news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Obsesi untuk Selalu Produktif: Baik atau Buruk?

Khansa Firzana Ufairah
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Prancis, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Brawijaya
Konten dari Pengguna
27 November 2021 20:22 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khansa Firzana Ufairah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
Salah satu teman saya membagikan pengalamannya saat ia terjebak dalam siklus toxic productivity. Saat itu ia berada di semester pertama perkuliahan. Ia berpikir bahwa semakin banyak kegiatan yang ia ikuti, maka akan semakin banyak peluang-peluang yang akan ia dapatkan di masa depan nanti.
ADVERTISEMENT
Namun, selama kurang lebih 3 bulan ia melakukan rutinitasnya tersebut, ia justru sering merasa jauh lebih stres dari biasanya. Ia juga mengeluhkan bahwa ia menjadi sulit sekali untuk tertidur karena terganggu dengan pikiran-pikiran mengenai tugas-tugas yang belum sempat ia selesaikan. Saat itulah ia sadar bahwa ia telah terjebak dalam siklus toxic productivity.
Belakangan ini topik toxic productivity memang sedang menjadi bahan pembicaraan yang hangat di sosial media. Tak hanya teman saya, ternyata banyak sekali yang berbagi pengalaman mereka ketika merasakan hal yang sama karena tanpa sadar sudah terjebak pada siklus berbahaya ini. Lalu, sebenarnya apa itu toxic productivity?
Seorang Psikolog, Dr. Julie Smith mengatakan bahwa "Toxic Productivity merupakan sebuah obsesi untuk terus mengembangkan diri dan merasa selalu bersalah apabila tidak bisa melakukan banyak hal". Istilah toxic productivity ini mengacu pada obsesi yang tidak sehat terhadap produktivitas. Orang yang terjebak dalam siklus toxic productivity seringkali merasa sudah melakukan banyak hal namun tidak pernah merasa cukup dengan apa yang mereka kerjakan. Produktivitas yang berlebihan ini akan berbahaya dan berisiko sekali terhadap kesehatan secara fisik maupun mental, lho!
ADVERTISEMENT
Terlebih sebagai mahasiswa, seringkali kita diberitahu bahwa sangat penting untuk memanfaatkan semua peluang yang tersedia semasa duduk di bangku kuliah, dan memanfaatkan pengalaman berkuliah sebaik mungkin. Tak hanya itu, kita juga dihadapi dengan adanya tekanan yang datang dari media sosial. Media sosial saat ini seakan-akan menjadi zona berkompetisi untuk memperlihatkan kesibukan masing-masing. Tanpa kita sadari, sebagian dari kita akhirnya mengukur kelayakan diri berdasarkan produktivitas yang telah kita kerjakan. Karena semua hal inilah, seringkali ada rasa bersalah yang kita rasakan dengan cara mengikuti sebanyak mungkin kegiatan, karena rasanya menjadi seperti ketakutan jika kita tidak melakukan sebanyak yang kita bisa.

Bagaimana cara kita mengetahui jika ternyata kita terjebak toxic productivity?

Jika kamu bertanya-tanya, apa saja sih tanda bahayanya? Berikut adalah beberapa tanda yang akan dapat membantu kamu untuk mengidentifikasi bahwa produktivitas yang kamu jalani mungkin tidak sehat.
ADVERTISEMENT

Bagaimana caranya agar kita dapat menghindari toxic productivity ini?

Apakah kamu mungkin merasa relate dengan tanda-tanda toxic productivity yang disebutkan di atas? Jika kamu menjawab ya, kamu tidak perlu khawatir. Ada beberapa cara sederhana yang dapat kamu lakukan untuk mencegah toxic productivity ini sebelum mengganggu kesehatan, kinerja, dan hubunganmu.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Setiap orang pasti ingin menciptakan versi terbaik dari dirinya, menjadi produktif juga bukanlah suatu kesalahan. Tetapi, kita tidak boleh memaksakan diri kita dan mengubah esensi produktivitas yang seharusnya dapat membantu kita untuk menjadi lebih baik berubah menjadi sebuah obsesi. Maka dari itu, hal yang tepat yang dapat kita lakukan adalah fokus terhadap diri kita sendiri. Lawan kita bukanlah orang lain, lawan kita adalah diri kita yang kemarin. Jangan sampai ambisimu malah membahayakan dirimu sendiri. You matter!