Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Dari Unicorn ke Skandal: Mengupas Dugaan Pemalsuan Laporan Keuangan eFishery
2 Maret 2025 14:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan pemalsuan laporan keuangan oleh eFishery, sebuah perusahaan rintisan teknologi akuakultur di Indonesia, menimbulkan dampak signifikan bagi para pembudidaya ikan yang menjadi mitra mereka. Laporan investigasi FTI Consulting pada Januari 2025 mengungkap adanya penggelembungan pendapatan dan laba yang dilakukan oleh perusahaan ini. Dampaknya tidak hanya mencoreng reputasi eFishery sebagai pionir teknologi akuakultur, tetapi juga berpotensi merugikan para mitra yang menggantungkan keberlangsungan usahanya pada platform dan layanan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif hukum, pemalsuan laporan keuangan merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas yang wajib dipatuhi oleh setiap perusahaan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, mengatur bahwa setiap perusahaan yang beroperasi di pasar modal wajib menyampaikan laporan keuangan yang benar dan tidak menyesatkan. Pemalsuan laporan keuangan dalam konteks ini juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menegaskan bahwa direksi bertanggung jawab atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika terbukti melakukan pemalsuan, direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, baik secara perdata maupun pidana.

Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, Pasal 508, mengatur sanksi pidana terkait kecurangan dalam pelaporan keuangan korporasi. Tindakan pemalsuan laporan keuangan juga dapat dianggap sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara tipu muslihat atau rangkaian kebohongan dapat dikenai hukuman pidana. Jika perbuatan ini dilakukan oleh badan hukum atau korporasi, maka sanksi pidana dapat diperluas kepada individu yang bertanggung jawab atas kebijakan perusahaan, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Penerapan Strategi Anti-Fraud bagi Lembaga Jasa Keuangan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks eFishery, pelanggaran ini menunjukkan adanya celah dalam pengawasan terhadap perusahaan rintisan (start-up), yang selama ini lebih banyak berfokus pada pertumbuhan bisnis dibandingkan pada kepatuhan terhadap standar hukum dan etika bisnis. Jika dibandingkan dengan negara lain, pengawasan terhadap laporan keuangan di Indonesia masih perlu diperkuat. Di Amerika Serikat, Securities and Exchange Commission (SEC) memiliki kewenangan luas untuk mengawasi dan menindak perusahaan yang melakukan manipulasi laporan keuangan. Skandal Enron dan WorldCom menjadi contoh bagaimana penegakan hukum yang tegas dapat menjadi peringatan bagi perusahaan lain untuk tidak melakukan praktik serupa. SEC juga menegakkan aturan di bawah Sarbanes-Oxley Act (SOX) 2002, yang memberikan sanksi berat bagi perusahaan yang memalsukan laporan keuangan. Di Uni Eropa, regulasi seperti Market Abuse Regulation (MAR) mewajibkan perusahaan untuk memastikan transparansi dalam laporan keuangannya, sementara General Data Protection Regulation (GDPR) mengatur tata kelola data agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan bisnis yang tidak etis. Jepang, melalui Financial Services Agency (FSA), menerapkan aturan ketat terkait pengelolaan keuangan perusahaan yang berbasis teknologi, sehingga mengurangi risiko skandal keuangan yang merugikan pemangku kepentingan.
ADVERTISEMENT
Ke depan, Indonesia harus memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan terhadap perusahaan rintisan, terutama yang beroperasi di sektor strategis seperti perikanan dan pangan. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperketat standar pelaporan keuangan dengan menerapkan sistem audit independen yang wajib bagi start-up yang telah memperoleh pendanaan besar. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 29 Tahun 2016 tentang Laporan Keuangan Berkala Emiten atau Perusahaan Publik juga harus diterapkan secara lebih ketat terhadap perusahaan rintisan yang memperoleh pendanaan dari publik atau memiliki dampak ekonomi yang luas.
Selain itu, teknologi berbasis blockchain dapat digunakan untuk memastikan setiap transaksi dan laporan keuangan dapat diverifikasi dengan transparan oleh pemangku kepentingan, sehingga potensi manipulasi dapat diminimalkan. Selain perbaikan regulasi, edukasi terhadap pelaku industri rintisan mengenai pentingnya good corporate governance juga perlu ditingkatkan. Pemerintah, melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Kementerian Komunikasi dan Informatika, dapat mengadakan program pelatihan yang menekankan pentingnya kepatuhan hukum dalam pengelolaan bisnis digital. Hal ini penting agar pelaku usaha tidak hanya fokus pada pertumbuhan bisnis, tetapi juga memahami risiko hukum yang mungkin timbul akibat pelanggaran regulasi.
ADVERTISEMENT
Bagi para pembudidaya ikan yang menjadi mitra bisnis eFishery, kasus ini menjadi pelajaran penting dalam memahami hak dan kewajiban dalam perjanjian bisnis. Mereka perlu lebih selektif dalam memilih mitra bisnis dengan memastikan bahwa perusahaan yang diajak bekerja sama memiliki tata kelola yang baik dan mematuhi regulasi keuangan yang berlaku. Selain itu, asosiasi pembudidaya ikan dapat berperan lebih aktif dalam melakukan advokasi terhadap hak-hak mitranya, termasuk dalam hal perlindungan hukum apabila terjadi praktik bisnis yang merugikan mereka.
Dalam konteks regulasi perikanan, Indonesia telah memiliki Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2017 tentang Pembudidayaan Ikan, yang mengatur aspek teknis dan manajerial dalam budidaya ikan. Namun, regulasi ini belum mencakup perlindungan bagi pembudidaya ikan dalam konteks kemitraan bisnis berbasis teknologi. Oleh karena itu, sinergi antara regulasi tata kelola perusahaan dan perlindungan mitra bisnis dalam industri perikanan perlu diperkuat agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
ADVERTISEMENT
Kasus eFishery adalah pengingat bahwa inovasi bisnis harus tetap berada dalam koridor hukum dan etika. Jika Indonesia ingin menjadi ekosistem start-up yang kuat dan berkelanjutan, maka regulasi yang melindungi pemangku kepentingan, terutama mitra bisnis kecil seperti pembudidaya ikan, harus diperkuat. Dengan penegakan hukum yang lebih ketat dan transparansi dalam pelaporan keuangan, Indonesia dapat menciptakan ekosistem bisnis yang lebih adil, berkelanjutan, dan terpercaya.