Konten dari Pengguna

Tak Bisa Hidup Tanpamu, Menjadi Tak Bisa Hidup Denganmu

Aris agustian
An English literature student at University of Pamulang, penulis yang membahas seputar perkuliahan dan pengembang diri.
17 November 2024 11:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aris agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Mayur Gala on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Mayur Gala on Unsplash
ADVERTISEMENT
Cinta sering kali menjadi bagian dari perjalanan hidup remaja, bahkan anak SMA yang baru mengenalnya. Ketika cinta datang, tidak jarang logika kalah oleh perasaan. Benarlah kata orang, cinta itu buta. Nasehat dari orang tua seperti "kenapa harus dengan dia?" atau "jangan dulu pacaran saat sekolah," sering kali terabaikan. Dalam euforia cinta, kita sering terbuai dan terpuruk, tetapi dalam "keindahan" versi kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Banyak dari kita yang pernah merasakan pacaran semasa sekolah, bahkan dengan hubungan yang bertahan cukup lama—satu, dua, atau bahkan tiga tahun. Selama itu, momen-momen indah tercipta bersama pasangan. Dengan penuh keyakinan, kita berkomitmen untuk terus berjuang bersama, bahkan dengan lantang berkata, "Aku tak akan bisa hidup tanpamu."
Namun, keyakinan ini sering kali muncul sebelum kita benar-benar menghadapi realitas kehidupan. Bahkan di hari pernikahan, kebahagiaan masih terasa begitu nyata, dikelilingi keramaian dan keindahan pesta. Sayangnya, setelah memasuki kehidupan rumah tangga, kenyataan sering kali jauh dari ekspektasi.
Banyak yang membayangkan bahwa setelah menikah, hidup akan dipenuhi kebahagiaan sederhana—makan bersama, berkeliling kota naik motor berdua, atau menikmati liburan romantis. Namun, kenyataan sering berkata lain. Masalah mulai muncul, dari ekonomi yang tidak stabil hingga ego yang sulit dikendalikan salah satu pihak. Pada titik ini, banyak yang baru menyadari kebenaran dari nasihat orang tua yang dulu diabaikan.
ADVERTISEMENT
Penyesalan sering kali hadir dengan pikiran seperti, "Seandainya aku melanjutkan studi," atau "Seandainya aku menunda pernikahan." Konflik demi konflik bermunculan, dan hubungan yang dulu terasa indah kini penuh dengan keluhan.
Hidup memang tidak pernah lepas dari masalah. Namun, alangkah baiknya jika kita memprioritaskan pendidikan dan karier sebelum memasuki dunia pernikahan. Dengan begitu, komitmen "tak bisa hidup tanpamu" tidak hanya menjadi janji kosong belaka.
Fenomena remaja yang menikah muda sering kali berakhir pada perceraian karena ketidaksiapan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu, bagi kamu yang sedang berada dalam fase ini, persiapkan dirimu sebaik mungkin. Ingat, pernikahan bukanlah akhir yang bahagia seperti dalam novel atau drama Korea. Pernikahan adalah realitas yang membutuhkan kesiapan mental, fisik, dan finansial.
ADVERTISEMENT
Semoga kita dapat belajar dan memahami bahwa cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi juga soal kesiapan menghadapi kehidupan yang sebenarnya.