Konten dari Pengguna

Salah Paham Memaknai Ramadhan

Nadief Rahman Harris
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga
11 Maret 2024 16:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadief Rahman Harris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pexels
zoom-in-whitePerbesar
pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Saat Ramadhan tiba, kita akan sering mendengar ungkapan, “berbuka dengan yang manis-manis”. Takjil dan aneka ragam hidangan untuk berbuka menjadi buruan yang laris sebagai ungkapan perayaan di bulan suci ini. Berbagi-bagi takjil pun menjadi kegiatan yang semarak dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang salah dengan semua itu. Namun menjadi ironi karena puasa seakan identik dengan peningkatan konsumsi. Sebab seiring mendekatnya Bulan Ramadhan, seringkali teramati fenomena yang konsisten, yaitu peningkatan harga pangan. Beberapa komoditas pangan utama mengalami kenaikan harga yang signifikan karena adanya lonjakan permintaan di pasaran.
Hal tersebut merupakan situasi yang umumnya terjadi di Bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Fenomena kenaikan harga ini dapat dijelaskan melalui prinsip Hukum Permintaan dan Penawaran dalam konteks ekonomi. Peningkatan permintaan pangan yang signifikan dari konsumen di bulan suci menyebabkan lonjakan harga.
Pada bulan di mana umat Islam diperintahkan menahan lapar dan haus, mengapa malah konsumsi meningkat? Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya. Jika jawabannya bahwa di bulan ini marak kegiatan berbagi, maka menimbulkan pertanyaan baru. Apakah berbagi hanya dapat marak di bulan suci? Bukankah memberi kepada sesama adalah perintah sepanjang tahun?.
ADVERTISEMENT
Tak pelak, peningkatan konsumsi ini juga dibarengi dengan insdustri yang berlomba-lomba menjual produknya. Kita tentu lazim dengan iklan sirup sebagai pertanda masuknya bulan suci. Hal ini menunjukkan bahwa paradigma kapitalisme tak jarang mengarahkan masyarakat untuk mengkonsumsi hal-hal yang sebenarnya tak terlalu diperlukan. Apa hubungannya bulan suci dan sirup?
Puasa tidak hanya diartikan sebagai keterbatasan dalam menahan haus dan lapar semata. Lebih dari itu, aspek empati terhadap mereka yang mengalami kelaparan seharusnya menjadi fokus yang lebih mendalam. Puasa seharusnya menjadi momen introspeksi yang membawa kesadaran akan realitas bahwa di luar sana masih banyak individu yang harus menghadapi kenyataan kelaparan.
Lebih jauh dari itu, seseorang diharapkan tidak hanya menahan diri dari konsumsi makanan dan minuman, tetapi juga merenungkan keadaan sosial di sekitarnya. Puasa seharusnya menjadi jendela yang membuka pandangan seseorang terhadap penderitaan orang lain, terutama mereka yang kurang beruntung. Melalui pengalaman menahan rasa lapar selama sebulan, harapannya adalah seorang muslim dapat mengembangkan rasa kepekaan terhadap permasalahan sosial, khususnya kelaparan, serta permasalahan lain yang melibatkan keadilan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Coba sesekali kita lihat beberapa data dan fakta soal problem sosial. Misalnya Badan Pusat Statistik pada Bulan Maret 2023 menemukan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia ada sebanyak 25,90 juta orang. Sebuah angka yang tidak kecil bukan? Kemiskinan membawa banyak sekali dampak negatif. Misal pinjaman online (pinjol).
Beberapa hari lalu, kita mendengar kabar soal satu keluarga bunuh diri. Penyebabnya diduga terjerat pinjol. Di sisi lain, pada Mei 2023 lalu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mencatat bahwa jumlah tunggakan pinjol telah mencapai angka sebesar Rp 51,46 triliun, mengalami kenaikan sekitar 28,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Contoh di atas adalah gambaran kecil dari masalah sesungguhnya yang lebih kompleks terkait kemanusiaan. Tanpa data-data semacam ini pun kita sebenarnya tahu bahwa di keseharian akan sering kita menemui bermacam-macam fenomena yang menyesakkan. Mulai dari kesulitan ekonomi orang-orang di kanan dan kiri sampai fakta bahwa masih banyak yang tidak bisa makan.
ADVERTISEMENT
Pada contoh yang lebih global, konflik kemanusiaan di Palestina yang tak kunjung usai misalnya. Anak-anak terus kehilangan orang tua mereka, dan penderitaan ini berlanjut tanpa henti hingga sekarang. Meskipun Islam adalah agama terbesar kedua di dunia, nampaknya kita tidak bisa berbuat banyak terhadap kondisi ini.
Padahal Al-Quran mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kepedulian terhadap sesama. Banyak sekali ayat-ayat yang membahas hal tersebut. Bahkan bukan hanya kepada sesama muslim, namun juga ke seluruh mahluk. Sebab Islam sendiri adalah rahmatan lil ‘alamin.
Maka melalui bulan puasa, kita sebenarnya sedang “disentil” melalui serangkaian kewajiban yang bertujuan untuk membangkitkan empati kepada sesama. Bukan untuk sekadar berbuka dengan yang manis-manis, namun agar mau memikirkan penderitaan yang masih dialami oleh saudara-saudara kita di luar sana.
ADVERTISEMENT
Tujuan puasa adalah untuk menjadikan kita bertaqwa. Dan, sebagaimana yang dijelaskan banyak ulama’, implementasi ketaqwaan ini juga menyangkut dengan kepedulian kita untuk terlibat menyelesaikan masalah sosial di sekitar. Artinya, mampu menjadikan kita untuk memikirkan masalah kemanusiaan yang menjadi tanggung jawab bersama.
Namun kalau puasa tidak menjadikan kita lebih peka dengan problem sosial, dan hanya berpikir nanti mau berbuka dengan apa, maka ada yang salah dengan puasa kita.