Konten dari Pengguna

Meningkatnya Kekerasan Seksual: Upaya LPSK dalam Melindungi Korban

Vallia Dewi Sartika
Seorang Pelajar
22 Mei 2024 15:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Vallia Dewi Sartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dari salah satu bentuk kekerasan seksual, Sumber: VectorStock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dari salah satu bentuk kekerasan seksual, Sumber: VectorStock.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia merupakan negara yang berdasar pada hukum, tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (3) bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Sedangkan tujuan negara Indonesia dijelaskan pada Alinea ke-4, yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial." Namun tujuan tersebut belum terealisasikan dengan baik, ditandai dengan adanya kekerasan seksual pada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kekerasan seksual merupakan pelanggaran pada hak asasi manusia. Menurut data dari Sistem Informasi Online Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) yang dimulai dari 1 Januari 2024 hingga saat artikel ini dibuat, sudah ada 8.031 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Sebanyak 1.763 adalah korban laki-laki dan 7.016 adalah korban perempuan. Dengan data tersebut terbukti bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan saja, laki-laki pun dapat mengalami kekerasan seksual. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa semua umur dapat mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual menurut Permendikbudristek Pasal 1 Nomor 30 Tahun 2021 adalah
Macam-Macam Perbuatan yang dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual, Sumber:VectorStock.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, penggunaan internet yang mudah untuk diakses membuat kekerasan seksual semakin meningkat dan bervariasi. Namun tidak adanya aturan yang secara khusus melindungi korban kekerasan seksual di dunia maya. Meningkatnya kasus kekerasan seksual dapat diakibatkan oleh pendidikan seks yang dianggap tabu untuk diajarkan kepada anak-anak sehingga mereka tidak mengetahui tindakan seperti apa yang dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual dan apa yang harus dilakukan jika kekerasan seksual itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pada pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2022, disebutkan bahwa korban atau orang yang mengetahui, melihat, dan/ atau menyaksikan peristiwa yang merupakan tindak pidana kekerasan seksual melaporkan kepada UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/ atau kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat terjadinya tindak pidana. Kemudian, dalam pasal 42 ayat (2) dijelaskan bahwa UPTD PPA, unit pelaksana teknis dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, dan/atau Lembaga Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat wajib membuat laporan kepada kepolisian atas laporan dan/ atau informasi yang disampaikan oleh korban, tenaga medis, tenaga kesehatan, psikiater, psikolog, atau pekerja sosial. Kemudian korban menyampaikan laporan langsung melalui kepolisian, kepolisian wajib menerima laporan di ruang pelayanan khusus yang menjamin keamanan dan kerahasiaan korban, yang setelah itu laporan tersebut akan diterima oleh petugas atau penyidik yang melaksanakan pelayanan khusus bagi korban.
ADVERTISEMENT
Jika seseorang mengalami kekerasan seksual, dapat melapor pada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KOMNAS Perempuan) atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui email [email protected] atau menghubungi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di call center 148 atau WhatsApp 0857-7001-0048.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), yang kemudian terbentuklah Lembaga LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Namun lembaga ini masuk kedalam lembaga non-struktural yang mana lembaga ini berada di luar struktur pemerintahan dan juga memiliki otonomi dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, LPSK ini merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang di buat berdasarkan pada undang-undang. (Lembaga et al. 2022).
ADVERTISEMENT
Mengambil contoh kasus pemerkosaan 13 santriwati yang dilakukan oleh Herry Wirawan. Ia dikenal sebagai seseorang ustadz sekaligus pemimpin Yayasan Manarul Huda, Yayasan Yatim Piatu yang berada di kawasan Antapani, Kota Bandung dan pemilik dari madani boarding school di daerah Cibiru, Kota Bandung. Aksinya dilakukan sejak tahun 2016 dan baru terungkap di tahun 2021 karena korban serta istrinya tidak berani melaporkan sebab sudah “dicuci otak” oleh pelaku. Dari ke 13 korban pemerkosaan, 9 diantaranya hamil dan melahirkan anak berasal akibat pelecehan seksual.
Perlindungan hukum yang diberikan terhadap korban dalam kasus Herry Wirawan, diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban
ADVERTISEMENT
1. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Korban tindak pidana terorisme, Korban tindak pidana perdagangan orang, Korban tindak pidana penyiksaan, Korban tindak pidana kekerasan seksual,dan Korban penganiayaan berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak mendapatkan bantuan medis; dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
2. Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan Keputusan LPSK. (Indonesia 2014).
Dalam kasus Herry Wirawan, Ketua LPSK mengatakan permohonan ganti rugi bagi para korban mengacu kepada peraturan pemerintah nomor 43 tahun 2017 tentang pelaksanaan restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana. Terdapat tiga komponen jenis- jenis ganti rugi yang dapat dimohonkan. Ketiga komponen yaitu ganti kerugian atas kehilangan penghasilan atau kekayaan. Kedua, penderitaan yang ditimbulkan akibat tindak pidana dan ketiga biaya medis dan psikologis yang timbul akibat proses hukum yang masih berlangsung. (Intan 2022).
ADVERTISEMENT