Konten dari Pengguna

Tantangan Twitter dalam Menghadapi Misinformasi

Khairunnisa Karimah
Hallo nama saya Khairunnisa Karimah biasa dipanggil Nisa, saya disini masih mahasiswi yang profesi atau jurusan ilmu komunikasi
24 Oktober 2024 8:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khairunnisa Karimah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Sanket  Mishra dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pemandangan-lanskap-lansekap-mengikuti-17894356/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Sanket Mishra dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pemandangan-lanskap-lansekap-mengikuti-17894356/
ADVERTISEMENT
Twitter adalah salah satu platform media sosial terbesar di dunia dengan pengguna aktif mencapai ratusan juta setiap bulannya. Dengan karakteristik pesan singkat dan penyebaran cepat, Twitter telah menjadi media utama dalam berbagi informasi. Namun, kecepatan dan kemudahan penyebaran ini juga menjadikannya rentan terhadap penyebaran misinformasi. Di era digital saat ini, penyebaran yang tidak akurat dapat berdampak serius, mulai dari terbentuknya opini publik yang keliru hingga pengambilan keputusan politik yang salah.
ADVERTISEMENT
Misinformasi di Era Digital Misinformasi adalah informasi yang salah atau yang beredar tanpa adanya niat jahat. Dalam konteks digital, misinformasi sering kali diperkuat oleh algoritma platform media sosial yang memprioritaskan konten berdasarkan keterlibatan pengguna, bukan keakuratan. Menurut teori Filter Bubble yang dikemukakan oleh Eli Pariser (2011), algoritma media sosial cenderung menciptakan "gelembung" informasi di mana pengguna hanya menerima informasi yang mendukung tampilan mereka. Hal ini memperparah penyebaran misinformasi karena pengguna sering kali tidak terpapar pada informasi yang beragam atau bertentangan dengan keyakinan mereka. Menurut Cognitive Dissonance Theory oleh Leon Festinger (1957), orang cenderung mencari dan mempercayai informasi yang konsisten dengan keyakinan mereka, dan mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan. Twitter, dengan kemampuan retweet yang memungkinkan penyebaran cepat, memperkuat tren ini. Misinformasi dapat menyebar lebih cepat daripada klarifikasinya, karena orang lebih mungkin membagikan konten yang menarik atau mengejutkan, meskipun isinya tidak benar. Tantangan Twitter dalam Menghadapi Misinformasi • Kecepatan Penyebaran Informasi Twitter memungkinkan informasi menyebar dalam hitungan detik, dan ini menjadi tantangan besar ketika informasi yang disebarkan tidak akurat. Penelitian dari Vosoughi, Roy, dan Aral (2018) menemukan bahwa berita palsu (hoaks) menyebar lebih cepat daripada berita benar di Twitter. Konten yang sensasional atau emosional cenderung mendapatkan perhatian lebih besar, yang mempercepat penyebarannya. • Kurangnya Mekanisme Verifikasi Cepat Twitter telah memperkenalkan fitur-fitur seperti "pemeriksaan fakta" dan peringatan label pada tweet yang dianggap misinformasi, tetapi efektivitasnya masih diteliti. Seperti yang diungkapkan oleh Claire Wardle, seorang ahli misinformasi dari First Draft, “Verifikasi membutuhkan waktu, tetapi misinformasi bergerak dengan kecepatan yang sangat cepat, menciptakan ketidaksesuaian waktu yang seringkali mempengaruhi bagaimana pengguna mengonsumsi informasi.” • Anonimitas dan Bot Anonimitas di Twitter memberikan ruang bagi pengguna untuk menyebarkan misinformasi tanpa rasa takut akan konsekuensinya. Selain itu, penggunaan bot yang diotomatisasi untuk menyebarkan informasi secara massal juga menjadi masalah. Menurut laporan dari Pew Research Center (2018), bot Twitter berkontribusi besar terhadap penyebaran informasi, baik yang benar maupun salah. Bot dapat memperbanyak penyebaran misinformasi tweet dengan cepat, menciptakan ilusi bahwa informasi tersebut telah divalidasi oleh banyak orang. Solusi untuk Mengatasi Misinformasi di Twitter • Peningkatan Algoritma untuk Prioritaskan Kredibilitas Salah satu solusi yang diusulkan oleh para ahli adalah meningkatkan algoritma Twitter agar tidak hanya mempertimbangkan keterlibatan pengguna, tetapi juga keakuratan dan kredibilitas sumber. Hal ini dapat dilakukan melalui kolaborasi bersama lembaga pemeriksa fakta atau pihak ketiga yang dapat menilai kebenaran informasi sebelum menjadi viral. • Pendidikan Literasi Digital Literasi digital adalah kemampuan untuk menilai dan memverifikasi informasi secara kritis. Menurut Howard Rheingold, seorang pakar literasi digital, "Kunci untuk melawan misinformasi adalah meningkatkan literasi masyarakat digital, sehingga mereka dapat mengenali berita palsu dan bias dalam media." Twitter dapat memulai dengan lembaga pendidikan atau organisasi nirlaba untuk menyebarkan program literasi digital yang menyasar pengguna dari segala usia. • Penggunaan Teknologi AI untuk Mendeteksi Misinformasi Twitter dapat mengembangkan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) yang lebih canggih untuk mendeteksi dan menandai misinformasi secara otomatis. Dengan menggunakan teknik penerjemahan bahasa alami (Natural Language Processing) dan analisis data, AI dapat mengenali pola misinformasi dan mengurangi penyebarannya sebelum menjadi viral. • Peningkatan Transparansi dan Tanggung Jawab Platform Untuk mengatasi masalah anonimitas, Twitter dapat meningkatkan transparansi terkait akun-akun yang terverifikasi dan memperketat aturan terkait bot. Menurut Cass Sunstein, dalam bukunya #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media (2017), salah satu cara untuk mengurangi dampak misinformasi adalah dengan meningkatkan transparansi algoritma dan melakukan moderasi di platform media sosial. Kesimpulan Twitter memegang peran penting dalam ekosistem informasi di era digital, namun juga membawa ancaman serius terkait misinformasi. Dengan karakteristiknya yang cepat dan luas, misinformasi di Twitter dapat menyebar dengan sangat cepat dan sulit dikendalikan. Meskipun beberapa solusi telah diusulkan, seperti penggunaan AI, peningkatan literasi digital, dan peningkatan transparansi platform, peran pengguna juga sangat penting dalam memerangi misinformasi. Twitter dan platform lainnya harus terus berinovasi dalam menghadapi tantangan ini, agar dapat menciptakan ruang digital yang lebih aman dan informatif bagi penggunanya
ADVERTISEMENT