Religiusitas dan Folklor Gunung sebagai Pesona Para Pendaki

Rizky Triputra
Anggota Tugu Hiking Club. Memiliki ketertarikan terhadap isu sosial, pendidikan, dan budaya.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2022 22:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Triputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi folklor gunung. Sumber: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi folklor gunung. Sumber: pexels.com
ADVERTISEMENT
Gunung selalu menampilkan keindahan yang luar biasa saat terlihat dari kejauhan maupun ketika kita mendakinya. Keindahan tersebut hadir karena gunung identik dengan ketinggian dan sudut pandang luas yang jarang kita amati.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan sejarah, gunung mempunyai kedudukan yang istimewa bagi para tokoh hebat jika ditelusuri secara saksama. Nabi Muhammad SAW melakukan uzlah dan memperoleh wahyu pertama berlokasi di Gunung Jabal Nur tepatnya di Goa Hira, Makkah negara Arab Saudi.
Martin Heidegger menghasilkan karya besarnya Being and Time (1927) dengan cara melakukan self-imposed exile dan perenungan intens di Pegunungan Black Forest, Baden-Württemberg negara Jerman.
Ada juga Lao Tzu, seorang penyair besar sekaligus pendiri aliran Taoisme. Ia sering menyepi dan bertapa di Gunung Laojun, Xinjin County negara Cina untuk merefleksikan pikiran kemudian menuliskannya ke dalam sebuah kitab seni hidup yang sangat populer dan telah diterjemahkan ke dalam 17 bahasa sepanjang tahun 1816 s.d. 1988 berjudul Tao Te Ching (400 SM).
ADVERTISEMENT
Sejak dahulu gunung bukanlah objek alam yang hanya berhenti di keelokannya saja. Meminjam tiga pandangan seorang psikolog Amerika Serikat, William James bahwa ketika berada di gunung seseorang bisa menerima karakteristik pengalaman religiusitas.
Pertama Ineffability, tidak dapat terlukiskan sebagaimana pengalaman biasa. Kedua Noetic Quality, mendapatkan pengetahuan yang dalam akan kebenaran. Ketiga Transciency, bahwa terjadinya hanya dalam waktu yang begitu singkat. Itulah mengapa pengalaman tersebut perlu dicatat dan dijadikan laku hidup agar tidak lenyap bagi mereka yang mencarinya.
Saat ini gunung juga semakin memancarkan pesona lain bagi para pencinta dan pendakinya. Jika kita melakukan pencarian video lewat YouTube, misalnya. Sudah ada ratusan konten tentang folklor gunung seperti mitos, tradisi, larangan ucapan, isyarat, dan anjuran tertentu dalam pendakian yang beredar hingga terus berkembang mulai dari antarpendaki sampai antarwarganet, tanpa pernah kita tahu kebenarannya.
ADVERTISEMENT
Folklor sendiri, menurut Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. James Danandjaya adalah sebagian kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Folklor Indonesia, 1984)
Beberapa folklor gunung yang bermunculan dapat dikategorikan sebagai folklor lisan dan sebagian lisan seperti tidak diperbolehkannya memakai baju berwarna hijau dan terkenalnya cerita gaib pasar setan yang kerap menyesatkan pendaki di antara pos 4 sampai 5 di Gunung Lawu, Jawa Tengah.
Ada juga ketentuan wajib dari pihak basecamp di Gunung Sumbing jalur Bowongso, Jawa Tengah. Setiap pendaki gunung akan dibekali plastik kecil yang berisi kopi dan santan. Bungkusan tersebut harus dibawa naik sampai turun kembali sebagai perlindungan dari makhluk gaib. Selain itu, di Gunung Sumbing juga terdapat larangan untuk menyebut kata “dingin” selama menjalani pendakian yang konon ketika diucapkan bisa segera menjadi kenyataan.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari berbagai folklor gunung berupa mitos aneh yang terus dituturkan atau tindakan yang tidak boleh dilakukan. Dalam konteks kebudayaan, folklor dengan sifatnya yang pralogis (memiliki logika sendiri dan tidak sesuai dengan logika umum) sebenarnya bertujuan sebagai alat pendidik yang tegas dan menumbuhkan perasaan solidaritas masyarakat sekitar akan hal tertentu.
Menghormati Budaya dan Meluruskan Kekeliruan
Folklor sebagai bagian kecil dari sebuah budaya dapat diartikan sebagai bentuk penghormatan atas nilai-nilai tradisi yang telah melekat dan menjadi identitas khusus di tempat tersebut. Sebagai pendaki gunung memahami hal itu merupakan representasi sikap kedewasaan diri.
Lalu apakah folklor gunung masih relevan untuk terus ada? Salah seorang sejarawan Prof. Dr. Kuntowijoyo dapat menjawab pertanyaan tersebut. Menurutnya, masyarakat Indonesia akan melalui tiga fase kesadaran.
ADVERTISEMENT
Fase tersebut adalah mitos, ideologi dan ilmu. Hal ini didasarkan pada sosiologi pengetahuan yang dapat teridentifikasi dengan melihat wujud dari kesadaran masyarakat luas pada suatu zaman.
Fase mitos terjadi ketika kesadaran masyarakat berada dalam tahapan mistis dan magis sehingga dasar pengetahuannya hanyalah berupa mitos. Masyarakat pada periode itu sangat percaya dengan kisah-kisah mistis tradisional yang disampaikan melalui sastra lisan atau dari mulut ke mulut.
Fase ideologi hadir ketika khazanah ilmu pengetahuan dipahami sebagai formulasi normatif untuk menjadi ideologi lalu digerakkan lewat tindakan.
Kemudian puncaknya adalah fase ilmu yang membentuk perilaku manusia untuk mulai berpikir kritis. Tidak lagi percaya seutuhnya pada sebuah cerita-cerita magis dan gaib.
Jika demikian tidak aneh rasanya apabila di kemudian hari folklor gunung barangkali akan hilang seiring zaman yang terus berkembang ke arah ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi kecanggihan teknologi.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah gunung akan kehilangan pesonanya? Saya rasa tidak. Mengingat gunung bukan hanya milik pendaki saja tetapi juga milik mereka yang berani menyampaikan ekspresi kreatif. Belakangan banyak komunitas yang mulai berani menggarap kegiatan-kegiatan dengan serius di gunung. Seperti pementasan teater, konser musik jazz, bahkan kegiatan stand-up comedy bisa dilakukan di gunung.