Konten dari Pengguna

Olahraga Disabilitas dan Komitmen Kesetaraan untuk Leani Ratri Oktila

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
18 September 2021 18:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi atlet difabel (sumber: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi atlet difabel (sumber: pixabay)
ADVERTISEMENT
Ketika atlet peraih medali Olimpiade Tokyo beberapa waktu yang lalu mendapat apresiasi khusus dari pemerintah, diundang ke istana negara, bertemu dengan presiden dan mendapatkan berbagai hadiah, sebenarnya saya menanti dengan harap-harap cemas apakah pemerintah akan memperlakukan atlet Paralimpiade dengan apresiasi yang sama?
ADVERTISEMENT
Paralimpiade yang juga berlangsung di Tokyo tak lama setelah berakhirnya Olimpiade memang tidak sepopuler ajang olah raga yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1896 itu. Paralimpiade sendiri baru berlangsung mulai tahun 1960 .
Pada awalnya Paralimpiade diadakan sebagai cara untuk membantu memulihkan tentara yang telah terluka dalam Perang Dunia II. Demi mendukung proses rehabilitasi bagi para veteran yang menadi cacat akibat perang, diselenggarakanlah ajang olahraga rekreasi dengan persaingan yang bersahabat sebelum akhirnya berkembang menjadi Paralimpiade seperti sekarang. Paralimpiade pertama dihadiri oleh 400 atlet difabel dari 23 negara yang turut berpartisipasi.
Bukan rahasia lagi bila ada kesenjangan dana yang besar dan perbedaan perlakuan antara atlet Olimpiade dan Paralimpiade, sehingga para atlet Paralimpiade berusaha untuk mendapatkan perlakuan yang setara dengan atlet Olimpiade.
ADVERTISEMENT
Kabar baik dari pemerintah Indonesia, atlet-atlet Paralimpiade pada saat ini telah mendapatkan perhatian lebih dari sebelumnya.
Tak hanya atlet Olimpiade, atlet difabel yang berprestasi pun seusai berlaga di Paralimpiade Tokyo juga diundang Presiden di Istana Kepresidenan Bogor untuk memperoleh penghargaan dan apresiasi yang sama dengan atlet non cacat peraih medali yang sebelumnya dielu-elukan.
Tak kalah dengan atlet Olimpiade, dalam hal prestasi atlet-atlet penyandang disabilitas bahkan telah menyumbangkan prestasi yang jauh lebih baik daripada hasil pertandingan di ajang yang sama sebelumnya.
Pada Paralimpiade Rio de Janeiro tahun 2016 Indonesia hanya membawa pulang satu perunggu dan membawa Merah Putih di urutan ke-76, sedangkan pada pertandingan Paralimpiade Tokyo atlet difabel Indonesia telah berhasil memperbaiki peringkat Indonesia menjadi peringkat ke-43 dunia dengan keberhasilan para atlet penyandang disabilitas itu meraih 2 emas, 3 perak dan 4 perunggu.
ADVERTISEMENT
Bila dibandingkan dengan prestasi atlet non-difabel yang justru mengalami penurunan peroleh medali menjadi 1 emas, 1 perak dan 3 perunggu yang membawa Indonesia menduduki peringkat ke-55 dunia pada Olimpiade Tokyo setelah sebelumnya berada di peringkat ke-46 dunia dengan perolehan 1 medali emas dan 2 perak.
Atlet para-bulu tangkis, Leani Ratri Oktila, bertemu Kadispora Jateng Sinoeng Nugroho, di Solo, Jawa Tengah. Foto: Dok. Istimewa
Prestasi atlet difabel dalam Paralimpiade Tokyo tak lepas dari peran Leani Ratri Oktila sang penyumbang 3 medali dari total perolehan 9 medali. Leani memenangkan 2 medali emas dari cabang olah raga bulutangkis ganda putri dan ganda campuran serta 1 medali perak dari tunggal putri.
Pada awalnya Leani adalah atlet normal yang mulai bermain bulu tangkis sejak usia 8 tahun, namun ia mengalami kecelakaan sepeda motor yang menyebabkan kakinya patah. Tak dapat dihindari, untuk menjadi pulih dari cedera tersebut, ia harus merelakan kaki kirinya menjadi tujuh sentimeter lebih pendek dari kaki kanannya .
ADVERTISEMENT
Kemalangan memang tak harus disesali. Leani yang bangkit dari keterpurukan justru berhasil menorehkan prestasi dan membuat sejarah baru perolehan medali terbanyak atas namanya di ajang kompetisi olahraga tingkat dunia.
Memang sudah selayaknya bila pemerintah memberikan apresiasi yang sama sebagai komitmen kesetaraan atas prestasi atlet difabel, mengingat perjuangan mereka yang sebenarnya jauh lebih berat dari pada atlet non cacat.
Leani yang selama ini tidak hanya berjuang menjadi atlet berprestasi namun juga berjuang menerima dirinya yang cacat kaki, tentu layak mendapat kesetaraan apresiasi.
***
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"
"Kuis kumparan:"ATLET INDONESIA YANG JADI IDOLAMU”"