news-card-video
29 Ramadhan 1446 HSabtu, 29 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Alerta! Bahaya Laten Feodalisme dan Begalisme Akademik

Zico Junius Fernando
Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI) Ketua DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Provinsi Bengkulu
25 Maret 2025 7:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dunia pendidikan tinggi idealnya menjadi locus veritatis ruang suci bagi pencarian kebenaran ilmiah yang murni, bebas dari tekanan, dan menjunjung tinggi integritas akademik. Namun, di balik gemerlap jargon idealisme dan seremoni akademik yang megah, terselubung realitas yang kelam dan mengkhawatirkan, praktik feodalisme dan begalisme akademik yang masih lestari. Kedua wajah buruk ini telah menjadi parasit dalam ekosistem keilmuan, merusak esensi perguruan tinggi sebagai ruang meritokrasi dan kebebasan berpikir. Yang paling terdampak dari praktik-praktik ini adalah kelompok yang paling rentan dosen muda yang kerap menjadi korban tekanan struktural, pengabaian hak akademik, bahkan eksploitasi intelektual yang terselubung. Jika tidak segera dikoreksi, wajah pendidikan tinggi di negara ini bukan lagi cerminan peradaban, melainkan tirani akademik yang dibungkus legitimasi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Feodalisme akademik menciptakan struktur kuasa yang verticalis et absolutus, di mana senioritas bukan sekadar dihormati, tetapi ditakuti. Dalam atmosfer semacam ini, suara dosen muda kerap dibungkam oleh budaya hierarkis yang tidak membuka ruang dialog kritis. Kebenaran ilmiah sering kali dikalahkan oleh kehendak mereka yang berada di puncak piramida kekuasaan akademik. Dalam konteks ini, moto veritas lux mea (kebenaran adalah cahayaku) menjadi kosong makna, digantikan oleh semangat konservatif yang menuhankan status dan usia.
Dok. Zico Junius Fernando
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Zico Junius Fernando
Lebih jauh lagi, begalisme akademik menorehkan luka tersendiri bagi dosen muda luka yang sering kali tidak kasatmata, namun terasa menyesakkan. Salah satu wujudnya adalah penghambatan karier yang dilakukan melalui praktik like and dislike yang jauh dari asas objektivitas dan keadilan akademik. Dosen muda yang menunjukkan keberanian intelektual, berani bersuara kritis, atau memperlihatkan kapasitas keilmuan yang unggul, justru kerap diposisikan sebagai ancaman. Mereka dicap dengan berbagai stigma mulai dari "tidak tahu diri", "tidak tahu adat", hingga yang paling ekstrem yakni dianggap gila. Sebuah label yang digunakan untuk membungkam nalar kritis dan menjustifikasi marginalisasi. Dalam praktiknya, mereka perlahan disingkirkan dari arus utama akademik, diabaikan dalam promosi, dipersulit dalam akses riset, hingga dikucilkan dari ruang-ruang kolaborasi ilmiah. Mekanisme ini bekerja secara sistemik, senyap, namun destruktif, mematikan harapan, menumpulkan intelektualitas, dan mengerdilkan masa depan keilmuan.
ADVERTISEMENT
Birokrasi kampus yang menjunjung loyalitas di atas meritokrasi semakin memperuncing ketimpangan dalam ruang akademik. Ketimbang memberi ruang pada kompetensi dan capaian ilmiah, sistem justru merawat budaya subordinasi, di mana keberpihakan dan kesetiaan menjadi mata uang utama untuk bertahan. Gagasan-gagasan segar yang lahir dari semangat intelektual sering kali karam, tertelan dalam prosedur dan tata kelola yang lebih menghargai kepatuhan daripada keberanian berpikir. Dalam atmosfer seperti ini, budaya silentium est aureum diam adalah emas menjadi strategi bertahan yang diam-diam dipelajari oleh para dosen muda. Diam bukan lagi bentuk kearifan, tetapi tameng dari tekanan struktural yang mengintai setiap sikap kritis. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pertumbuhan nalar dan kebebasan berpikir, perlahan menjelma menjadi arena kuasa, tempat di mana otoritas menindas potensi dan hierarki menumpulkan daya cipta.
ADVERTISEMENT
Yang lebih ironis, para pemilik otoritas akademik menjelma menjadi magister supremus tokoh yang tidak boleh dikritik, seolah-olah institusi pendidikan tinggi adalah kerajaan kecil. Kebebasan akademik (libertas academica) hanya tinggal jargon yang terpampang di dokumen visi-misi, tanpa jaminan dalam praksis. Forum-forum ilmiah dibentuk bukan untuk mendiskusikan ide secara terbuka, melainkan untuk mengukuhkan kepentingan mereka yang berkuasa. Dalam suasana inilah muncul praktik simulatio kemunafikan yang menampilkan wajah ramah terhadap inovasi dan keberagaman gagasan, namun sesungguhnya represif terhadap pemikiran yang dianggap "mengganggu".
Praktik senioritas dalam dunia akademik sering kali dimaknai tidak lagi sebagai bentuk penghormatan atas pengalaman, tetapi berubah menjadi mekanisme kuasa yang meminggirkan mereka yang lebih muda. Status “senior” digunakan sebagai alat legitimasi untuk mengontrol ruang diskusi, memonopoli keputusan, hingga menentukan arah karier kolega yang lebih junior. Dalam struktur seperti ini, dosen muda dituntut untuk selalu tunduk, tidak hanya dalam urusan administratif, tetapi juga dalam ruang gagasan. Kritik terhadap senior dianggap sebagai pelanggaran etika, sementara inisiatif dari dosen muda kerap dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas hierarki. Bahkan dalam proses akademik seperti pembentukan tim riset, publikasi bersama, hingga promosi jabatan, suara senior menjadi penentu dominan, kadang tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kontribusi aktual. Dalam banyak kasus, praktik senioritas ini menjelma menjadi hambatan laten bagi regenerasi ilmuwan dan pembaruan pemikiran, karena lebih mengedepankan umur dan posisi ketimbang kualitas.
ADVERTISEMENT
Lebih problematis lagi, budaya ini diperkuat oleh sistem birokrasi kampus yang enggan berpihak pada nilai objektif. Praktik senioritas tidak jarang melahirkan suasana kerja yang tidak sehat, di mana dosen muda harus memilih antara patuh atau terpinggirkan. Akibatnya, atmosfer akademik menjadi kaku, stagnan, dan anti-kritik jauh dari semangat universitas sebagai rumah bagi kebebasan berpikir dan pencarian kebenaran.
Maka, pertanyaan mendasar pun mencuat, Quo vadis academia nostra? ke mana arah dunia akademik kita? Bagi dosen muda, jawabannya menuntut keberanian untuk tidak sekadar bertahan, tetapi juga bergerak. Diperlukan reformasi struktural dan kultural yang berpihak pada ethos akademik sejati yang menjunjung tinggi kejujuran, keterbukaan, dan pertukaran gagasan setara inter pares. Kampus harus menjadi ruang pembebasan intelektual, bukan tempat pembungkaman ide. Sistem promosi jabatan, insentif riset, dan penilaian kinerja harus berbasis meritum, bukan amicitia (relasi personal). Tanpa langkah nyata ke arah ini, dunia akademik hanya akan dikuasai oleh elite yang lebih peduli melanggengkan kekuasaan daripada membangun pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Bagi dosen muda, perjuangan melawan praktik feodalisme dan begalisme akademik bukanlah sekadar langkah merintis karier, melainkan bentuk kesetiaan pada nilai luhur keilmuan dan integritas akademik. Ini adalah perlawanan senyap terhadap kekuasaan yang membungkam, sekaligus pembelaan terhadap kebebasan berpikir yang semakin terpinggirkan. Di tengah tekanan struktural yang menyesakkan, masih ada keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa ilmu tidak boleh tunduk pada kuasa. Sudah saatnya kita meneguhkan prinsip sapere aude beranilah berpikir sendiri. Hanya dengan keberanian itulah, kampus dapat kembali menjadi ruang hidup bagi nalar dan nurani, bukan sekadar menara gading yang kering makna dan kehilangan arah.