news-card-video
21 Ramadhan 1446 HJumat, 21 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Religious Trauma dan Kaitannya dengan Bullying

Zico Junius Fernando
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bengkulu Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (ASPERHUPIKI) Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar Viktimologi Indonesia (APVI) Ketua DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Provinsi
19 Maret 2025 15:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Religious trauma merupakan bentuk trauma psikologis yang disebabkan oleh pengalaman negatif dalam konteks agama atau keyakinan tertentu. Trauma ini dapat timbul akibat ajaran agama yang terlalu menekan, praktik keagamaan yang bersifat represif, atau pengalaman buruk dengan pemimpin agama, komunitas religius, atau keluarga yang memaksakan keyakinan secara berlebihan. Dalam beberapa kasus, religious trauma juga dapat terjadi akibat tindakan bullying berbasis agama yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menekan, menghukum, atau mengucilkan seseorang.
ADVERTISEMENT
Bullying berbasis agama terjadi ketika seseorang mengalami perundungan, diskriminasi, atau pengucilan karena keyakinan atau interpretasi agamanya. Bullying ini bisa berbentuk verbal, fisik, atau psikologis, misalnya melalui cemoohan, ancaman hukuman sosial, pelecehan verbal mengenai keimanan seseorang, atau bahkan tindakan kekerasan. Dalam lingkungan komunitas keagamaan yang tertutup, individu yang dianggap melanggar norma agama dapat menghadapi pengucilan sosial, tekanan emosional yang ekstrem, atau pemaksaan untuk kembali ke jalur yang dianggap benar. Akibatnya, korban bisa mengalami perasaan takut berlebihan terhadap dosa, rasa bersalah yang mendalam, serta krisis identitas yang mempengaruhi kehidupan sosial dan mental mereka.
Dok. Zico Junius Fernando
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Zico Junius Fernando
Dari perspektif hukum, bullying berbasis agama memiliki implikasi yang serius, baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Di Indonesia, perlindungan terhadap kebebasan beragama dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Selain itu, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak atas kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Namun, dalam praktiknya, berbagai kasus menunjukkan bahwa individu yang memiliki keyakinan berbeda atau memilih untuk meninggalkan keyakinan tertentu sering kali menghadapi persekusi, tekanan sosial, bahkan kriminalisasi atas nama agama.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk tidak mengalami diskriminasi berdasarkan agama. Sementara itu, dalam konteks bullying, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menekankan bahwa setiap anak berhak untuk dilindungi dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi, termasuk yang berbasis agama. Sayangnya, masih banyak kasus perundungan berbasis agama yang tidak ditangani secara serius, karena sering kali dianggap sebagai bagian dari “pembinaan moral” dalam lingkungan keagamaan tertentu.
Selain hukum nasional, hukum internasional juga memberikan perlindungan terhadap individu dari tindakan bullying berbasis agama. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dalam Pasal 18 menegaskan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan berpikir, beragama, dan berkeyakinan, termasuk kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya. Selain itu, Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan bahwa tidak ada individu yang boleh dipaksa untuk menganut suatu agama atau kepercayaan yang bertentangan dengan kehendaknya.
ADVERTISEMENT
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa religious trauma yang disebabkan oleh bullying berbasis agama masih sering terjadi, baik dalam lingkungan pendidikan, komunitas keagamaan, maupun dalam keluarga. Banyak korban yang akhirnya mengalami depresi, gangguan kecemasan, atau bahkan kehilangan rasa percaya diri akibat tekanan yang mereka alami. Dalam beberapa kasus ekstrem, tekanan psikologis ini bisa menyebabkan seseorang mengalami gangguan stres pasca-trauma (PTSD) atau bahkan mendorong tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap korban bullying berbasis agama harus diperkuat, baik melalui penegakan hukum yang lebih tegas maupun melalui edukasi masyarakat tentang pentingnya toleransi dan kebebasan beragama.
Upaya pencegahan juga perlu diperkuat melalui kebijakan yang lebih inklusif dalam pendidikan dan kehidupan sosial. Pemerintah dapat mengintegrasikan pendidikan tentang hak asasi manusia dan keberagaman ke dalam kurikulum sekolah untuk mencegah bullying berbasis agama sejak dini. Selain itu, lembaga penegak hukum harus lebih proaktif dalam menindak kasus-kasus persekusi dan diskriminasi berbasis agama agar tidak dibiarkan menjadi budaya yang terus berulang.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif hukum, religious trauma akibat bullying berbasis agama bukan hanya sekadar isu sosial, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harus mendapatkan perhatian serius. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap individu dapat menjalankan keyakinannya tanpa takut mengalami tekanan atau intimidasi. Dengan demikian, pendekatan hukum yang tegas, diiringi dengan edukasi dan sosialisasi nilai-nilai keberagaman, menjadi langkah penting dalam mencegah religious trauma dan menciptakan lingkungan sosial yang lebih inklusif dan adil bagi semua individu, tanpa terkecuali.