Konten dari Pengguna

Politik Post-Truth di 2025: Saat Emosi Mengalahkan Fakta

Dinda Yana Putri Ayu
Dinda Yana adalah mahasiswi Universitas Pancasila Fakultas Ilmu Komunikasi. Saat ini sedang aktif mengikuti kegiatan aktif Program kemahasiswaan. Memiliki minat di bidang Komunikasi serta ingin terus mengembangkan diri melalui pengalaman akademik.
3 Mei 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dinda Yana Putri Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Era Post-Truth: Ketika Emosi Mengalahkan Fakta

Foto oleh Sima Ghaffarzadeh dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-memegang-mikropon-mikrofon-11505861/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Sima Ghaffarzadeh dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/tangan-memegang-mikropon-mikrofon-11505861/
Fenomena post-truth merujuk pada kondisi di mana emosi dan opini pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan fakta objektif. Di Indonesia, fenomena ini semakin nyata, terutama menjelang dan setelah Pemilu 2024, di mana narasi politik sering kali dibentuk untuk memanipulasi emosi masyarakat, bukan berdasarkan data dan fakta yang valid.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari pergeseran cara konsumsi informasi oleh publik. Ketika akses terhadap media konvensional semakin tersaingi oleh platform digital, maka peran narasi yang dibalut emosi menjadi lebih dominan daripada penyampaian informasi berbasis verifikasi. Politik pun berubah wajah—tidak lagi semata pertarungan ide, tapi juga pertarungan persepsi dan sensasi.
Ladang Subur Narasi Politik
Media sosial telah menjadi alat utama dalam menyebarkan narasi politik yang emosional. Tagar seperti #2019GantiPresiden dan gerakan #ReformasiDikorupsi menunjukkan bagaimana media sosial digunakan untuk membentuk opini publik dan memobilisasi massa. Namun, tidak jarang narasi yang dibangun tidak berdasarkan fakta, melainkan emosi dan kepentingan politik tertentu.
ADVERTISEMENT
Berbagai tokoh politik, partai, dan relawan kini menyadari pentingnya memanfaatkan algoritma media sosial untuk memperkuat pesan politik mereka. Isu bisa dikemas menjadi meme, cuplikan video singkat, atau cuitan emosional yang viral, meskipun substansinya dangkal atau bahkan menyesatkan. Dalam dunia post-truth, viralitas sering kali lebih penting dari validitas.
Disinformasi dalam Pemilu 2024
Menjelang Pemilu 2024 kemarin, berbagai disinformasi menyebar luas di media sosial. Salah satunya adalah klaim penganiayaan oleh relawan Gibran Rakabuming Raka terhadap relawan Ganjar Pranowo, yang ternyata tidak benar dan merupakan hoaks. Penyebaran informasi palsu semacam ini menunjukkan bagaimana emosi dimanfaatkan untuk membentuk persepsi publik tanpa dasar fakta yang kuat.
ADVERTISEMENT
Kasus ini hanyalah satu dari sekian banyak. Dalam laporan MAFINDO dan Kominfo, ratusan konten hoaks terkait pemilu ditemukan selama tahun 2023–2024. Sebagian besar konten tersebut menyasar tokoh-tokoh politik dan lembaga penyelenggara pemilu. Tujuannya jelas: menggoyahkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi.
Dampak Terhadap Stabilitas Nasional
Fenomena post-truth tidak hanya mempengaruhi opini publik tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas keamanan nasional. Polarisasi masyarakat akibat narasi politik yang emosional dapat memicu konflik sosial dan mengganggu ketahanan nasional. Lemhannas RI menyoroti bahwa politik post-truth dapat memperkuat politik identitas dan fragmentasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya serius. Kepercayaan publik terhadap pemilu dan lembaga-lembaga demokrasi bisa runtuh. Ketika masyarakat lebih mempercayai pesan viral yang belum tentu benar dibanding keterangan resmi dari lembaga negara, maka krisis legitimasi politik bisa tak terhindarkan.
Di tengah maraknya disinformasi dan dominasi narasi emosional dalam komunikasi politik, muncul pertanyaan-pertanyaan penting yang harus kita refleksikan bersama: Apakah masyarakat Indonesia hari ini masih mampu membedakan opini subjektif dengan fakta objektif? Sejauh mana algoritma media sosial ikut memperkuat bias politik yang justru memperuncing polarisasi? Apakah pemerintah dan lembaga pendidikan sudah cukup sigap dalam membangun literasi digital sebagai tameng utama menghadapi era post-truth? Dan yang paling mendasar, jika narasi yang tidak berbasis kebenaran terus dibiarkan tumbuh, akankah pemilu di masa depan masih bisa dipercaya sebagai representasi kehendak rakyat yang sejati?
ADVERTISEMENT
Di tengah arus informasi yang membanjiri ruang digital, menjaga integritas komunikasi politik menjadi tugas bersama. Era post-truth tidak sekadar tantangan komunikasi, tetapi ujian terhadap kualitas demokrasi kita. Ketika emosi lebih dipercaya daripada data, dan narasi menggantikan realitas, maka demokrasi berada di ujung tanduk. Maka dari itu, literasi digital bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Kekuatan publik bukan hanya pada jumlah suara, tapi juga pada kecerdasannya memilah kebenaran. Jika komunikasi tetap dibangun di atas kebohongan yang viral, maka suara rakyat tak lagi murni, melainkan hasil manipulasi. Di tahun politik ini dan seterusnya, kejujuran dalam komunikasi adalah investasi jangka panjang bagi demokrasi yang sehat.