news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Fomo: Jangan Sekadar Ikut Tren

Anisa Sihite
Mahasiswa di Universitas Katolik Santo Thomas
6 Maret 2025 18:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anisa Sihite tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Fomo perpustakaan (sumber: https://pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Fomo perpustakaan (sumber: https://pixabay.com)
ADVERTISEMENT
PERKEMBANGAN teknologi informasi telah membuat manusia melakukan transformasi yang signifikan. Hal ini dapat dilihat ketika media sosial hadir dan membuat banyak segmen dalam kehidupan ikut berubah. Kehadiran media sosial tampak istimewa sehingga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan.
ADVERTISEMENT
Sadar atau tidak, ekspresi-ekspresi itu menarik orang lain untuk ikut dalam tren tersebut. Kemudian ikut memengaruhi alam psikologi seseorang hingga membuat orang lain menjadi cemas karena tidak melakukan hal yang sama. Orang itu beranggapan seolah-olah tren itu adalah bagian dari dirinya yang hilang. Pada akhirnya muncul ketakutan dan takut tertinggal. Ketakutan-ketakutan ini dinamakan Fear of Missing Out (FOMO).
Pada dasarnya, konsep FOMO merujuk pada perasaan cemas atau khawatir karena melewati pengalaman yang dialami oleh orang lain dan mengacu pada tren yang sedang booming. Istilah FOMO pertama kali dicetuskan oleh Patric J. McGannis dalam penelitiannya yang berjudul Social Theory at HBS: McGinnis ‘Two FOs’ pada tahun 2014, mejadikan istilah ini menjadi populer.
ADVERTISEMENT
Saat ini, FOMO menjadi menjadi suatu fenomena dalam dunia psikologi di mana orang-orang terobsesi pada hal-hal tertentu yang dilakukan oleh orang lain atau sesuatu yang sedang viral, menciptakan kesan ikut-ikutan untuk menampilkan jati diri yang sebenarnya. Padahal sebenarnya tidak sesuai dengan karakternya sendiri. Hanya sekadar ikut-ikutan agar terlihat viral.
Obsesi Terhadap Tren
FOMO menjadi masalah yang sangat umum, terutama di kalangan anak muda. Dengan keberadaan media sosial, anak muda menjadi lebih mudah untuk tetap terhubung dan mendapatkan informasi tentang apa yang terjadi di sekitar mereka. Ini juga berarti bahwa ada lebih banyak kesempatan untuk merasa takut kehilangan pengalaman tersebut.
Contohnya, ketika event sepakbola berlangsung. Banyak orang yang merasa gelisah bila tidak menonton pertandingan. Lalu ikut-ikutanlah untuk membeli merchandise dari tim yang mereka dukung, seolah-olah itu menjadi entitas yang harus ada ketika menonton.
ADVERTISEMENT
Atau ketika sebuah grup band terkenal akan melakukan konser di sebuah daerah. Banyak orang yang tiba-tiba menjadi FOMO. Membahas segala sesuatu tentang band tersebut di media sosial, berburu (war) tiket konser, atau membeli merchandise grup band tersebut. Padahal sebenarnya, pengetahuan tentang band tersebut dan lagu-lagunya juga sangat minim.
Dua contoh di atas terjadi ketika seseorang mudah terobsesi dengan tren yang sedang booming. Obsesi ini lahir ketika seseorang selalu merasa bahwa apa yang dilakukan oleh orang lain sangat menarik sehingga terkadang mengesampingkan jati diri sendiri. Orang yang seperti ini kerap merasa mengatakan bahwa apa yang dilakukan dan dimiliki oleh orang lain lebih menarik dan harus diikuti, meski kadang kurang dimengerti.
ADVERTISEMENT
Berhenti FOMO
MENJADI sesuatu yang lumrah bila seseorang ingin meng-upgrade diri dan tentunya semua orang menginginkan hal itu. Namun apakah itu suatu keharusan dalam jangka waktu yang singkat? Apakah itu menjadi pilihan utama?
Penting diketahui bahwa FOMO kerap dianggap sebagai suatu perasaan. Perasaan memang mucul sebagai respon terhadap situasi yang sedang terjadi. Namun perlu dipahami bahwa perasaan itu bersifat sementara dan tidak selamanya.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar tidak menjadi FOMO. Mulailah dari berpikir realistis. Hal ini menjadi langkah yang bijak untuk melawan keinginan FOMO dalam diri. Realistis melihat situasi dan apa yang dimiliki. Seseorang harus berpikir tentang kerugian atau akibat-akibat apa saja yang akan muncul ketika tren itu sedang booming.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, berhenti berandai-andai. Sering terjadi, seseorang selalu berandai-andai. Hal ini memicu obsesi yang sangat tinggi. Misalnya, seandainya saya cantik. Atau bahkan terhadap barang yang sangat di inginkan, jangan sampai jadi kebiasaan. Sering berandai-andai akan berdampak kepada mengalami banyak kerugian dan kurang percaya diri. Mulailah mencintai apa yang kita miliki dan tidak terikut tren atau FOMO. Gunakanlah sesuatu sesuai dengan keinginan dan kegunaan yang lebih bermanfaat.
Langkah berikutnya adalah pahamilah bahwa selalu ada kesempatan lain. Banyak orang melihat sesuatu secara terburu-buru. Namun keterburuan membuat kita lupa bahwa akan menimbulkan obsesi yang berlebihan dan akhirnya terjadi FOMO. Ini berarti kita harus berhenti untuk mengejar-ngejar trending, terobsesi cantik atau terobsesi barang-barang yang sedang tren. Belajarlah untuk selalu memahami bahwa semua ada masanya. Kita bisa memiliki semuanya, tanpa harus terburu-buru.
ADVERTISEMENT
Kita harus lebih bijak dalam bertindak terhadap apapun sesuai dengan minat dan keinginan. Tidak hanya tergantung tren dan FOMO, karena jika mengikuti tren, kita akan merasa rugi, dan munculnya kurang percaya diri. Dengan berpikir ada kesempatan lain, itu akan lebih mudah untuk melawan FOMO, dan menetapkan potensi pada diri untuk lebih tampil percaya diri dan mensyukuri apa yang dimiliki. (*)
Anisa Sihite, Mahasiswa FEB Prodi Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas Medan.