Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
4 Ramadhan 1446 HSelasa, 04 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Skandal Korupsi Pertamina: Runtuhnya Integritas, Terancamnya Kedaulatan Energi
28 Februari 2025 11:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zico Junius Fernando tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah PT Pertamina (Persero) kembali menjadi sorotan publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap bahwa pada tahun 2023 saja, kerugian negara akibat skema korupsi ini mencapai Rp. 193,7 triliun. Jika ditarik dalam periode 2018 hingga 2023, potensi kebocoran keuangan negara akibat manipulasi di sektor energi ini dapat mencapai Rp1 kuadriliun. Angka ini bukan sekadar mencerminkan masifnya kebocoran dana, tetapi juga menunjukkan betapa rentannya sistem pengelolaan energi di Indonesia terhadap infiltrasi kepentingan oligarki.
ADVERTISEMENT
Skandal ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap integritas tata kelola energi nasional. Ketika sektor yang seharusnya menopang ketahanan energi justru dikuasai oleh jaringan kepentingan koruptif. Penyelidikan Kejagung menemukan bahwa korupsi ini dilakukan melalui berbagai skema, termasuk pengadaan minyak mentah berkualitas rendah yang dioplos dengan minyak berkualitas lebih tinggi, manipulasi harga, serta kolusi dalam pengadaan dan transportasi minyak. Salah satu praktik yang terungkap adalah penggelembungan harga pengadaan bahan bakar minyak (BBM) dan manipulasi kualitas minyak mentah, sehingga perusahaan-perusahaan tertentu bisa memperoleh keuntungan besar sambil membebankan biaya tambahan kepada negara.
Yang lebih mengkhawatirkan, skandal ini menyeret nama anak dari taipan minyak di Indonesia yang diduga berperan sebagai pemilik manfaat (beneficial owner) PT. Navigator Khatulistiwa, yang terlibat dalam pengadaan minyak mentah ilegal untuk Pertamina. Fakta ini memperlihatkan bagaimana korupsi di sektor energi tidak hanya dilakukan oleh pejabat internal BUMN, tetapi juga melibatkan jaringan bisnis yang memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan negara.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, adagium "nemo potest esse simul actor et judex" seseorang tidak boleh menjadi pemain sekaligus wasit sangat relevan. Pejabat yang seharusnya menjadi penjaga kepentingan negara justru berperan sebagai bagian dari permainan yang menguntungkan segelintir elite. Inilah yang menjadikan kasus ini lebih dari sekadar korupsi biasa, tetapi sebagai bentuk "state capture corruption", di mana kebijakan negara dikendalikan oleh aktor-aktor swasta demi keuntungan pribadi.
Dari perspektif hukum pidana, tindakan yang dilakukan para tersangka dalam kasus ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun, kasus ini tidak hanya melibatkan unsur korupsi, tetapi juga memiliki indikasi pencucian uang. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga dapat diterapkan, mengingat ada indikasi bahwa keuntungan dari transaksi minyak mentah ilegal ini dialihkan ke berbagai rekening, aset, dan bisnis guna menyamarkan sumbernya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, pendekatan yang harus diambil dalam kasus ini tidak boleh setengah hati. Jika hanya menindak beberapa individu tanpa membongkar keseluruhan jaringan mafia energi, maka sistem yang rusak akan terus berulang. "Fiat justitia ruat caelum" keadilan ditegakkan meskipun langit runtuh harus menjadi prinsip dalam menegakkan hukum terhadap mereka yang telah merampas hak rakyat demi kepentingan pribadi.
Kerugian negara yang mencapai Rp. 1 kuadriliun dalam lima tahun terakhir tentu membawa dampak luas. Dana sebesar ini seharusnya bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur energi, subsidi BBM yang tepat sasaran, serta pengembangan energi terbarukan. Namun, akibat praktik korupsi ini, anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan publik justru raib ke tangan segelintir orang. Dampak langsung yang paling dirasakan masyarakat adalah kenaikan harga BBM dan ketidakstabilan pasokan energi. Ketika biaya produksi meningkat akibat manipulasi harga dan pengadaan, beban itu dialihkan kepada masyarakat dalam bentuk harga BBM yang lebih mahal. Hal ini mencerminkan "moral hazard", di mana mereka yang melakukan kejahatan tidak merasakan langsung akibatnya, tetapi rakyat kecil yang harus menanggung dampaknya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kasus ini juga menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan energi nasional. Jika dominasi oligarki dalam sektor ini terus dibiarkan, maka Indonesia akan semakin tergantung pada impor energi dan kehilangan kendali atas sumber dayanya sendiri. Ketika negara gagal mengelola energi dengan baik, maka ketahanan ekonomi dan stabilitas sosial juga ikut terancam.
Untuk mencegah skandal serupa terjadi di masa depan, reformasi sistem tata kelola energi harus segera dilakukan dengan langkah-langkah konkret yang memastikan integritas dalam pengelolaan sumber daya negara. Salah satu upaya yang dapat diterapkan adalah digitalisasi dan transparansi dalam pengadaan minyak mentah. Penerapan teknologi blockchain dalam sistem pengadaan dan distribusi minyak mentah akan memungkinkan pencatatan transaksi yang terdesentralisasi, transparan, dan tidak dapat dimanipulasi, sehingga mengurangi celah bagi praktik korupsi, mark-up harga, serta kolusi antara pihak swasta dan pejabat negara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penguatan pengawasan independen menjadi langkah krusial dalam menutup celah korupsi di sektor energi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus diberikan kewenangan lebih besar dalam mengawasi transaksi keuangan Pertamina dan perusahaan-perusahaan mitranya. Sistem pengawasan yang kuat dan berbasis data real-time akan memungkinkan deteksi dini terhadap praktik mencurigakan, termasuk pencucian uang dan aliran dana gelap yang kerap terjadi dalam proyek-proyek strategis.
Tak kalah penting, penerapan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi di sektor strategis harus ditegakkan tanpa kompromi. Berdasarkan teori deterrence, efektivitas hukuman tidak hanya bergantung pada beratnya sanksi, tetapi juga pada kepastian eksekusi. Jika selama ini banyak kasus korupsi energi yang hanya berujung pada hukuman ringan atau bahkan impunitas, maka kasus ini harus menjadi preseden tegas bahwa negara tidak akan mentoleransi pengkhianatan terhadap kepentingan publik. Penegakan hukum yang transparan dan tegas akan memberikan efek jera bagi pelaku lainnya dan menjadi langkah awal dalam membangun tata kelola energi yang lebih bersih, transparan, serta berpihak kepada kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT