Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
16 Ramadhan 1446 HMinggu, 16 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Predator Anak: Urgensi Hukuman Maksimal dan Pembelajaran dari Negara Lain
16 Maret 2025 2:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar, yang diduga terlibat dalam eksploitasi seksual terhadap anak, menyoroti urgensi penanganan predator anak di Indonesia. Peristiwa ini mencerminkan kelemahan dalam sistem pengawasan dan akuntabilitas aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan anak. Selain itu, kasus ini menunjukkan perlunya reformasi kebijakan yang lebih ketat terkait penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak, termasuk penerapan hukuman yang lebih berat serta penguatan sistem pemantauan dan rehabilitasi bagi korban. Tidak hanya aspek hukum, pencegahan melalui edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat juga menjadi elemen penting dalam melindungi anak-anak dari ancaman predator seksual, terutama ketika pelaku berasal dari kalangan yang memiliki kekuasaan atau otoritas. Dengan adanya kasus ini, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme rekrutmen, pengawasan, dan sanksi bagi aparat yang terlibat dalam pelanggaran berat seperti eksploitasi seksual terhadap anak, agar tidak hanya menciptakan efek jera, tetapi juga memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.

Dari perspektif kriminologi, kejahatan yang dilakukan oleh individu dengan otoritas, seperti aparat penegak hukum, termasuk dalam kategori “abuse of power” atau penyalahgunaan kekuasaan, dimana individu dengan posisi otoritas memiliki akses dan kepercayaan yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk melakukan kejahatan seksual. Dalam konteks ini, kejahatan yang dilakukan oleh seorang Kapolres menjadi lebih berbahaya karena ia memiliki kekuatan hukum dan legitimasi sosial yang seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat, tetapi justru dimanfaatkan untuk melanggengkan kejahatan. Dalam teori kontrol sosial yang dikembangkan oleh Travis Hirschi, faktor utama yang mencegah seseorang melakukan kejahatan adalah keterikatan dengan norma sosial, keyakinan, dan institusi sosial. Namun, dalam kasus predator anak dari kalangan aparat, ikatan tersebut justru tidak berfungsi karena pelaku memanfaatkan celah dalam sistem penegakan hukum.
ADVERTISEMENT
Selain itu, teori strain dari Robert Merton juga dapat menjelaskan mengapa seseorang yang memiliki kedudukan tinggi masih melakukan kejahatan berat seperti ini. Menurut teori ini, individu melakukan kejahatan ketika mereka merasa bahwa sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu tidak memadai. Dalam kasus ini, pelaku mungkin memiliki dorongan psikologis yang tidak dapat dipenuhi melalui jalur yang sah, sehingga ia memilih untuk mengeksploitasi anak-anak sebagai bentuk pemuasan hasratnya. Hal ini juga relevan dengan teori psikopatologi yang menyoroti bagaimana individu dengan gangguan psikologis tertentu memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kejahatan tanpa rasa bersalah.
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, termasuk hukuman mati dan seumur hidup dalam kasus-kasus tertentu. Namun, implementasi hukum ini sering kali menemui berbagai kendala, mulai dari lemahnya penegakan hukum hingga mungkin adanya intervensi pihak-pihak tertentu yang menyebabkan pelaku mendapat hukuman lebih ringan. Salah satu tantangan terbesar juga dalam penegakan hukum kasus predator anak adalah budaya impunitas yang bisa terjadi, terutama ketika pelaku berasal dari kalangan aparat penegak hukum atau memiliki hubungan dengan elite kekuasaan. Hal ini menciptakan situasi di mana korban sering kali takut untuk berbicara, sementara pelaku bisa dengan mudah menghindari jeratan hukum. Sehingga kasus ini harus dikawal dengan baik agar para korban mendapatkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Dibandingkan dengan Indonesia, beberapa negara telah menunjukkan praktik baik dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik dalam aspek regulasi, penegakan hukum, maupun perlindungan korban. Salah satunya adalah Australia, yang memiliki undang-undang khusus terkait kekerasan seksual berbasis elektronik dan eksploitasi anak. Selain itu, negara ini juga menyediakan layanan konseling dan dukungan bagi korban melalui hotline 24 jam seperti 1800RESPECT, yang memungkinkan korban untuk melaporkan kejadian dengan lebih mudah dan mendapatkan perlindungan yang cepat. Pendekatan berbasis korban ini memungkinkan negara untuk tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan pemulihan bagi korban.
Filipina juga dapat dijadikan contoh dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak. Negara ini menerapkan regulasi yang sangat ketat terhadap pelaku eksploitasi seksual, termasuk hukuman penjara jangka panjang dan denda yang signifikan. Selain itu, pemerintah Filipina telah mendirikan lembaga khusus yang menangani kasus kekerasan seksual berbasis gender online, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang dapat diakses secara real-time oleh korban. Salah satu kebijakan progresif yang diterapkan adalah penghapusan “forgiveness clause” dalam hukum kekerasan seksual, yang sebelumnya memungkinkan pelaku untuk menghindari hukuman jika korban bersedia memberikan maaf.
ADVERTISEMENT
Inggris juga memiliki sistem hukum yang kuat dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak. Negara ini telah mengkriminalisasi berbagai bentuk pelecehan seksual online, termasuk “grooming” atau tindakan membangun kepercayaan dengan anak-anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Selain itu, Inggris memiliki mekanisme pelaporan yang efektif seperti Revenge Porn Helpline, yang membantu korban menghapus gambar-gambar intim yang disebarkan tanpa izin di internet. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa selain hukuman berat bagi pelaku, sistem pendukung bagi korban juga menjadi elemen penting dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak.
Belajar dari praktik negara lain, Indonesia perlu memperkuat sistem hukumnya agar tidak hanya berorientasi pada penghukuman pelaku, tetapi juga pada perlindungan dan pemulihan korban. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, termasuk memberikan pelatihan khusus kepada polisi dan jaksa mengenai cara menangani kasus dengan perspektif berbasis korban. Selain itu, Indonesia juga perlu memperbaiki sistem pelaporan kasus kekerasan seksual agar lebih aman dan mudah diakses oleh korban, sehingga mereka tidak merasa takut untuk melaporkan kejadian yang mereka alami.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, diperlukan reformasi dalam sistem hukum untuk memastikan bahwa predator anak, terutama dari kalangan aparat penegak hukum, tidak mendapatkan perlakuan istimewa. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk unit khusus dalam kepolisian yang bertugas menangani kasus-kasus pelecehan seksual oleh aparat sendiri. Langkah ini dapat membantu meningkatkan akuntabilitas institusi kepolisian serta memastikan bahwa kejahatan seksual tidak dibiarkan berkembang di dalam lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi masyarakat.
Kasus mantan Kapolres Ngada ini harus menjadi momentum bagi Indonesia untuk menegaskan komitmennya dalam memberantas kekerasan seksual terhadap anak. Hukuman maksimal bagi pelaku tidak hanya akan memberikan efek jera, tetapi juga menunjukkan bahwa negara berpihak kepada korban dan tidak mentoleransi kejahatan semacam ini, terutama jika dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dengan belajar dari negara-negara lain dan melakukan reformasi hukum yang lebih berorientasi pada perlindungan korban, Indonesia dapat memastikan bahwa anak-anak terlindungi dari ancaman predator seksual di masa depan.
ADVERTISEMENT