp yang tidak penting, malah akan menimbulkan maksiat”, juga Pak Yai Shadiq dalam memotivasi kami untuk terus belajar, salah satunya “Mulai lah dari ujung kerucut ke bawah, gali dan gali..”, dan banyak lagi wasiat, tidak hanya pesan dan wasiat namun rasa memiliki satu sama lain di Mihrobul Muhibbin ini, lengkap!
Waktu demi waktu, potongan demi potongan terlengkapi dan membentuklah sebuah puzzle yang melengkapi terminologi ini “The Next Home”, sekaligus menjawab pertanyaanku di awal, “Apakah tepat keputusanku ini?”. Ya, untuk melengkapi kata “The Next Home” sebagai sebuah terminologi yang padu, semua unsur yang hidup dan berkembang di Mihrobul Muhibbin adalah jawabannya.
ADVERTISEMENT
Navis Yusrizal – Duta Bahasa FSH UIN Jakarta 2022
Live Update