Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
27 Ramadhan 1446 HKamis, 27 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Ketika Media Sosial Mengendalikan Tren dan Perilaku Anak Muda
18 Maret 2025 12:35 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Anisa Sihite tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Anak muda saat ini tumbuh di era digital yang sangat terhubung. Dengan menggunakan platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, mereka bisa berbagi setiap detil hidup mereka dengan audiens global. Sebagai contoh, TikTok telah menjadi ladang baru bagi anak muda untuk mengasah kreativitas dan membuat konten yang dapat menjadi viral dalam hitungan jam. Fenomena seperti "dance challenge", "lip sync", atau bahkan tantangan kocak yang mengundang tawa, seolah sudah menjadi bagian dari rutinitas online mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan perilaku viral ini sangat populer adalah keinginan untuk eksistensi. Generasi muda sering kali merasa bahwa eksistensi mereka hanya diakui jika mereka mendapat perhatian dari orang lain, terutama melalui media sosial. Konten viral memungkinkan mereka merasakan pengakuan sosial yang instan. Hal ini sejalan dengan teori kebutuhan hierarki Abraham Maslow, di mana pengakuan sosial dan rasa diterima merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi banyak orang, terutama bagi anak muda yang sedang mencari identitas diri.
Namun, ketergantungan pada validasi melalui jumlah likes, komentar, dan share dapat menjadi dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini memberikan rasa percaya diri, tetapi di sisi lain, ada risiko kecemasan dan ketergantungan pada pendapat orang lain. Anak muda yang merasa gagal atau tidak mendapatkan perhatian yang cukup bisa mengalami stress dan ketidakpuasan diri. Dengan kata lain, mereka bisa merasa tidak berharga ketika konten yang mereka buat tidak menjadi viral atau tidak diterima baik oleh audiens.
ADVERTISEMENT
Selain itu, platform seperti TikTok memotivasi anak muda untuk berkreasi secara spontan, sering kali mengikuti tren atau tantangan yang sedang viral. Ini membuat mereka terus berusaha menciptakan sesuatu yang "unik" atau "baru", yang sering kali melibatkan risiko. Sebagai contoh, tantangan seperti "devious licks", yang melibatkan perilaku merusak properti, sempat viral di kalangan pelajar dan menimbulkan kontroversi. Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa bukan hanya sisi kreatif yang dieksplorasi oleh anak muda, tetapi juga keinginan untuk mendapat perhatian atau popularitas, bahkan jika itu dengan cara yang tidak selalu positif.
Dampak Perilaku Viral terhadap Kesehatan Mental Anak Muda
Meskipun media sosial memberikan kesempatan bagi anak muda untuk mengekspresikan diri mereka, tak jarang perilaku viral ini justru membawa dampak negatif, khususnya terhadap kesehatan mental mereka. Fenomena ini tak hanya berfokus pada popularitas semata, tetapi juga menimbulkan perbandingan sosial yang bisa sangat merugikan.
ADVERTISEMENT
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (2020), anak muda yang terlibat dalam dunia media sosial, khususnya mereka yang terobsesi dengan popularitas online, lebih rentan terhadap kecemasan dan depresi. Salah satu penyebabnya adalah perasaan perbandingan sosial yang muncul setiap kali mereka melihat kehidupan orang lain yang tampak lebih sempurna, lebih kaya, atau lebih populer. Mereka mulai membandingkan diri mereka dengan kehidupan selebriti atau influencer, yang sering kali disorot dalam media sosial sebagai contoh kesuksesan. Hasilnya, mereka merasa kurang percaya diri, dan bahkan merasa hidup mereka tidak cukup berarti karena tidak sepopuler orang lain.
Selain perbandingan sosial, ada juga fenomena yang dikenal sebagai "FOMO" (Fear of Missing Out). Anak muda merasa tertekan untuk mengikuti setiap tren atau tantangan, bahkan jika mereka tidak benar-benar tertarik dengan hal tersebut. Ketika mereka tidak ikut serta dalam fenomena viral yang sedang terjadi, mereka merasa terisolasi dan ketinggalan. Ini bisa menambah tekanan sosial yang mereka rasakan dan membuat mereka merasa cemas, tidak cukup keren, atau tidak relevan.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, keinginan untuk tetap "relevan" ini membuat anak muda terjebak dalam pencarian validasi yang tiada habisnya. Mereka merasa bahwa satu-satunya cara untuk diterima adalah dengan mengikuti tren yang sedang populer, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan mental mereka. Mereka berisiko mengorbankan keautentikan diri demi mengikuti ekspektasi sosial yang dibentuk oleh dunia maya.
Di sisi lain, meskipun ada dampak negatif, media sosial juga bisa memberikan dukungan emosional bagi anak muda yang merasa terasingkan atau kesepian. Banyak anak muda yang menemukan komunitas atau support system yang positif melalui platform media sosial, yang memberikan mereka rasa aman dan diterima. TikTok, misalnya, memungkinkan anak muda untuk berbagi pengalaman pribadi mereka, mulai dari cerita kehidupan sehari-hari hingga tantangan pribadi seperti mental health struggles. Ini menciptakan ruang di mana mereka bisa merasa tidak sendirian, yang pada gilirannya bisa membantu mereka mengurangi perasaan terisolasi.
ADVERTISEMENT
Namun, hal ini hanya terjadi jika penggunaan media sosial dilakukan dengan bijaksana. Jika anak muda lebih fokus pada konten yang positif, pendidikan, dan aktivisme sosial daripada hanya sekadar mengejar perhatian atau kepopuleran, mereka bisa mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar dari media sosial tanpa harus mengorbankan kesejahteraan mental mereka.
Perilaku viral anak muda di media sosial menunjukkan sisi kreativitas dan semangat untuk berbagi yang luar biasa. Namun, penting untuk diingat bahwa fenomena ini juga membawa dampak yang kompleks terhadap kesehatan mental mereka. Generasi muda perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana cara menggunakan media sosial secara bijak. Pendidikan digital yang mengajarkan anak muda untuk lebih cerdas dalam memilih dan mengonsumsi konten sangatlah penting.
ADVERTISEMENT
Dari sisi anak muda sendiri, mereka perlu belajar untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline. Media sosial seharusnya tidak menjadi tolak ukur kebahagiaan atau identitas diri mereka. Sebaliknya, mereka harus mampu memahami bahwa nilai diri mereka tidak ditentukan oleh popularitas yang diraih melalui media sosial, melainkan oleh kualitas hubungan mereka di dunia nyata dan kontribusi positif yang mereka berikan kepada masyarakat.
Anak muda saat ini berada pada titik penting di mana mereka dapat memilih untuk menggunakan media sosial sebagai alat untuk berkembang dan berkreativitas, tetapi dengan tetap menjaga kesehatan mental mereka. Dengan kesadaran yang lebih tinggi tentang dampak negatif media sosial, mereka dapat meminimalkan risiko dan menggunakan dunia maya untuk hal-hal yang lebih positif.
ADVERTISEMENT
Anisa Sihite, Mahasiswa FEB Prodi Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas