Konten dari Pengguna

Perempuan Sebagai Pemimpin: Pro kontra Pandangan Dalam Islam

Putri Muisyah Kubban Azzahra Nasution
Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17 Desember 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Putri Muisyah Kubban Azzahra Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemimpin Laki-laki dan Perempuan berjabat tangan (Sumber: Foto oleh Ketut Subiyanto: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berjas-hitam-berjabat-tangan-dengan-wanita-4964918/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemimpin Laki-laki dan Perempuan berjabat tangan (Sumber: Foto oleh Ketut Subiyanto: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-berjas-hitam-berjabat-tangan-dengan-wanita-4964918/)
ADVERTISEMENT
Allah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa dan suku. Maka akan selalu ada pengelompokan dan setiap kelompok tentunya butuh seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh dan kedudukan untuk mengatur anggota di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Ia harus mampu mengajak, mengayomi, memerintah, dan menggerakkan orang-orang yang berada dalam lingkup kekuasaannya. Namun, apakah benar hanya laki-laki yang pantas menjadi pemimpin menurut pandangan Islam? Apakah perempuan yang dikenal dengan ‘makhluk emosional’ bisa menjadi pemimpin? Dan benarkah perempuan memiliki batasan untuk menjadi pemimpin?
isu ini terus menjadi persoalan yang menimbulkan perbedaaan pendapat. Sekalipun sudah banyak fakta yang menunjukkann bahwa perempuan dapat memimpin, mulai dari skala terkecil hingga skala terbesar seperti kepala negara.
Mayoritas ulama salaf diantaranya Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam Malik berpendapat bahwa Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, khususnya dalam memimpin negara. Menurut mereka pemimpin negara harus laki-laki, pernyataan ini merujuk pada surah an-Nisa ayat 34:
ADVERTISEMENT
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
“Laki-laki adalah penanggung jawab bagi para perempuan karena Allah telah melebihkan Sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan)”
Dengan pertimbangan begitu sentralnya jabatan ini, ulama salaf sepakat bahwa jabatan pemimpin negara hanya boleh diserahkan pada laki-laki. Mereka juga mengqiyaskan dengan: tidak adanya perempuan yang menjadi imam dalam sholat selagi masih ada laki-laki; Perempuan tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan muhrimnya; Dan juga perempuan tidak punya hak dalam menentukan jatuhnya talak. Pendapat ini juga didukung dengan hadist Rasulullah SAW, yaitu:
لن يفلح قوم ولو أمرهم امرأة
“Tidak akan bahagia suatu kaum, apabila dipimpin oleh Perempuan”
Seiring berkembangnya zaman dan adanya peninjauan terhadap dalil yang ada. Lahir pendapat-pendapat yang berbeda dengan yang ada sebelumnya. Diantaranya yaitu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyaah yang menafsirkan dalil-dalil diatas secara kontekstual dan mengeluarkan fatwa yang menyatakan kebolehan seorang perempuan menjadi pemimpin.
ADVERTISEMENT
Dan diantara ulama kontemporer seperti Quraish Shihab juga berpendapat hal yang sama. Quraish Shihab menafsirkan surah An-Nisa ayat 34 dengan penafsiran yang berbeda. Yaitu mengartikan lafadz “قَوَّامُونَ” atau “tanggung jawab” hanya dalam urusan rumah tangga saja, sedangkan ulama klasik mengartikan lafadz “قَوَّامُونَ” sebagai tanggung jawab dalam arti luas tanpa batasan, termasuk pemimpin negara di dalamnya.
Dalam ayat tersebut memang disebutkan adanya kelebihan yang dimiliki oleh laki-laki dibandingkan Perempuan. Namun dalam ayat lain menyatakan bahwa ada persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal agama maupun sosial. Yaitu dalam surat Al-Ahzab ayat 35:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
ADVERTISEMENT
“Sesungguhnya muslim dan muslimat, mukmin dan mukminat, laki-laki dan perempuan yang taat, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan penyabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kemaluannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka Allah telah menyiapkan ampunan dan pahala yang besar”
Faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat antara ulama klasik dan ulama kontemporer diantaranya adalah perbedaan zaman dan juga kebiasaan. Walaupun ulama kontemporer membolehkan, dalam hal ini mereka tetap memberikan syarat-syarat yang harus diperhatikan oleh perempuan jika ingin menjadi pemimpin, khususnya dalam skala yang besar seperti pemimpin negara.
Dengan seiring berkembangnya zaman, pemikiran tentang isu gender sudah tidak kaku seperti dulu lagi, sehingga teori kesetaraan gender tidak hanya sebatas teori yang sering digaungkan, namun sudah menjadi kenyataan yang bisa disaksikan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian perempuan memiliki peluang yang setara dengan laki-laki untuk menjadi pemimpin, terkhusus pemimpin dalam skala yang lebih besar seperti pemimpin negara. Perempuan berhak mendapatkan haknya lebih dari sekedar urusan rumah tangga!