Memahami Du Sik, Karakter Absurd di Hometown Cha-cha-cha yang Sarat Kebaikan

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
16 September 2021 12:45 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Du Sik (dokumen: TVN)
zoom-in-whitePerbesar
Du Sik (dokumen: TVN)
ADVERTISEMENT
Selalu sigap menolong orang, ahli dalam hampir semua bidang namun hanya bekerja serabutan dan bersedia menerima upah minimal adalah karakter hampir absurd yang menggambarkan Du Sik dalam Hometown Cha-cha-cha, drakor ongoing sejuta umat yang saat ini sedang tayang di Netflix.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak absurd? Di era disrupsi industri sekarang ini, masih ada orang dengan segudang keahlian yang mestinya jadi rebutan HRD di semua perusahaan demi menciptakan struktur tenaga kerja yang semakin efisien, justru tak punya pekerjaan tetap? Bukankah itu yang namanya menyia-nyiakan bakat? Apalagi bersedia dibayar dengan upah minimal...
Seandainya saya adalah HRD perusahaan start up yang baru merintis usaha, dengan keterbatasan dana namun mengharapkan kinerja berkualitas tinggi, mendapatkan karyawan seperti Du Sik adalah prestasi tersendiri.
Meskipun absurd, karakter semacam Du Sik itu ternyata benar-benar ada di dunia nyata. Bapak saya adalah salah satu dari sedikit orang yang berkarakter mirip Du Sik, bukan dalam hal tampang ya, karena kalau dilihat tampangnya jelas Bapak saya masih lebih ganteng daripada Du Sik. Dilarang protes, karena ganteng dan tidaknya seseorang itu relatif. Kalau jelek, nah itu baru mutlak.
Bapak (dokumen pribadi)
“Hidup tak selalu adil bagi semua orang. Ada orang yang jalannya penuh lubang dan tidak mulus. Ada juga orang yang berlari sekuat tenaga, lalu menemui jurang di ujung jalannya," kalimat Du Sik itu pun tepat sekali menggambarkan Bapak saya yang pada waktu muda hidupnya tak pernah mudah.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil saya terbiasa melihat Bapak bekerja serabutan. Membuat perhiasan dari emas, menjadi tukang bangunan, hingga menjaga wartel (benar, wartel alias warung telekomunikasi, bukan warnet. Ingat ya, ini cerita pada jaman Bapak saya muda, waktu telepon umum masih langka dan handphone belum ada). Ketiganya bisa dibilang jenis pekerjaan yang tidak nyambung alias membutuhkan keahlian yang berbeda-beda.
Menjadi tukang emas jelas membutuhkan ketelitian tinggi. Memanaskan lempengan emas dan membentuknya menjadi perhiasan yang serba mungil itu juga bukan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan semua orang tanpa keahlian khusus. Menjadi tukang bangunan pun tidak bisa dilakukan sembarang orang tanpa pelatihan. Bapak saya bisa melakukan keduanya dengan sama baiknya.
Namun bukan itu saja profesi Bapak. Menjadi buruh cetak belerang, pedagang buah-buahan hingga kondektur bus antar kota pun pernah dijalaninya. Saya sendiri tidak tahu persis berapa sebenarnya jenis profesi yang pernah digeluti Bapak sejak masa mudanya. Mungkin malah lebih banyak dari profesi Du Sik.
ADVERTISEMENT
Seperti ayah saya, Du Sik juga bekerja serabutan. Menjadi petugas di pelelangan ikan, makelar penyewaan gedung, hingga tukang pos hanyalah sebagian dari profesi yang dijalaninya. Terkadang ia juga menjadi barista, fotografer atau petugas keamanan. Hebatnya, dari seluruh profesi itu Du Sik hanya meminta pembayaran sebesar upah minimum.
Seandainya Indonesia punya banyak orang berkarakter seperti Du Sik, dijamin Indonesia lebih cepat maju. Korporasi bisa melakukan efisiensi dalam hal anggaran tenaga kerja namun tetap mendapatkan hasil kerja memuaskan.
Sayangnya di negara ini yang terjadi justru sebaliknya. Banyak tenaga kerja yang hanya memiliki sedikit keahlian, bahkan terkadang tanpa keahlian sama sekali namun tetap ingin dibayar mahal. Sungguh jauh berbeda dengan karakter Du Sik.
ADVERTISEMENT
Tapi menjadi seperti Du Sik pasti sangat melelahkan. Bapak saya yang memiliki banyak keahlian dan sangat sering berganti-ganti pekerjaan seperti Du Sik malah menyuruh saya supaya tidak mengikuti jejaknya.
Lebih baik menjadi spesialis atau benar-benar ahli dalam satu bidang saja daripada menjadi ahli dalam semua bidang namun dengan tingkat keahlian rata-rata, supaya tidak menjadi pekerja serabutan seperti Du Sik.
Kebaikan hati Du Sik yang hanya meminta upah minimal untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya mungkin memang hanya terjadi dalam drama. Namun tak ada salahnya untuk terus berbuat baik, karena kebaikan itu menular.