Gara-Gara Ginting, Raket itu Kini Tak Lagi Berdebu

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
17 September 2021 13:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari pixabay
ADVERTISEMENT
Sepasang raket bulutangkis itu sudah cukup lama teronggok pasrah di gudang. Warna hijau lumutnya yang dulu mengkilat pun sudah hampir pudar, menyatu dengan lapisan debu tipis yang bertahun-tahun menyelimutinya.
ADVERTISEMENT
Raket itu memang sudah terlalu lama tersia-sia. Awal kedatangannya ke rumah ini sejak tahun 2017 ketika Jonathan Christie menyumbangkan medali emas tunggal putra SEA Games di Kuala Lumpur. Raket itu dibeli karena Tristan ingin sekali bisa bermain bulutangkis seperti atlet idolanya. Kedatangan raket itu pun disambut dengan penuh gairah pada awalnya. Tak ada cerita raket itu berkenalan dengan debu di gudang belakang. Kalaupun berselimut debu, paling hanya ada debu yang berasal dari lapangan tempat ia dimainkan setiap hari.
Namun seiring waktu berlalu, semangat untuk mengayunkan raket itu ternyata semakin layu. Tristan lebih sering meringkuk di sofa bersama gadgetnya. Raket itu kemudian menjadi semakin jarang menantang langit dan hanya bisa terbatuk-batuk menahan debu di gudang belakang bersama tumpukan koran bekas dan barang-barang lama.
ADVERTISEMENT
Sedih sekali melihatnya kuyu, bertindihan dengan barang lain yang semakin lama semakin menumpuk.
Hingga suatu hari di tengah pesta olahraga terbesar di dunia yang diselenggarakan tanpa penonton di Tokyo, usai menyaksikan pertandingan semi final tunggal putra cabang olah raga bulu tangkis Olimpiade Tokyo di televisi, Tristan teringat raket lamanya.
Seiring perjuangan Anthony Ginting yang tertatih-tatih meraih medali perunggu tunggal putra, raket itu kembali menyalakan semangatnya. Rupanya melihat perjuangan Ginting membela Indonesia memantikkan kembali keinginan untuk bermain bulutangkis.
Tristan, anak laki-laki berusia tujuh tahun itu nampak girang menemukan raket lamanya. Sambil berjingkat karena tingginya yang belum mencapai satu setengah meter, ditariknya raket itu dengan kuat hingga menyemburkan hujan debu di sekelilingnya.
ADVERTISEMENT
“Waduh, pelan-pelan nariknya..” Chelsea, sang kakak segera sibuk menebah-nebah hujan debu itu. Keduanya lantas berlari ke lapangan depan rumah, Masing-masing dengan sebatang raket di tangan.
“Aku mau smash kayak Ginting….” teriak Tristan sambil mengayunkan raketnya.
“Jojo saja.” Sahut kakaknya pendek. Rupanya keduanya mengidolakan atlet yang berbeda. Mengapa bukan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu yang dijadikan panutan, sebagai peraih medali emas olimpiade? Tentu setiap orang punya alasan tersendiri memilih idolanya.
Permainan bulu tangkis di lapangan depan rumah masih berlangsung seru. Keduanya bergantian melakukan smash dan service over. Walaupun semangat mereka bermain bulutangkis termasuk musim-musiman, tergantung prestasi atlet Indonesia yang menjadi idolanya, namun tak mengurangi kegembiraan di wajah mereka. Olahraga memang memiliki efek menambah kegembiraan.
ADVERTISEMENT
Hari Olahraga Nasional (Haornas) yang diperingati setiap tanggal 9 September sebenarnya bisa juga dijadikan pemantik untuk menciptakan momentum menyalakan kembali semangat berolah raga. Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, dimana kebutuhan berolah fisik menjadi prioritas, demi badan yang bugar dan imun yang kuat.
Bila semangat olah raga sudah menyala, maka raket bulutangkis pun tak akan sempat lagi menyelimuti dirinya dengan debu…
***
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"