Konten dari Pengguna

Visualisasi Karya Sastra yang Memantik Asa

Margaretha Lina Prabawanti
Pengajar di Sekolah Tinggi Manajemen dan Risiko Asuransi
19 September 2021 11:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Margaretha Lina Prabawanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Film Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntans  (dokumen: Palari Film)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Film Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntans (dokumen: Palari Film)
ADVERTISEMENT
Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntas. Dari judul bukunya saja sudah terdengar mengintimidasi. Buku ini adalah salah satu buku karya Eka Kurniawan yang menjadi favorit saya.
ADVERTISEMENT
Sesuai judulnya, isi buku ini bisa dibilang kontroversial, terutama bagi saya dengan isi kepala yang sedikit konservatif ini. Kisah yang ber-setting waktu puncak rezim yang penuh kekerasan, berawal dari satu peristiwa brutal: dua orang polisi merudapaksa seorang perempuan gila, dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela.
Kisah ini kemudian mengalir pada kejadian lain: seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.
Visualisasi karya sastra adalah hal yang rumit, namun bisa sangat menarik. Edwin, sang sutradara telah menggarapnya dengan apik, dengan kepekaannya mengekplorasi isu sensitif tentang feminitas dan maskulinitas dalam balutan dunia yang serba keras.
ADVERTISEMENT
Tentunya layak bila film ini kemudian mendapat ganjaran penghargaan tertinggi Golden Leopard pada malam puncak Locarno Film Festival di Swiss belum lama berselang.
Meraih prestasi di tengah pandemi adalah sesuatu yang extraordinary. Pada saat yang lain tengah berjuang hanya untuk bisa bertahan, sineas Indonesia ternyata masih mampu berkompetisi di tingkat dunia, bahkan menyabet penghargaan tertinggi. Sebuah prestasi, apa pun bentuknya, memang selalu membangkitkan optimisme. Memantik energi positif.
Sebagai penggemar film sekaligus penikmat karya sastra, menyaksikan visualisasi buku ini adalah hal yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa haru yang menyelinap diam-diam. Ada rasa puas bisa melihat tokoh-tokoh imajinatif itu, seakan mereka keluar dari bilik pikiran kita yang sempit.
Setiap karya sastra selalu memberikan bahan permenungan. Namun merenungi tokoh khayalan Eka Kurnia dalam ‘Seperti Dendam, Rindu Juga Harus Dibayar Tuntas’ membutuhkan banyak ruang. Pikiran yang terbuka untuk mengungkap metafora yang disajikan sangat diperlukan. Bila tidak, kita hanya akan terjebak menafsirkannya secara vulgar.
ADVERTISEMENT
Visualisasi karya sastra yang satu ini semestinya bisa menuntun kita kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia Ajo Kawir yang tidak takut mati tetapi menyimpan rahasia yang sifatnya sangat pribadi.
Keindahan prosa dan universalitas materi yang disajikan Eka Kurniawan dalam bukunya mungkin saja berselisih persepsi dengan imajinasi yang terlanjur terbentuk dalam benak kita.
Sampul buku Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (dokumen pribadi)
Bagaimanapun juga, visualisasi karya sastra yang satu ini tetap layak untuk ditunggu. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang diterjemahkan menjadi Vengeance is Mine All Others Pay Cash sebagai film Indonesia pertama yang memenangkan top prize dari salah satu festival film internasional terbesar itu memang telah berhasil memantik asa.
Semoga prestasi ini tidak menjadi satu-satunya prestasi, tetapi diikuti dengan beragam prestasi lainnya hasil kolaborasi sastrawan dan sineas Indonesia
ADVERTISEMENT