Menghormati Pilihan Orang Lain Adalah Bentuk Lain dari Kebaikan Hati

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
Konten dari Pengguna
19 September 2021 6:05 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keberagaman (sumber: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keberagaman (sumber: pixabay)
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu gaya hidup childless sempat ramai diperbincangkan di berbagai lini media sosial. Pemicunya tentu karena statement kontroversial dari seorang Chef yang memang memiliki banyak penggemar.
ADVERTISEMENT
Namun saya tidak ingin berkomentar tentang pandangan hidup yang satu ini, karena dari lingkaran pertemanan terdekat saya ada juga teman yang menganut paham yang sama.
Meskipun tak ada yang salah dengan pilihan jalan hidup ini, tak urung teman saya tahun ini dibuat jengah setiap mendapat pertanyaan, “kapan punya anak?” Ia memang telah delapan tahun menikah dan sampai hari ini hanya hidup berdua saja tanpa kehadiran buah hati.
Apakah masyarakat Indonesia memang selalu usil dengan urusan pribadi orang lain dan berkedok layaknya makhluk sosial yang memiliki empati tingkat tinggi? Untuk apa menanyakan sesuatu yang tidak ingin didengar orang lain?
Ketika teman saya menjelaskan bahwa dia memang tidak ingin punya anak, reaksi tidak menyenangkan dan tatapan mata tak percaya selalu didapatkannya dari orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Reaksi ini menyiratkan secara terang-terangan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia memang belum siap menerima pandangan hidup yang berbeda dari dirinya. Apakah kebinekaan Indonesia memang belum mengepakkan sayapnya dengan sempurna?
Mestinya keberagaman adalah bagian tak terpisahkan dari negara kepulauan kita. Bukankah justru menjadi aneh bila kita memiliki pandangan hidup yang seragam? Seandainya semua orang Indonesia ingin memiliki banyak anak, misalnya, bukankah akan terjadi ledakan demografi yang justru akan menyusahkan pemerintah?
Lebih runyam lagi bila perbedaan pandangan yang menyangkut materi yang sensitif seperti issue agama, suku, ras, dan antar golongan juga turut diperdebatkan.
Saya sendiri selalu menyimpan jawaban jitu dalam hati bila ada yang mempertanyakan kepercayaan yang saya anut. Apakah orang yang merasa agamanya lebih benar dari kepercayaan saya itu sudah pernah mati kemudian hidup lagi? Bila memang demikian, saya tentu percaya kepadanya karena dia pasti lebih mengetahui kebenaran yang hakiki tentang kehidupan dan kematian yang menjadi dasar dari semua agama di dunia.
ADVERTISEMENT
Sayangnya semua orang yang menyatakan agamanya paling benar ternyata belum pernah mati sehingga sampai hari ini kebenaran yang hakiki itu masih menjadi misteri.
Meskipun belum jamak, tak ada salahnya kita memulai dari diri kita untuk menghormati pendapat orang lain karena pada hakikatnya, toleransi adalah bentuk lain dari kebaikan hati.
Bukankah menyenangkan mendapat stigma sebagai orang baik hanya dengan menghormati pilihan orang lain?
Dan karena kebaikan itu menular, bukankah dengan terus berbuat baik maka negara yang toleran dapat segera terwujud di Indonesia?