Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Dari Rakyat, oleh Rakyat, tapi untuk Keluarga?
11 Maret 2025 9:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Khusnul Padilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Demokrasi seharusnya menjadi sistem yang memberi kesempatan bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Prinsip "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" menjadi landasan yang menjamin keterwakilan dan keadilan dalam pengelolaan negara. Namun, realitas di Indonesia semakin jauh dari idealisme itu. Alih-alih berpihak pada rakyat, demokrasi kita semakin dikuasai oleh segelintir keluarga yang membangun dinasti politik.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukan sekadar teori konspirasi, tetapi kenyataan yang terus berulang di berbagai daerah. Jabatan-jabatan publik yang seharusnya diperebutkan secara kompetitif malah diwariskan dari orang tua ke anak, dari suami ke istri, atau dari kerabat ke kerabat. Pemilu yang semestinya menjadi ajang seleksi pemimpin terbaik justru berubah menjadi formalitas belaka, di mana kandidat yang diusung bukan ditentukan oleh kualitas, melainkan oleh garis keturunan dan hubungan kekeluargaan.
Mengapa Dinasti Politik Berbahaya?
Dinasti politik bukan sekadar persoalan nepotisme, tetapi juga mengancam esensi demokrasi. Pertama, sistem ini mempersempit peluang bagi individu-individu berkualitas yang tidak memiliki latar belakang keluarga politik. Orang-orang dengan gagasan segar dan visi baru sulit bersaing dengan calon dari keluarga yang sudah memiliki akses kekuasaan dan sumber daya. Akibatnya, regenerasi kepemimpinan menjadi terhambat, dan masyarakat terus-menerus diperintah oleh wajah-wajah lama dengan pola kepemimpinan yang sama.
ADVERTISEMENT
Kedua, dinasti politik meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Ketika kekuasaan hanya berputar dalam lingkaran keluarga, akuntabilitas sering kali terabaikan. Keluarga yang memegang kendali pemerintahan cenderung lebih loyal kepada kepentingan mereka sendiri dibanding kepada rakyat yang memilih mereka. Banyak kasus korupsi besar yang melibatkan keluarga penguasa, menunjukkan bahwa kekuasaan yang tak terkendali mudah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Ketiga, dinasti politik merusak kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Ketika rakyat melihat bahwa pemilu hanya menghasilkan pemimpin dari kelompok yang sama, mereka kehilangan keyakinan bahwa suara mereka benar-benar berharga. Rasa frustrasi ini bisa berujung pada apatisme politik, atau bahkan ketidakstabilan sosial jika dibiarkan berlarut-larut.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan regulasi yang lebih ketat terkait pencalonan dalam pemilu. Undang-Undang Pemilu harus diperkuat untuk mencegah praktik dinasti politik yang merugikan demokrasi. Selain itu, partai politik harus lebih selektif dalam mengusung calon, dengan mengutamakan kualitas dan rekam jejak daripada sekadar hubungan darah.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, rakyat harus lebih kritis dan berani memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, bukan sekadar popularitas atau nama besar keluarganya. Kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat adalah benteng terakhir dalam melawan dominasi politik keluarga.
Demokrasi tidak boleh hanya menjadi slogan kosong. Jika kita benar-benar ingin mewujudkan pemerintahan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," maka kita harus berani menolak dominasi dinasti politik. Jika tidak, demokrasi kita hanya akan menjadi ilusi—di mana rakyat tetap memilih, tetapi yang berkuasa tetap keluarga yang sama.