Aksi Kamisan Hari Oligarki dan G30S/TWK Menjadi Simbol Represifitas Aparat?

Muhammad Sidiq Pamungkas
Seorang Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro yang tertarik kepada Isu Hak Asasi Manusia, Isu Sosial Kemasyarakatan, Isu Lingkungan, dan Isu Kesehatan.
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2021 13:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Sidiq Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Aksi Simbolik Peringatan Hari Oligarki dan G30S/TWK

Aksi Peringatan Hari Oligarki dan G30S/TWK, Foto : Foto Pribadi Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Peringatan Hari Oligarki dan G30S/TWK, Foto : Foto Pribadi Penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Semarang, 30 September 2021 menjadi sebuah hari peringatan terhadap tragedi nasional yang memberikan dampak besar bagi negara Indonesia. Mahasiswa beserta Organisasi non Pemerintah melakukan sebuah aksi peringatan Hari Oligarki dan G30S/TWK di Gubernuran Jawa Tengah yang berakhir dengan ricuh.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya telah dilakukan konsolidasi mengenai bentuk aksi yang akan dilakukan di gubernuran. Pada saat itu telah disepakati bahwa aksi akan dilakukan secara damai dengan berbagai bentuk kegiatan yaitu orasi, musikalisasi puisi, dan aksi teatrikal.
Aksi tersebut dilakukan mulai pukul 16.00 WIB dengan titik kumpul di Patung Kuda Pleburan. Dari titik kumpul dilakukan longmarch hingga ke titik aksi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah. Pada saat di depan kantor gubernur Jawa Tengah massa aksi tidak menghadap ke kantor gubernur akan tetapi menghadap ke jalan, hal tersebut dilakukan karena massa aksi yakin jika menghadap ke depan kantor gubernur Jawa Tengah tidak akan ada hasilnya karena beberapa aksi yang telah dilakukan sebelumnya juga tidak mendapat respons yang sesuai keinginan massa aksi. Sehingga massa aksi lebih memilih menghadap ke jalan dan memberikan informasi kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pada aksi ini massa aksi melakukan orasi dan musikalisasi puisi. Terlihat massa aksi dengan damai duduk dengan tetap mematuhi protokol kesehatan sembari membentangkan poster-poster tuntutan. Sekitar 17.45, sesaat sebelum aksi teatrikal dimulai, aparat kepolisian keluar dari gerbang kantor Gubernur dan memaksa massa aksi untuk bubar dengan alasan sudah lewat waktu yang ditetapkan undang-undang. Pada pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, mewajibkan anggota polisi untuk "berkoordinasi" dengan koordinator aksi.
Akan tetapi pada saat itu tiba-tiba beberapa personel polisi langsung lari dan mengejar beberapa orang massa aksi. Akhirnya aksi pun berakhir dengan ricuh, massa aksi berlarian kembali ke titik kumpul. Pada saat dilakukan pengejaran oleh beberapa personel polisi, tercatat 7 orang massa aksi mendapatkan tindakan represif serta intimidasi dari aparat. Salah satu pendamping masa aksi dari LBH Semarang diserang dengan pukulan pada wajah, rahang, pelipis dan tendangan kondisi tangan melepuh dan wajah lebam. Dalam kejadian tersebut, satu orang mahasiswa sempat diangkut oleh aparat kepolisian.
ADVERTISEMENT
Diambil dari pers rilis yang telah dikeluarkan, berikut daftar nama yang mengalami tindakan represif:
1. G -- Mahasiswa Undip: dipiting, dibawa ke truk, ditanya dengan membentak-bentak (nama alamat, tahu agama terus, tahu azan salat nggak), dan disiram dari belakang;
2. NC -- Walhi Jawa Tengah: dipukul bagian mulut dan pelipis sampai berdarah, dipukul di bagian perut sebelah kanan, dipukul bagian kepala hingga pusing-pusing
3. RH -- Mahasiswa Undip): dipiting, dibanting
4. MS -- LPM hayam wuruk: intimidasi (ditanya kenapa merekam)
5. BG -- Mahasiswa Undip): intimidasi oleh polisi
6. G -- Mahasiswa Undip: disikut
7. CG -- PBH LBH Semarang : dijambak, dipiting, dicakar, dibanting, dikejar-kejar