Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Artificial Intelligence (AI), Memudahkan atau Menjerumuskan?
1 Oktober 2024 10:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Fara Lubis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanpa kita sadari, hampir seluruh lini kehidupan manusia saat ini sudah diambil alih oleh AI. Contoh kecilnya adalah dengan adanya perangkat elektronik rumah tangga yang menggunakan kecerdasan buatan seperti robot penyedot debu, ataupun sistem keamanan. Banyak kemudahan-kemudahan yang didapatkan namun juga harus diwaspadai dampaknya. Jangan sampai kemudahan yang kita dapat di masa kini, membawa dampak buruk bagi kehidupan anak cucu mendatang, bahkan yang lebih parah lagi adalah ketika tenaga dan pikiran kita sudah tidak lagi berguna, karena kita, sebagai manusia, sudah tergantikan oleh suatu kecerdasan buatan yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Menurut Direktorat Jenderal Kekayaan Negara - Kementerian Keuangan, Artificial Intelligence atau kerap dikenal dengan AI adalah sejenis teknologi di bidang ilmu komputer yang memiliki kemampuan khusus untuk memecahkan masalah. Dengan kecerdasannya yang disebut-sebut mampu menyaingi kemampuan kognitif manusia, teknologi AI nyatanya mampu membantu beragam pekerjaan manusia dari yang mudah sampai yang rumit sekalipun. Ternyata, AI bukanlah hal yang baru. Istilah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) muncul pertama kali pada 1956 dalam Konferensi Dartmouth. Namun, sebetulnya konsep kecerdasan buatan ini sudah ditanamkan jauh sebelum itu. Benih kecerdasan buatan sebenarnya sudah ditanamkan sejak para filsuf mengeluarkan teoriteori yang menjadi landasan perkembangan kecerdasan buatan.
ADVERTISEMENT
Pada sekitar tahun 1900, muncul filsuf yang mengeluarkan teori-teori matematika yang menjadi landasan mesin komputer atau kecerdasan buatan. Beberapa filsuf tersebut adalah George Boole, Alfred North Whitehead, dan Bertrand A. W. Russell. George Boole adalah seorang matematikawan yang menemukan Aljabar Boolean. Ilmu ini menjelaskan operasi logika. Dengan aljabar ini, bisa dibuktikan nilai kebenaran true atau false yang direpresentasikan dengan digit biner 0 dan 1, sama seperti bahasa yang digunakan mesin komputer saat ini. Semua data yang disimpan, diolah, dan disajikan oleh mesin komputer berbentuk angkan atau bit.
Berlanjut tahun 2000-an sampai sekarang, AI mengalami kemajuan yang pesat. Perkembangan komputer yang kuat, ketersediaan data yang melimpah, dan kemajuan dalam algoritma AI, seperti deep learning, telah membuka pintu untuk aplikasi AI yang lebih canggih dan luas. Salah satu kemajuan terbaru adalah pengembangan Chat GPT (Generative Pre-trained Transformer) yang menjadi sorotan besar dalam bidang AI, karena kemampuannya untuk menghasilkan teks yang sangat mirip dengan gaya dan konteks yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Dibalik banyaknya dampak atau pengaruh positif yang diberikan AI dalam perkembangannya, banyak pula dampak negatif yang justru malah menyulitkan manusia. AI yang seharusnya digunakan untuk mendukung aktivitas dan meningkatkan kreativitas manusia, malah menjadi “ladang uang” bagi mereka yang tidak bertanggung jawab. Kejahatan-kejahatan cyber kini sudah sangat merajalela. Manusia yang tidak bijak dan picik menggunakan AI sebagai suatu sarana untuk berbuat tindak kejahatan yang menguntungkan dirinya sendiri ataupun kelompoknya. Penipuan dan pemerasan yang memakan korban dan rata-rata korban berasal dari kalangan elite.
Kasus Deepfake di Indonesia sendiri sudah menjadi salah satu kasus yang problematik dan merajalela saat ini. Teknologi deepfake seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, deepfake menawarkan potensi besar dalam industri kreatif. Namun, di sisi lain, penyalahgunaan teknologi ini adalah untuk penipuan. Salah satunya adalah kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu seorang konglomerat di Indonesia yang menjadi korban deepfake. Direktur Jenderal Informasi Komunikasi dan Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo, Prabu Revolusi, menceritakan bahwa ia pernah dihubungi oleh salah satu konglomerat Indonesia. Dalam komunikasi tersebut, orang tajir itu mengeluhkan ada akun media sosial yang menirukan sebagai dirinya alias pakai deepfake untuk mengelabui korban. Dampaknya adalah kepada masyarakat yang tertipu dan juga membuat nama baik serta reputasi korban rusak. Banyak lagi kasus-kasus deepfake lain, baik itu dari segi pornografi, salah satunya adalah artis Nagita Slavina, yang mana ada sebuah video yang menunjukkan skandal video dewasa. Sudah diteliti oleh tim siber kepolisian bahwa video yang beredar adalah fake alias palsu, hasil editing.
ADVERTISEMENT
Bila kita melihat, di Indonesia sendiri saat ini belum ada pengaturan khusus mengenai teknologi kecerdasan buatan atau AI. Namun, kita dapat melihat dalam Undang-Undang No 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tepatnya pada pasal 27 ayat (1) UU No.1 Tahun 2024 yang berbunyi :
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.”
Kemudian, orang yang melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024.
ADVERTISEMENT
Namun, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tidak dipidana dalam hal :
a. dilakukan demi kepentingan umum;
b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
c. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.
Secara keseluruhan, masih banyak hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang yang baru ini. Salah satu contohnya adalah mengenai deepfake. Tetapi, kita sebagai masyarakat Indonesia tidak boleh menganggap sepele akan hal ini, dikarenakan semakin lama kejahatan cyber ini semakin merajalela dan merugikan kita sebagai manusia. Oleh karena itu peran pemerintah dan masyarakat sangatlah diperlukan guna mencapai persamaan pandangan terkait hal ini.