Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial, Literasi Antar Generasi, dan Pemilu 2024
4 Januari 2024 11:35 WIB
Tulisan dari Septiyan Triwidodo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media sosial tidak hanya sebuah alat yang dapat digunakan untuk selalu terhubung antara individu satu dengan individu lainnya. Dalam konteks pemilu, media sosial memiliki peranan yang cukup penting sebagai alat yang dapat digunakan untuk kampanye khususnya dalam literasi politik dan informasi. Sebagai media digital yang memungkinkan penggunanya berinteraksi, hingga menciptakan konten, media sosial memiliki dampak yang sangat luas termasuk dalam hal interaksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
ADVERTISEMENT
Dengan perluasan kegunaan yang terjadi sekarang ini, media sosial menjadi bagian penting dalam pemilihan umum di banyak negara, termasuk di Indonesia. Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden dari berbagai partai berbondong-bondong memanfaatkan, dan berusaha menguasai media sosial dengan tujuan meraih massa sebanyak-banyaknya. Mereka mempromosikan diri mereka, membangun citra, dan memengaruhi opini publik.
Media selalu terhubung dengan literasi. Maka mari kita sebut penggabungan dua pengertian tersebut menjadi literasi media. Sederhananya, literasi media selalu berhubungan dengan masyarakat. Dia mempunyai kuasa untuk mengambil kontrol atas media. Dengan kata lain, literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi masyarakat ketika mereka menjumpai segala informasi yang ada di media. Masyarakat yang memiliki literasi media yang baik pasti juga mempunyai kemampuan dan kebebasan untuk mengakses dan menganalisis segala informasi di berbagai bentuk media. Kemampuan tersebut akan membantu masyarakat untuk memahami bagaimana media bekerja.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, literasi media pada setiap lini generasi memiliki perbedaan yang mencolok. Hal tersebut menimbulkan banyak permasalahan yang berbeda-beda. Rendahnya literasi media dapat menyebabkan keterbatasan dalam memahami informasi yang ditemukan di media sosial, sehingga mereka akan mudah terpengaruh oleh informasi hoaks.
Generasi Baby Boomer menjadi generasi yang paling rentan terhadap penyebaran informasi palsu atau hoaks. Mereka cenderung memiliki keterbatasan dalam memahami informasi yang ditemukan di media sosial, sehingga rentan terhadap informasi yang tidak valid. Hal ini dapat berdampak pada persepsi dan keputusan pemilih, terutama dalam konteks pemilu. Oleh karena itu, peningkatan literasi media di kalangan Baby Boomer menjadi sangat penting guna memastikan partisipasi pemilih yang cerdas dan informasi yang akurat terkait dengan proses pemilu.
Menurut data dari KPU, Baby Boomer dengan rentang usia antara 56-74 tahun dengan jumlah 28.127.340 orang di Indonesia merupakan pemilih aktif pada pemilu 2024 mendatang. Pada usia yang terbilang matang tersebut, tidak menjamin mereka mempunyai kedewasaan literasi media. Generasi mereka merupakan generasi yang terbelakang soal media sosial. Kebanyakan dari mereka mempunyai gawai hanya untuk menerima telepon dan sangat jarang memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk berbagi informasi politik.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kasus, Mbah Ras merupakan satu dari banyak Baby Boomer yang memiliki hak untuk memilih pada pemilu 2024. Mbah Ras berusia 71 tahun, dirinya bahkan tidak memiliki gawai pintar yang dapat digunakan untuk bermain media sosial. Dirinya mutlak hanya menerima berbagai isu-isu politik di acara berita televisi. Ketika di tanya soal pilihannya di pemilu nanti, dirinya menjawab pilihannya masih sama dengan apa yang dirinya pilih pada pemilihan sebelumnya. Dirinya mengaku tidak peduli dengan isu-isu negatif yang ada pada kandidat Capres-Cawapres. Menurut Mbah Ras, apa yang dirinya pilih tergantung dari partai mana Capres-Cawapres berasal.
Kebanyakan dari mereka hanya menerima informasi dari televisi, padahal saat ini banyak dari politisi yang memiliki media televisi sendiri dan memanfaatkannya menjadi alat untuk meningkatkan citra diri baik. Hal ini membuat Baby Boomer “akan sangat setia” terhadap partai politik pilihannya, Mbah Ras mengaku dirinya hanya menonton acara berita dari “kanal A” selama ini. Padahal channel tersebut dimiliki oleh tim pendukung dari salah satu kandidat. Secara kasat mata, setiap informasi yang ditayangkan oleh “kanal A” akan berisi hal-hal positif dari salah satu kandidat saja. Ketika pemilu, Baby Boomer memiliki kecenderungan memilih partainya dibanding memilih kandidat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dari Baby Boomer yang cenderung memiliki kepercayaan yang saklek terhadap pilihannya di pemilu. Generasi Milenial memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai Pemilu 2024. Mereka lahir pada tahun 1981 hingga 1996 dan dapat disimpulkan mereka sekarang berusia 24 sampai 39 tahun. Menurut KPU, Generasi X memiliki jumlah pemilih aktif untuk Pemilu 2024 hingga 68.822.389 orang. Mereka tumbuh dewasa di tengah perkembangan komputer, internet, dan video games, yang membentuk pola pikir yang tangguh dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang baik. Generasi Milenial memiliki literasi media yang cukup baik. Hampir semua dari mereka sudah memiliki gawai yang mendukung untuk mendukung literasi yang dibutuhkan di era sekarang. Dengan kematangan yang mereka punya secara umur, membuat mereka lebih kritis terhadap isu-isu politik yang beredar di masyarakat. Selain itu, dengan kematangan mereka secara mental dan psikologis semakin membuat segala sesuatu yang mereka lakukan merupakan hasil dari pemikiran panjang dan tak jarang selalu berhubungan dengan bidang pekerjaan mereka.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu saya berdiskusi dengan salah satu Generasi Milenial. Dari diskusi tersebut saya mendapati beberapa poin penting. Bagaimana media dan pemikiran logis yang mereka yakini dapat membentuk sebuah opini publik yang berkembang secara masif di bidang yang dirinya tekuni. Turyanto adalah seorang buruh pabrik yang bekerja di suatu perusahaan di kota industri Cikarang. Dirinya mengaku sudah menentukan pilihannya, namun dirinya mengaku tidak dapat memberikan jawaban secara kongkrit.
Generasi Milenial memiliki pemahaman yang lebih logis terhadap Pemilu 2024. Turyanto hidup di lingkungan pekerja, dirinya mengaku akan memilih pemimpin yang dapat menyejahterakan mereka. Turyanto tidak lagi memilih siapa yang berada di belakang Capres-Cawapres, dirinya lebih menekankan bagaimana latar belakang dan bukti kerja Capres-Cawapres di masa lampau. Dengan gempuran isu-isu politik yang pro dan kontra terhadap semua Capres-Cawapres, Turyanto mengaku tidak terlalu dipusingkan akan hal tersebut. Dirinya tetap membaca dan menerima isu-isu tersebut, namun dirinya menganggap bahwa informasi tersebut hanyalah sebatas bualan media belaka. Generasi Milenial hanya akan melihat Capres-Cawapres dari bagaimana mereka bekerja di jabatan sebelumnya. Mereka tidak terpengaruh oleh isu-isu politik yang ada di media, namun tidak berarti mereka tidak mengikuti perkembangan informasi yang ada.
ADVERTISEMENT
Memiliki usia termuda di antara semua generasi di Pemilu 2024, Gen Z lahir pada tahun 1997 sampai 2012 dan kini mereka berusia antara 8 hingga 23 tahun. Menurut KPU, Gen Z memiliki jumlah pemilih muda pemilu hingga 46.800.161 orang. Menjadi generasi yang hidup di mana teknologi memainkan peran yang besar di kehidupan sehari-hari. Gen Z hidup berdampingan dengan perkembangan inovasi teknologi yang secara tidak langsung telah membentuk cara pandang, perilaku, dan interaksi di kehidupan sosial mereka.
Berdikusi dengan Gen Z merupakan hal yang menyenangkan. Kami banyak membahas tentang bagaimana media memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter dan pola pikir di kalangan Gen Z. Mereka memiliki keunggulan dalam pemanfaatan teknologi seperti kemampuan untuk belajar secara online, hal ini membuat Gen Z memiliki literasi media yang baik. Literasi Media yang baik ternyata tidak selamanya membawa dampak yang baik pula.
Firmansyah, merupakan seorang mahasiswa semester akhir di suatu Universitas Swasta di Purwokerto. Dirinya adalah satu diantara banyak Gen Z di luar sana yang tahun ini memiliki hak untuk memilih di Pemilu 2024. Menurut penuturannya, dirinya mengaku bahwa media sekarang ini memiliki keterpihakan yang beragam. Ada media yang memang dari awal terang-terangan menjadi oposisi suatu partai atau bahkan sebaliknya, ada juga media yang tidak memilih untuk menjadi bagian dari suatu partai secara lebih halus.
ADVERTISEMENT
Dirinya mengaku setiap hari pasti mendapat isu-isu politik yang bertentangan dengan ideologinya, dan menganggap bahwa semua media memiliki orientasi pada iklan yang membayar mereka. Hal itu yang mendasari dirinya memilih untuk tetap pada pilihannya dan tidak menghiraukan bagaimana media memberikan isu-isu negatif dari suatu partai atau Capres-Cawapres. Firmansyah memiliki pilihan yang kuat bahwa di Pemilu 2024 nanti dirinya akan memilih Capres-Cawapres dari partainya. Dirinya tidak melihat Pemilu 2024 sebagai pemilihan seorang individu, Firmansyah memaknai Pemilu nanti dengan pemilihan partai. Hal tersebut karena dirinya meyakini semua Capres-Cawapres adalah petugas partai dan di setiap pergerakannya akan selalu berhubungan dengan kemauan partai.
Pemahaman tersebut adalah buah dari bagaimana media kini telah membanjiri dan merubah banyak dari pola pikir Gen Z. Dengan kesiapan mental dan psikologis yang cenderung masih tidak stabil, membuat pilihan mereka terpecah belah. Terkadang mereka masih belum dapat membedakan suara hati dan pemikiran logis akan suatu hal. Hal tersebut yang mendasari mengapa walaupun jumlah mereka cukup banyak di Pemilu 2024 dan diyakini sebagai Agent of Change dari bangsa ini, pada akhirnya terpecah belah suaranya karena media memberikan terlalu banyak informasi.
ADVERTISEMENT