Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
KENAIKAN PPN 12% DAMPAK TERHADAP KAUM MENENGAH KE ATAS PADA TAHUN 2025
31 Desember 2024 20:30 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zhalfa Fairunissa Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 adalah salah satu kebijakan besar yang dirancang pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini tidak mengherankan mengingat kebutuhan anggaran negara yang terus meningkat, terutama untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga program-program sosial lainnya. Namun, kebijakan ini juga menimbulkan beragam respons di kalangan masyarakat, mulai dari dukungan hingga kekhawatiran terhadap dampaknya pada perekonomian secara keseluruhan.
Selain itu, kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari potensi efek domino yang ditimbulkannya. Kenaikan PPN tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada sektor ekonomi lainnya, seperti bisnis ritel, jasa, dan pariwisata, yang selama ini mengandalkan daya beli kaum menengah ke atas. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami lebih dalam bagaimana kenaikan PPN ini akan memengaruhi kelompok tersebut, baik dari sisi pola konsumsi, daya beli, hingga dampaknya terhadap sektor ekonomi yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini mencoba mengupas lebih dalam potensi dampak kenaikan PPN 12% terhadap kaum menengah ke atas, terutama dalam hal pola konsumsi dan prioritas pengeluaran mereka. Hal ini penting karena, meskipun kebijakan ini bertujuan baik—yakni meningkatkan pendapatan negara—implementasinya tidak bisa diabaikan begitu saja. Kita harus mempertimbangkan bagaimana kebijakan ini dapat diterima oleh masyarakat tanpa memberikan beban yang terlalu besar pada kelompok konsumen utama.
Pembahasan
Kebijakan Kenaikan PPN 12% dan Dasar Pertimbangannya
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 didorong oleh kebutuhan mendesak untuk meningkatkan pendapatan negara. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan anggaran, terutama karena meningkatnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan program kesejahteraan sosial. Pajak, khususnya PPN, adalah salah satu sumber utama pendapatan negara, sehingga meningkatkan tarif PPN menjadi strategi yang dipilih untuk menutupi kesenjangan fiskal yang ada.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini juga menargetkan barang dan jasa konsumsi dengan nilai tambah tinggi sebagai objek utama kenaikan tarif. Barang-barang seperti elektronik, kendaraan, properti, dan layanan premium, yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke atas, dipandang sebagai sektor yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan pajak tanpa membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah secara langsung. Namun, keputusan ini tetap membutuhkan analisis mendalam, mengingat dampaknya tidak hanya pada individu tetapi juga pada sektor ekonomi yang lebih luas.
Sebelum kebijakan ini diberlakukan, tarif PPN di Indonesia berada di angka 11%, yang telah mengalami kenaikan dari tarif 10% beberapa tahun sebelumnya. Kenaikan dari 10% ke 11% sudah memberikan dampak signifikan pada harga barang dan jasa, terutama pada sektor konsumsi. Namun, dengan kenaikan menjadi 12%, dampaknya diperkirakan akan lebih terasa, terutama pada barang-barang yang tergolong kebutuhan sekunder dan tersier.
ADVERTISEMENT
Barang-barang yang terkena dampak kenaikan PPN ini mencakup kategori barang dan jasa dengan nilai tambah tinggi. Misalnya, produk elektronik seperti ponsel pintar dan laptop, kendaraan bermotor, hingga properti mewah akan mengalami lonjakan harga. Jasa premium seperti pendidikan internasional, layanan kesehatan privat, dan pariwisata mewah juga akan merasakan dampak serupa. Sebaliknya, barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, sayuran, dan bahan pangan lain yang tergolong barang strategis tetap dikecualikan dari kenaikan tarif ini, untuk melindungi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.
Kenaikan PPN menjadi 12% diproyeksikan memberikan dampak positif terhadap pendapatan negara. Pemerintah memperkirakan peningkatan signifikan dalam penerimaan pajak yang akan digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan nasional, seperti perbaikan infrastruktur jalan, layanan kesehatan gratis, dan bantuan sosial. Namun, di sisi lain, kebijakan ini memiliki potensi menciptakan efek domino pada sektor ekonomi tertentu. Sektor ritel, misalnya, dapat menghadapi penurunan permintaan karena konsumen menahan belanja barang non-esensial. Sektor properti dan otomotif, yang sangat bergantung pada daya beli masyarakat menengah ke atas, mungkin akan mengalami perlambatan akibat kenaikan harga yang signifikan. Selain itu, potensi inflasi akibat kenaikan harga barang dan jasa juga harus diantisipasi oleh pemerintah, karena dapat memengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Peran Pendidikan Akuntansi dalam Mempersiapkan Profesional di Era Digital
Pendidikan akuntansi, meskipun telah memasuki era digital, tetap tidak bisa melepaskan fokusnya pada konsep dasar akuntansi. Pemahaman tentang prinsip-prinsip akuntansi seperti persamaan dasar akuntansi, proses pencatatan transaksi, dan penyusunan laporan keuangan tetap menjadi fondasi yang harus dikuasai oleh setiap calon akuntan. Konsep ini menjadi dasar untuk memahami proses yang lebih kompleks, baik dalam konteks manual maupun otomatisasi berbasis teknologi. Tanpa penguasaan yang kuat pada dasar-dasar ini, kemampuan mahasiswa dalam menerapkan perangkat lunak atau teknologi canggih lainnya akan kehilangan arah.
Namun, pendekatan dalam mengajarkan dasar akuntansi kini juga harus beradaptasi. Misalnya, mahasiswa dapat diajarkan bagaimana prinsip-prinsip ini diintegrasikan ke dalam perangkat lunak berbasis digital. Dengan pendekatan yang relevan ini, mahasiswa tidak hanya memahami teori tetapi juga penggunaannya di dunia nyata. Dengan kata lain, dasar akuntansi tetap diajarkan, tetapi dalam format yang lebih aplikatif dan sesuai dengan kebutuhan era digital.
ADVERTISEMENT
Di era digital, pendidikan akuntansi tidak lagi bisa hanya berfokus pada teori atau praktik manual. Kurikulum harus mencakup pengenalan teknologi modern yang menjadi standar dalam dunia kerja. Salah satu langkah penting adalah pengajaran perangkat lunak akuntansi berbasis cloud. Perangkat lunak seperti Xero, QuickBooks Online, dan SAP sudah menjadi kebutuhan utama di banyak perusahaan. Pengajaran ini melibatkan simulasi dunia kerja nyata, di mana mahasiswa diajarkan cara mengelola transaksi keuangan, membuat laporan otomatis, hingga menganalisis data secara real-time menggunakan perangkat lunak tersebut.
Selain itu, pelatihan keterampilan analitik juga menjadi aspek penting. Mahasiswa harus dilatih untuk menganalisis dan mengelola data besar menggunakan alat seperti Excel tingkat lanjut, Power BI, atau Python. Ini relevan karena perusahaan kini semakin membutuhkan akuntan yang tidak hanya mampu mencatat transaksi tetapi juga dapat memberikan wawasan strategis berdasarkan data. Dengan pelatihan ini, mahasiswa akuntansi tidak hanya siap bekerja, tetapi juga memiliki kemampuan yang membuat mereka unggul di pasar tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Selain pendidikan formal, sertifikasi profesional menjadi nilai tambah yang signifikan bagi lulusan akuntansi di era digital. Sertifikasi seperti CPA (Certified Public Accountant), CMA (Certified Management Accountant), dan CISA (Certified Information Systems Auditor) menjadi bukti kompetensi yang diakui secara global. Sertifikasi ini menunjukkan bahwa seorang profesional memiliki keahlian mendalam tidak hanya dalam akuntansi tradisional tetapi juga dalam teknologi yang mendukungnya. Misalnya, CPA kini mencakup materi tentang audit digital, penggunaan perangkat lunak akuntansi berbasis teknologi, hingga pengelolaan risiko keamanan data. Memiliki sertifikasi semacam ini, lulusan akuntansi tidak hanya lebih kompetitif di pasar kerja, tetapi juga dianggap mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, integrasi antara pendidikan formal dan persiapan untuk sertifikasi profesional menjadi hal yang sangat penting dalam mencetak akuntan yang siap menghadapi tantangan era digital.
ADVERTISEMENT
Penutup
Kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% pada tahun 2025 merupakan langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dalam menghadapi tantangan fiskal yang semakin kompleks. Meskipun memiliki potensi besar untuk mendukung pembangunan nasional, kebijakan ini juga membawa tantangan yang signifikan, terutama bagi kaum menengah ke atas yang menjadi salah satu kelompok konsumen terbesar. Dampaknya tidak hanya terbatas pada pola konsumsi individu, tetapi juga dapat memengaruhi sektor-sektor ekonomi tertentu yang bergantung pada daya beli kelompok ini.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini perlu dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari efek negatif yang berlebihan, seperti penurunan daya beli yang drastis atau inflasi yang tidak terkendali. Melalui pengelolaan yang tepat, kenaikan PPN dapat memberikan manfaat nyata bagi pembangunan ekonomi tanpa memberikan beban yang terlalu besar pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Hajatina, H., & Hasanah, U. (2024). Analisis Dampak Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap Perilaku Konsumsi Dan Kesejahteraan Masyarakat Di Indonesia. JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS, 3(2), 36-51.
Kwan, M. C., & Sarjono, B. (2024). Dampak Kenaikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai Pada Perilaku Konsumen di Indonesia. Jurnal Adijaya Multidisplin, 2(03), 338-348.
Ricardo, M., & Tambunan, M. R. (2024). Tantangan dan Strategi Penerapan Kebijakan Tarif PPN 12%. Journal of Economic, Bussines and Accounting (COSTING), 7(5), 2114-2128.
Putri, I. M. (2024). Kenaikan Ppn 12% Dan Dampaknya Terhadap Eknomi. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA), 8(2), 934-944.