Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Korupsi ASDP, Sebuah Cerminan Bobroknya Tata Kelola BUMN?
2 Maret 2025 14:04 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi dalam pengadaan kapal di PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) yang baru-baru ini terungkap telah mengejutkan publik dan menimbulkan keprihatinan mendalam terhadap praktik korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tiga tersangka utama dalam perkara ini, yakni IP selaku Direktur Utama PT ASDP, HMAC sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan, serta MYH, yang menjabat sebagai Direktur Komersial dan Pelayaran. Ketiganya diduga terlibat dalam pengadaan kapal yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp893 miliar. Dari perspektif hukum pidana, tindakan yang dilakukan oleh para tersangka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang dilakukan dengan itikad buruk (mala fides), di mana perbuatan tersebut tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral dan etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para pengelola BUMN. Tindakan ini mencerminkan bentuk penyalahgunaan wewenang yang berdampak serius terhadap kepercayaan publik dan tata kelola perusahaan negara.

Tindakan para tersangka dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap beberapa prinsip dasar dalam hukum pidana dan tata kelola perusahaan yang baik. Salah satunya adalah prinsip fiduciary duty, yaitu kewajiban para pengelola perusahaan untuk bertindak dengan itikad baik dan loyalitas penuh terhadap kepentingan perusahaan dan pemegang saham. Pelanggaran terhadap prinsip ini menunjukkan adanya penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan kepada para tersangka sebagai pengelola perusahaan milik negara. Selain itu, adagium hukum salus populi suprema lex esto yang berarti "keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi" juga diabaikan dalam kasus ini. Sebagai pengelola BUMN, para tersangka seharusnya mengutamakan kepentingan publik dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Namun, tindakan mereka justru merugikan keuangan negara dan berdampak negatif terhadap pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh PT ASDP.
ADVERTISEMENT
Kerugian negara sebesar Rp893 miliar akibat korupsi ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas pengelolaan BUMN. Kasus ini menambah daftar panjang skandal korupsi di tubuh perusahaan milik negara, yang seharusnya menjadi motor penggerak perekonomian dan pelayanan publik. Selain itu, praktik korupsi semacam ini dapat menghambat pembangunan infrastruktur transportasi yang vital bagi mobilitas masyarakat dan distribusi barang di Indonesia. Dalam jangka panjang, dampak dari kasus ini akan berimbas pada rendahnya efisiensi pelayanan publik, penurunan kualitas infrastruktur, serta meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengelola aset negara.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan konsisten guna memastikan bahwa tindakan korupsi tidak hanya ditindak, tetapi juga dicegah secara sistematis. Penegakan hukum yang efektif akan memberikan efek jera (deterrent effect) bagi pelaku potensial lainnya, sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara dengan tingkat korupsi rendah, seperti Singapura dan Denmark, di mana penegakan hukum yang kuat serta hukuman berat bagi pelaku korupsi berhasil menekan praktik-praktik koruptif. Selain itu, penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi langkah yang tidak bisa ditawar lagi. Singapura, misalnya, telah mengadopsi sistem Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri, memungkinkan penyelidikan independen terhadap kasus-kasus korupsi, termasuk di perusahaan-perusahaan milik negara. Sementara itu, Swedia dan Norwegia menerapkan pendekatan whistleblowing protection yang melindungi pelapor pelanggaran hukum di perusahaan publik, memastikan transparansi dalam pengelolaan perusahaan negara. Implementasi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran harus benar-benar diwujudkan dalam setiap aspek pengelolaan perusahaan. Jerman telah berhasil mengintegrasikan prinsip-prinsip GCG ke dalam regulasi ketat terhadap State-Owned Enterprises (SOEs), di mana manajemen perusahaan wajib menjalani evaluasi berkala untuk memastikan kepatuhan terhadap standar tata kelola perusahaan yang baik. Selain itu, pendidikan dan pelatihan mengenai etika bisnis serta anti-korupsi bagi seluruh jajaran manajemen dan karyawan BUMN menjadi faktor kunci dalam membentuk budaya perusahaan yang bersih dan berintegritas. Jepang misalnya, mewajibkan pelatihan etika bisnis bagi eksekutif dan pegawai perusahaan negara serta memiliki mekanisme pelaporan ketat terhadap dugaan penyimpangan. Tak kalah penting, peran serta masyarakat dalam mengawasi dan melaporkan praktik-praktik korupsi harus terus didorong. Korea Selatan, melalui sistem People’s Online Petition (e-People), memungkinkan masyarakat untuk melaporkan dugaan korupsi secara daring, yang kemudian ditindaklanjuti oleh otoritas terkait. Pendekatan ini menegaskan bahwa partisipasi publik adalah elemen kunci dalam menjaga integritas dan akuntabilitas pengelolaan negara. Sejalan dengan adagium vox populi, vox Dei "suara rakyat adalah suara Tuhan" keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada aparat penegak hukum, tetapi juga pada keterlibatan aktif masyarakat dalam memastikan transparansi dan kejujuran dalam pengelolaan sektor publik.
ADVERTISEMENT
Kasus korupsi pengadaan kapal di PT ASDP Indonesia Ferry merupakan cerminan nyata dari pelanggaran serius terhadap hukum pidana dan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Penegakan hukum yang tegas, penguatan sistem pengawasan, serta pendidikan etika dan anti-korupsi menjadi kunci dalam mencegah terulangnya kasus serupa di masa mendatang. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan, sudah sepatutnya kita bersama-sama berkomitmen untuk memberantas korupsi demi mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini, adagium fiat justitia ruat caelum yang berarti "keadilan harus ditegakkan walaupun langit runtuh" harus menjadi pegangan bagi seluruh aparat penegak hukum dalam menindak tegas setiap bentuk tindak pidana korupsi, tanpa pandang bulu dan tanpa kompromi. Sehingga, kepercayaan publik terhadap negara dan institusi BUMN dapat dipulihkan, serta pembangunan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi seluruh masyarakat Indonesia dapat diwujudkan.
ADVERTISEMENT