Absurditas dan Hal-hal Lain yang Melingkupi Kita

Rizky Triputra
Anggota Tugu Hiking Club. Memiliki ketertarikan terhadap isu sosial, pendidikan, dan budaya.
Konten dari Pengguna
11 Maret 2022 11:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Triputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto absurditas. sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto absurditas. sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sembilan hari sebelum tragedi atomic bombing Hiroshima dijatuhkan oleh tentara Amerika Serikat. Ada kejadian yang menarik sekaligus mengherankan dalam catatan sejarah. Tepatnya pada Sabtu, 28 Juli 1945 sebuah pesawat Boeing B-25 Mitchell bomber menghantam lantai 79 sisi utara Empire State Building, New York, yang kala itu merupakan gedung tertinggi di dunia.
ADVERTISEMENT
Pada saat kejadian, seorang wanita muda yang berprofesi sebagai lift operator bernama Betty Lou Oliver sedang berada satu lantai di atas dari titik tabrakan terjadi. Dalam situasi mencekam tersebut, Ia mengalami luka bakar dan memerlukan penanganan medis sesegera mungkin.
Tim penyelamat memutuskan untuk memasukannya ke dalam lift agar dibawa secepatnya ke rumah sakit. namun celakanya kabel penggantung lift rusak dan putus sehingga wanita itu terjun bebas sejauh 75 lantai hingga rubanah.
Dia “selamat” dari peristiwa itu meski mengalami cidera parah: patah tulang panggul, punggung dan leher. Ia juga dinobatkan sebagai pemegang Guinness World Record sebagai penyintas lift jatuh tertinggi yang rasanya hampir mustahil untuk bisa dikalahkan oleh orang gila atau orang bosan hidup mana pun di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Dua kali berada dalam situasi vis-à-vis dengan maut kemudian hidup pasca kejadian dengan pekerjaan sama serta trauma yang melekat padanya tidaklah mudah ditafsirkan sebagai sebuah pertolongan Tuhan semata atau faktor keberuntungan saja, tetapi lebih pas rasanya bahwa ia telah mengalami momen aneh, ganjil, tak jelas, di luar nalar atau mari kita sebut saja absurd.
Absurd merupakan Bahasa Latin Absurdus. Ab-surdus yang berarti tuli atau bodoh. Dalam bahasa Indonesia artinya tidak masuk akal; mustahil. Sementara absurditas adalah kemustahilan.
Albert Camus seorang esais peraih Nobel Sastra tahun 1957 menjelaskan absurditas ini dengan cukup indah dalam bukunya Le Mythe de Sisyphe (1942) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Justin O’Brien dengan judul The Myth of Sisyphus and Others Essay (1955).
ADVERTISEMENT
“But what is absurd is the confrontation of this irrational and the wild longing for clarity whose call echoes in the human heart.”
Sebagai manusia perasaan absurd pada porsi tertentu kerap kita alami. Baik disadari atau tidak disadari ketika mulai menginjak usia dewasa awal hingga tua. Di mana tabrakan-tabrakan antara ekspektasi dan realitas lebih sering terjadi.
Perencanaan matang yang dibangun perlahan-lahan bisa hancur begitu saja karena hal kecil, latar belakang akademis tidak sesuai dengan profesi yang saat ini tengah dijalani namun ternyata anehnya tetap bisa hidup dengan cukup layak, sudah mempunyai soft skill dan hard skill mumpuni tetapi karier hanya jalan di tempat, atau bahkan hal yang sederhana saja. Kondisi tubuh kita sendiri. Tampak sehat hari ini namun tiba-tiba saja esok hari bisa jatuh sakit atau meninggal dunia tanpa sebab yang pasti.
ADVERTISEMENT
Kita sering terlempar pada sekumpulan fakta dalam hidup yang senantiasa menawarkan untuk dipilih dan dari pilihan bermacam-macam tersebut ternyata sama baiknya. Kemudian dunia juga tidak tertib, acak, tidak rapi seperti yang terlihat dan kita menyadarinya. Namun, entah mengapa seringkali tetap berusaha memegang teguh prinsip versi sendiri secara sebaliknya ingin sesuatu yang mutlak, tanpa cela, absulut, dan rapi.
Mungkin karena kodrat manusia yang melulu menginginkan kesempurnaan, keutuhan akan adanya penjelasan yang sifatnya harus menyeluruh. Sementara di lain pihak ternyata dunia menyembunyikannya dengan sengaja. Menyajikan penjelasan secara setengah-setengah sehingga manusia terus mencari makna-makna, kebenaran-kebenaran yang ia yakini dan berakhir hanya mendapati yang serba sebagian dan samar.
Absurditas dijelaskan juga oleh Camus secara alegori dengan merujuk pada kisah mitologi Yunani Kuno Mitos Sisyphus. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa Sisyphus dihukum oleh para dewa karena kezaliman dan kejahatannya. Hukuman yang harus dijalani Sisyphus adalah dengan mengangkat batu besar ke atas gunung yang terjal seorang diri. Akan tetapi setelah tiba di puncak, batu itu menggelinding kembali. Kemudian ia mengangkut batu itu lagi ke puncak, terus berulang sepanjang hidupnya.
ADVERTISEMENT
Begitulah hukuman Sisyphus itu diibaratkan seperti kehidupan dan pekerjaan manusia. Pesan yang ingin disampaikan adalah perjuangan saja rasanya sudah cukup untuk mengisi dan memberi makna pada kita sebagai manusia. Bagusnya, Camus memberikan tiga gagasan jalan keluar dalam menghadapi absurditas ini.
Pertama, tindakan paling tidak esensial, lemah, dan pengecut yaitu dengan cara bunuh diri yang juga berarti mengingkari eksistensi manusia itu sendiri. Kedua, memilih taklid pada agama sebagai sandaran saat menghadapi ketidakjelasan hidup. Ketiga, (paling disarankan) dengan menerima absurditas tanpa menyerah lalu menciptakan makna sendiri yang mungkin tidak objektif, tidak hakiki, tidak mendalam, tidak ultimate namun dapat membuat hidup ini berarti serta layak untuk diperjuangkan.
Bagaimana jika pemaknaan tersebut dirasa gagal? Cukup ciptakan pemaknaan baru. Itulah yang ia sebut juga bahwa manusia harus mampu “memberontak” dari nilai-nilai usang yang mengungkung dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Absurdemic
Camus kini mungkin sudah berada di haribaan Tuhan sejak kecelakaan mobil yang terjadi pada 4 Januari 1960 membuat ia mengembuskan napas terakhirnya. Lebih dari setengah abad kemudian dari kematiannya kita lah yang menjalani absurditas terkini dengan kondisi zaman, tantangan, dan cara pandang yang sudah berbeda.
Memasuki tahun ketiga Pandemi COVID-19. Rasanya kita semakin bebas mendefinisikan hidup itu seperti apa. Saya kira saat ini tepat rasanya bahwa kita tengah berada dalam situasi absurdemic. Sebuah keadaaan di mana kita berupaya untuk tetap “survive” sehat fisik-mental saat menerima dan mengalami masalah-masalah personal dan sosial bersamaan dengan dihadapkannya fenomena-fenomena absurd di tengah pandemi COVID-19 yang semakin jauh dari kata akhir.
Dulu tidak mungkin rasanya Camus bersentuhan dengan hal-hal absurd sebagaimana yang kita alami saat ini: virus COVID-19 yang terus bermutasi (subvarian terkini adalah BA 2 atau omicron siluman), demam digitalisasi & metaverse, pola pikir yang menyepelekan kesehatan mental, oknum yang melindungi pelaku kekerasan seksual, kelangkaan minyak goreng, produsen tahu tempe mogok produksi, aturan baru dalam melantangkan azan, whistleblower korupsi “tidak sengaja” ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kepolisian, dan yang sedang hangat kasus penipuan investasi illegal dari seorang “crazy rich” palsu.
ADVERTISEMENT
Di antara berbagai hal absurd tadi. Saya teringat kata-kata Camus yang masih relevan untuk ditempelkan di dinding kamar besar-besar "Should I kill myself or have a cup of coffee?" (A Happy Death, 1971) yang rasanya cukup lumayan menyimpulkan semesta berpikirnya. Dengan memilih menenggak secangkir kopi dapat diartikan sebagai keputusan untuk tetap melanjutkan hidup dan mengakui kehidupan memang absurd adanya. Toh secangkir kopi yang enak juga merupakan pilihan bagus untuk dinikmati ketimbang rasa sakit menghabisi nyawa sendiri.