Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Masa Transisi Menuju Dewasa: Cara Melewatinya dengan Tenang dan Wajar
29 Mei 2024 7:01 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ina Qori'ah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika anak-anak, melihat orang dewasa itu menyenangkan, mereka bisa bebas melakukan apapun. Memang menjadi dewasa itu menyenangkan karena dapat mengambil keputusan sendiri, pergi kemanapun dan berbincang dengan siapapun. Namun tidak ada disclaimer jika ternyata menjadi dewasa itu tidak mudah. Mungkin menyenangkan ketika bertemu orang baru dan melakukan basa-basi, tetapi kemudian pertanyaan-pertanyaan seperti 'kamu kerja di mana', 'kerja sebagai apa', 'berapa gajimu', atau 'sudah menikah atau kapan menikah' dapat mengusik perbincangan. Akan sangat sulit menjawab pertanyaan itu jika ternyata lamaran kerja belum ada yang lolos, pekerjaan yang tidak nyaman dengan gaji yang tidak mencukupi, atau sedang dalam hubungan yang retak bahkan belum memiliki pasangan.
ADVERTISEMENT
Masa dewasa awal adalah masa transisi dari remaja menuju dewasa (Santrock, 2008). Rentang usia ini berkisar antara 18 tahun hingga 40 tahun, masa ini ditandai oleh kegiatan bersifat eksperimen dan eksplorasi. Masa dewasa merupakan transisi kehidupan dalam pengaturan hidup, hubungan, pendidikan dan pekerjaan. Ditandai dengan permasalahan identitas dalam mengidentifikasi diri sendiri dan ingin menjadi apa, serta mengharuskan laki-laki dan perempuan untuk mengeksplorasi kemungkinan masa depan mereka, gender dapat memainkan peran penting dalam perkembangan identitas seseorang.
J. Dinkelaker mendefinisikan dewasa :
ADVERTISEMENT
Contoh-contoh ini sudah menunjukkan bahwa orang dewasa tidak sebagai sebuah konstruksi yang seragam, tetapi kita berhadapan dengan banyak pemahaman yang sebagian tumpang tindih dan sebagian berbeda tentang kedewasaan (Herzog, 2020)
Meskipun tidak semua orang dewasa yang pada tahap awal mengalami kesulitan selama transisi yang biasa terjadi pada tahap kehidupan ini, transisi kehidupan dapat menimbulkan tekanan bagi orang dewasa yang baru muncul, dan tekanan yang menyertai transisi tersebut menimbulkan ancaman besar terhadap kesejahteraan orang dewasa yang baru muncul.
Quarter life crisis merupakan sebuah perasaan khawatir dalam diri seseorang yang disebabkan oleh ketidakpastian kehidupan mendatang. Perasaan khawatir tersebut seputar hubungan relasi, karir/pekerjaan, dan kehidupan sosial yang terjadi terhadap mereka di usia sekitar 20 tahun (Habibie et al., 2019). Setiap individu mengalami quarter-life crisis yang berbeda, dengan sebagian besar permasalahan yang dihadapi yaitu kecemasan terhadap masa depan. Setiap individu memiliki coping strategi yang berbeda dalam menghadapi krisis yang sedang dialaminya. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan dalam menganggapi masalah, pola asuh orang tua dan perbedaan kepribadian (Salsabila et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Perlu diakui, krisis ini bisa menjadi hal yang bai. Ini adalah kesempatan untuk merenungkan pilihan-pilihan yang telah dibuat dalam hidup dan memeriksa apakah pilihan-pilihan tersebut selaras dengan kondisi saat ini. Berikan “jeda” pada diri sendiri untuk melakukan mindfulness sejenak untuk berhenti dan menyadari pikiran, perasaan, sensasi tubuh, lingkungan secara real time dan pahami diri sekarang.
Setelah memahami asal-usul pemikiran dan keyakinan dengan lebih baik, mulailah merefleksikan pengalaman sendiri sebagai orang dewasa. Pikirkan hal-hal yang kamu hargai dan bagaimana dirimu ingin menjalani hidup. Tentukan apa arti kesuksesan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang bahagia dan sehat. Tidak masalah jika pandangan tentang kebahagiaan berbeda dari saat masih kecil dulu. Yang terpenting adalah memahami apa yang membuat bahagia sekarang sebagai orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Selama proses ini, penting untuk melepaskan penilaian negatif terhadap diri sendiri atau orang lain. Contoh penilaian negatif yang sering muncul adalah membanding-bandingkan diri dengan orang lain yang dianggap lebih sukses, mengkritik diri sendiri secara berlebihan atas kegagalan atau kesalahan di masa lalu, atau bahkan menyalahkan orang tua atas pilihan hidup yang diambil. Untuk mengatasinya, kita bisa mencoba mempraktikkan self-compassion, yaitu memperlakukan diri sendiri dengan kebaikan dan pemahaman, seperti kita memperlakukan teman dekat. Misalnya, dengan mengatakan pada diri sendiri, "Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, yang penting adalah belajar dan terus mencoba menjadi lebih baik." Atau dengan mengingatkan diri bahwa setiap orang memiliki lintasan hidup yang berbeda, sehingga tidak ada gunanya membanding-bandingkan.
ADVERTISEMENT
Ketika merefleksikan masa lalu, jangan sampai terjebak dalam penyesalan yang berlebihan atau menyalahkan orang tua dan diri sendiri atas pilihan-pilihan yang telah dibuat. Perlu disadari bahwa pada waktu itu, pilihan tersebut diambil berdasarkan pemahaman dan situasi yang ada saat itu. Hanya sedikit orang yang benar-benar memahami dengan jelas apa yang mereka inginkan sejak masih muda, kebanyakan baru mengenali diri, keinginan, dan tujuan hidup seiring bertambahnya usia dan pengalaman. Proses memahami diri sendiri adalah perjalanan sepanjang hidup yang tidak akan pernah sempurna. Dalam perjalanan ini, penting untuk menerima diri apa adanya, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya sebagai manusia. Jangan terlalu mengkritik diri secara berlebihan, tetapi perlakukan diri dengan kebaikan, pemahaman, dan pengertian. Terima kekurangan dan ketidaksempurnaan itu, tetap terus belajar dan tumbuh menjadi versi terbaik diri sendiri.
ADVERTISEMENT