Konten dari Pengguna

Jejak Migas Tradisional di Bojonegoro

Baharuddin Romadhoni
Pengedar buku di Perpustakaan Jenggala Bojonegoro. Saat ini menempuh pendidikan di IKIP PGRI Bojonegoro, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif dalam kegiatan UKM Jurnalistik Sinergi. Lahir dan besar di Bojonegoro.
26 Desember 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Baharuddin Romadhoni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Karya Laras Febiyanto : Berizin
Bojonegoro adalah sebuah kota kecil yang menyimpan kekayaan alam melimpah. Selain dikenal dengan hutan jatinya yang menjadi poros penting keberlanjutan ekologi, Bojonegoro juga menyimpan jejak fosil purba yang menjadi penanda perjalanan geologi masa lampau. Namun, daya tarik terbesar dari kabupaten ini terletak pada cadangan minyak bumi yang tersimpan di perut buminya—sebuah kekayaan yang telah lama menjadi tumpuan hidup sebagian masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Perjalanan menuju Desa Wonocolo, salah satu pusat minyak tradisional di Bojonegoro, memberikan pengalaman yang memukau sekaligus menggugah kesadaran akan luasnya lanskap budaya dan alam daerah ini. Dari hiruk-pikuk kota, saya melangkah ke sebuah dunia yang terasa berbeda. Desa-desa di Bojonegoro, dengan keanekaragaman budaya dan karakteristik sosialnya, membentuk mozaik kehidupan yang begitu kaya.
Benar apa yang pernah dikatakan Soe Hok Gie, bahwa dunia itu seluas langkah kaki. Hanya dengan melangkah dan menjelajahi, kita dapat memahami kehidupan secara mendalam dan menyatu dengannya. Dari perjalanan ini, saya belajar bahwa bahkan tempat yang terlihat dekat di peta bisa menawarkan pengalaman dan wawasan yang tak terbayangkan.
Jejak Minyak di Desa Wonocolo
ADVERTISEMENT
Menelusuri jejak migas di Wonocolo bukanlah hal yang mudah. Jangan harap mendengar kicauan burung atau menikmati segarnya aroma dedaunan hutan. Udara di sini dipenuhi aroma tajam minyak bumi yang menyeruak dari tanah. Ketika mendaki tanjakan menuju desa, pemandangan berganti dari hutan rimbun menjadi deretan tiang pancang kayu berbentuk segitiga yang berdiri di antara pohon kersen. Buah pohon itu masih ada, tetapi daunnya telah kehilangan kesegarannya—seolah menyerap dampak dari aktivitas tambang yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Berdasarkan cerita yang dituturkan oleh para sesepuh desa, minyak pertama kali ditemukan secara tidak sengaja. Pada suatu hari, lima orang pria tengah membakar ubi di tengah hutan. Ketika kehabisan air, mereka mencari sumber mata air dan menemukan sebuah sumur. Namun, air di sumur itu ternyata berwarna hitam pekat. Itulah pertama kalinya masyarakat Wonocolo menyadari keberadaan minyak di desa mereka. Pada masa itu, minyak hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan sederhana, seperti menyalakan obor sebagai penerangan atau memantik kayu bakar untuk memasak.
ADVERTISEMENT
Lanskap Sosial dan Budaya di Tengah Eksploitasi Minyak
Wonocolo bukan sekadar desa penghasil minyak; ia juga menjadi ruang hidup bagi masyarakat yang bertahan di tengah perubahan zaman. Keberadaan minyak bumi di desa ini telah membentuk pola hidup yang unik. Banyak warga yang menggantungkan hidupnya pada tambang minyak tradisional. Namun, dengan cadangan yang semakin menipis, sebagian dari mereka beralih menjadi petani, menanam komoditas seperti jagung dan bawang merah yang sesuai dengan kondisi tanah yang panas.
Di sisi lain, aktivitas pertambangan tradisional ini menyisakan sejumlah dampak lingkungan. Sungai kecil yang mengalir di sekitar desa telah tercampur dengan minyak bumi, menjadikan airnya terasa panas dan tercemar. Aroma minyak yang menyengat menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian warga.
ADVERTISEMENT
Potret Kehidupan Warga di Tengah Tambang Minyak
Desa Wonocolo menyimpan kisah tentang ketahanan dan adaptasi masyarakatnya. Salah satu warga, Mbak Nada, menjelaskan bahwa banyak keluarga di sini bergantung pada tambang minyak. Namun, dengan sumber daya yang semakin menipis, sebagian warga kini beralih menjadi petani. "Tanah di sini lebih cocok untuk menanam jagung dan bawang merah karena suhu panas," tuturnya.
Longsor menjadi ancaman lain yang terus membayangi. Beberapa warga bahkan harus berpindah rumah akibat kondisi geografis yang rentan. Meski demikian, bantuan pemerintah dan sertifikasi tanah oleh Perhutani sedikit banyak membantu meringankan beban mereka.
Proses Minyak Tradisional
Wonocolo menawarkan gambaran unik tentang pemanfaat minyak tradisional yang tetap bertahan di tengah gempuran modernisasi. Dengan menggunakan pipa besi, katrol, dan mesin diesel, penambangan minyak dilakukan secara manual. Pak Oka, seorang pekerja di bagian pengolahan, menunjukkan bagaimana minyak mentah direbus menggunakan tungku besar. Limbah berbentuk batu hitam dari proses ini bahkan dijual sebagai campuran batu bara.
ADVERTISEMENT
Namun, proses ini jauh dari ramah lingkungan. Sungai kecil yang mengalir di sekitar tambang terlihat tercemar minyak, dan airnya terasa panas ketika disentuh. Aroma minyak yang menyengat menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian para penambang.
Pak Jamal, salah satu penambang, berbagi cerita tentang tantangan hidup di sektor ini. “Kami hanya bisa menjual minyak dalam waktu seminggu karena kebutuhan mendesak, seperti biaya makan dan sekolah anak,” ungkapnya. Baginya, tambang minyak adalah warisan leluhur yang harus dijaga, meskipun tidak ada kepemilikan resmi atas lahan tersebut.
Museum Wonocolo: Sebuah Harapan yang Tersendat
Perjalanan kami diakhiri dengan kunjungan ke Museum Wonocolo, sebuah tempat yang diharapkan menjadi pusat edukasi tentang sejarah tambang minyak tradisional. Namun, museum ini menyisakan kekecewaan. Koleksi yang minim, berupa foto lama, fosil purba, dan miniatur proses penambangan, belum mampu menarik perhatian warga setempat. “Warga sini tidak peduli dengan museum ini,” ujar Pak Latip, penjaga museum.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan kesenjangan antara niat baik pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Museum yang seharusnya menjadi kebanggaan justru menjadi ruang yang terabaikan.
Wonocolo: Antara Warisan dan Tantangan Keberlanjutan
Desa Wonocolo menjadi cerminan nyata tentang hubungan kompleks antara manusia dan alam. Minyak bumi yang tersimpan di perut buminya telah menjadi penopang hidup masyarakat selama beberapa generasi. Di balik keberadaannya sebagai sumber penghidupan utama, aktivitas tambang di desa ini juga meninggalkan jejak yang sulit diabaikan, terutama bagi lingkungan. Sungai yang tercemar minyak, udara yang dipenuhi aroma menyengat, hingga pohon-pohon yang kehilangan kesegarannya adalah gambaran nyata dari dampak eksploitasi yang berlangsung bertahun-tahun.
Namun, menilai masyarakat Wonocolo hanya dari dampak lingkungan yang mereka hasilkan adalah sebuah ketidakadilan. Masyarakat desa tidak memiliki banyak pilihan selain mengandalkan minyak sebagai sumber pendapatan utama. Warisan tambang minyak yang mereka kelola adalah peninggalan dari generasi sebelumnya, sebuah aset yang diwariskan untuk menopang kebutuhan hidup anak cucu. Dalam konteks ini, minyak bumi bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga menjadi bagian dari identitas sosial dan budaya desa.
Dokumen Pribadi
Kami kawan-kawan Perpustakkan Jenggala menemukan tembok hijau ini di sebuah ruangan di puncak Wonocolo, tempat para pekerja tradisional menggali minyak dengan segala keterbatasannya. Tembok ini menjadi saksi bisu perjuangan dan keluh kesah warga yang sehari-harinya bekerja di lingkungan yang panas dan melelahkan. Coretan-coretan seperti "mumet," "pengen kulkas," hingga "panggone wong mumet" menggambarkan betapa beratnya tekanan yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Salah satu simbol yang menonjol adalah gambar kulkas sederhana di tembok ini. Kulkas menjadi lambang harapan mereka akan sedikit kesejukan di tengah panasnya lingkungan kerja. Coretan ini menyiratkan kelelahan fisik, beban pikiran, dan impian kecil mereka untuk kehidupan yang lebih baik. Tembok hijau ini bukan hanya sekadar dinding, melainkan cerminan suara hati mereka yang terpendam, menciptakan ruang kecil untuk mengekspresikan keinginan dan harapan di tengah kerasnya perjuangan hidup.
Keterbatasan Pilihan di Tengah Ketergantungan
Ketergantungan masyarakat pada minyak bumi bukanlah tanpa alasan. Aktivitas pertambangan telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka. Namun, dengan cadangan minyak yang semakin menipis dan biaya eksplorasi yang semakin tinggi, warga dihadapkan pada dilema besar. Sebagian dari mereka memilih untuk tetap bertahan di tambang tradisional, sementara yang lain beralih menjadi petani dengan komoditas seperti jagung atau bawang merah yang sesuai dengan karakteristik tanah setempat.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, perubahan ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Hasil bertani tidak selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara penghasilan dari tambang sering kali tidak stabil. Kondisi ini mencerminkan betapa sulitnya masyarakat Wonocolo mencari alternatif penghidupan di tengah keterbatasan sumber daya dan akses terhadap peluang ekonomi lainnya.
Pentingnya Pendekatan Berbasis Dialog dan Partisipasi
Dalam menghadapi tantangan lingkungan dan sosial yang ada di Wonocolo, keterlibatan aktif masyarakat menjadi kunci utama. Edukasi berbasis dialog adalah langkah awal untuk menciptakan kesadaran tentang pentingnya menjaga kelestarian alam tanpa mengabaikan kebutuhan dasar mereka. Pendekatan ini harus disertai dengan pemberdayaan ekonomi alternatif yang relevan dengan kondisi lokal, seperti pengembangan sektor pertanian berkelanjutan atau pariwisata berbasis budaya dan sejarah tambang.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mendengarkan suara masyarakat adalah hal yang tak boleh diabaikan. Mereka adalah pihak yang paling memahami kebutuhan, tantangan, dan potensi di wilayah mereka. Solusi berkelanjutan tidak akan tercapai tanpa mengakomodasi aspirasi mereka dalam proses pengambilan keputusan. Aktivisme lingkungan yang sukses adalah aktivisme yang mampu menggandeng masyarakat sebagai mitra, bukan sekadar objek perubahan.
Menuju Harmoni Manusia dan Alam
Wonocolo adalah gambaran tentang bagaimana warisan budaya, kebutuhan ekonomi, dan kelestarian lingkungan saling bertemu dalam ruang yang sama. Mengatasi tantangan ini membutuhkan pendekatan yang holistik dan inklusif. Edukasi, pemberdayaan, dan pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat harus dilakukan secara bersamaan, dengan mengutamakan prinsip keadilan sosial dan keberlanjutan.
Upaya pelestarian lingkungan di Wonocolo tidak hanya berbicara tentang memperbaiki kerusakan yang ada, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat tetap memiliki penghidupan yang layak. Ini bukan sekadar tentang mengurangi polusi atau menanam kembali pohon yang hilang, melainkan menciptakan ekosistem sosial dan lingkungan yang saling mendukung.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Wonocolo mengajarkan kita pelajaran penting tentang bagaimana manusia dan alam dapat hidup berdampingan. Dalam setiap konflik antara eksploitasi dan pelestarian, selalu ada ruang untuk dialog, inovasi, dan kolaborasi. Dengan mendengarkan suara masyarakat dan memahami konteks lokal, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih harmonis—bagi manusia, budaya, dan alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan di Wonocolo.